Guru.
Kata yang selalu kuanggap remeh. Setiap hari, ayah selalu mengatakannya.
Mungkin karena profesi Ayah yang memang seorang guru. Aku tak pernah
menyukainya. Aku punya mimpi besar. Akuntan hebat yang bisa keliling dunia bak
Sri Mulyani. Entah, aku tak tau sosoknya, bahkan kisahnya. Aku tak tau. Yang ku
tau seorang guru sekolah dasarku pernah menyebutkan namanya saat aku
bersilaturrahmi ke rumahnya.
“kalau kamu Sekar,
masuk jurusan apa sekarang? Kelas 11 kan ya?” ucap pak Bejo, setelah
berbincang-bincang dengan teman-temanku yang lain. Dari 10 orang yang ada, 7
diantaranya mengakui dengan bangga bahwa mereka kini masuk jurusan IPA, dua
orang dari tiga yang tersisa lebih memilih bersekolah di SMK dengan jurusan
yang tak kalah keren. Teknik. Jurusan yang mungkin memiliki peminat yang
jumlahnya lumayan besar. Dan aku, duduk dideretan paling ujung dengan jurusan
yang bagiku tak terlalu istimewa, keyakinan ini mulai menciut.
Sejenak aku tersenyum.
Menunjukkan aku menghina diriku sendiri.
“IPS pak.” ucapku
ragu-ragu dan menundukkan wajah yang amat malu. Teman-teman seketika
mendongakkan mukanya dengan ekspresi terkejut. Tak percaya. Mengingat
prestasi-prestasi akademik yang pernah aku capai di bangku SD melalui nilai
IPA.
“oooo IPS. Bagus.
Pilihan yang tepat. Pelajaran apa yang disukai?” ucap pak Bejo membuat hatiku
serasa hidup kembali dari gelombang kecemasan yang tengah kubayangkan. Kuangkat
mukaku kembali dengan optimis.
“ekonomi pak.” Sejenak
kuliat wajah pak Bejo yang puas atas jawabanku.
“sudah kuduga. Saya do’akan
kamu bisa jadi penerus Sri Mulyani.” Senyumnya mengembang. Aku turut mengamini
dalam senyum optimisku meski tak ku tau siapa dia.
*****