Guru.
Kata yang selalu kuanggap remeh. Setiap hari, ayah selalu mengatakannya.
Mungkin karena profesi Ayah yang memang seorang guru. Aku tak pernah
menyukainya. Aku punya mimpi besar. Akuntan hebat yang bisa keliling dunia bak
Sri Mulyani. Entah, aku tak tau sosoknya, bahkan kisahnya. Aku tak tau. Yang ku
tau seorang guru sekolah dasarku pernah menyebutkan namanya saat aku
bersilaturrahmi ke rumahnya.
“kalau kamu Sekar,
masuk jurusan apa sekarang? Kelas 11 kan ya?” ucap pak Bejo, setelah
berbincang-bincang dengan teman-temanku yang lain. Dari 10 orang yang ada, 7
diantaranya mengakui dengan bangga bahwa mereka kini masuk jurusan IPA, dua
orang dari tiga yang tersisa lebih memilih bersekolah di SMK dengan jurusan
yang tak kalah keren. Teknik. Jurusan yang mungkin memiliki peminat yang
jumlahnya lumayan besar. Dan aku, duduk dideretan paling ujung dengan jurusan
yang bagiku tak terlalu istimewa, keyakinan ini mulai menciut.
Sejenak aku tersenyum.
Menunjukkan aku menghina diriku sendiri.
“IPS pak.” ucapku
ragu-ragu dan menundukkan wajah yang amat malu. Teman-teman seketika
mendongakkan mukanya dengan ekspresi terkejut. Tak percaya. Mengingat
prestasi-prestasi akademik yang pernah aku capai di bangku SD melalui nilai
IPA.
“oooo IPS. Bagus.
Pilihan yang tepat. Pelajaran apa yang disukai?” ucap pak Bejo membuat hatiku
serasa hidup kembali dari gelombang kecemasan yang tengah kubayangkan. Kuangkat
mukaku kembali dengan optimis.
“ekonomi pak.” Sejenak
kuliat wajah pak Bejo yang puas atas jawabanku.
“sudah kuduga. Saya do’akan
kamu bisa jadi penerus Sri Mulyani.” Senyumnya mengembang. Aku turut mengamini
dalam senyum optimisku meski tak ku tau siapa dia.
*****
Kelas 12, tepatnya kelas 3 SMA. Sekolahku memang selalu membiasakan kami menyatakan tingkatan kelas SMP maupun SMA sesuai dengan urutan angka yang dihitung dari kelas SD.
“agar kalian merasa,
bahwa perjalanan kalian untuk belajar sangat panjang dan tak mudah. Kemudian
kalian tidak membuang perjalanan panjang kalian dengan hasil yang suram” begitulah
pidato dari kepala sekolah yang kerap aku dengar saat orientasi siswa.
Menggugah semangat kami dengan suara beratnya dan dengan intonasinya yang
tinggi.
Waktu
yang panjang ini, serasa menyeretku kepada aliran sejarah pribadi. Kini aku
sadari, aku sudah cukup senior dari tingkatan kelas sekolah yang ada. Waktunya
menentukan masa depan. UAN yang diadakan setiap tahunnya, tes masuk perguruan
tinggi dengan berbagai jalur, penentuan jurusan yang ingin ditempuh di
Perguruan tinggi yang membutuhkan pemikiran jangka panjang dan tentunya
lapangan kerja bagi mereka yang tak ingin melanjutkan ke jenjang universitas.
Problem tekanan yang mendarah daging ini membuatku semakin setres tatkala ayah
menemaniku belajar.
“nanti kalau kamu jadi
guru, jangan membahagiakan dirimu sendiri tapi bahagiakan muridmu. Murid adalah
generasi ilmu. Kau tau? Ilmu itu harta yang tak ternilai apapun bahkan materi.
Andai aku tak butuh uang untuk memberikanmu pendidikan yang layak, mungkin aku
tak butuh menerima gaji dari hasil mengajarku.” Sejenak kulirik ayah dengan
sinis. Ayah menghela nafas dalam.
“aku tak ingin jadi
guru yah, aku ingin mencoba sukses dengan hal yang lain.” Jeritku dalam hati.
Aku tau orang tualah yang tau apa yang terbaik bagi anaknya karena itu aku tak
ingin menyelanya.
“kau mungkin
menginginkan hal lain untuk masa depanmu. Tapi, aku yakin kau akan mengerti
suatu saat nanti, saat kau telah di perguruan tinggi. Kamulah jariyahku dan
tentunya ilmu yang ada di hati murid-muridku yang akan menjadi temanku disana.
Di alam saat aku sendiri dan menghadap ilahi.” Ucap Ayah dengan mata kosong dan
dengan mata yang berkaca. Aku ingin memeluknya. Namun, hati ini terlalu egois
karena aku tau apa yang aku inginkan kali ini benar.
*****
Aku berlinang air mata
saat aku menonton beberapa drama korea untuk sekedar merefresh otak yang penat
akan tugas kuliah ini. Yah, kini aku adalah seorang mahasiswa dari fakultas
keguruan dengan jurusan pendidikan Ekonomi di sebuah perguruan tinggi negri di
kota pendidikan ini. Malang. Menjadi sebuah pilihan yang berat sebenarnya saat
aku harus rela tinggal jauh dari orang tua. Khususnya Ibu.
Ayah tengah meninggal satu tahun yang lalu
setelah mengetahui aku diterima di kampus ini dengan fakultas keguruan.
Sepertinya beliau telah tenang disana serta bangga atas keputusanku ini. hanya
doa yang senantiasa kupanjatkan pada beliau. Ucapan terimakasih atas
nasihat-nasihatnya juga data-data yang mungkin bisa memudahkanku menempuh
kuliahku saat ini. Terkadang terselip hikmah yang bisa kuambil dari peristiwa
masa lalu. Ayah, selain seorang pelindungku beliau juga guru yang selalu
mengajarkanku. Bahkan di akhir hayatnya beliau sempat memberikan data-data ini
padaku. Ayah, bahkan beliau tau kemungkinan yang ada di masa depan, saat
anaknya hidup menjadi guru. Beliau menuliskan rentetan rancangan pembelajaran
persis dengan apa yang diterapkan pemerintah saat ini. Entah,kekuatan macam apa
yang beliau miliki.
Lima jam sudah aku
menonton drama korea yang tentu saja belum menghabiskan separuh dari bagian
film ini. Entah, hantu apa yang menyeretku kini menyukai film-film berbasis
pendidikan. Film-Film ini mengajarkanku banyak hal, perjuangan seorang guru
yang bahkan sampai sakit karena memikirkan murid-muridnya, memikirkan system
yang terbaik untuk murid-muridnya hingga ia pun memikirkan solusi untuk
menyelesaikan permasalahan keluarga yang ada dalam kehidupan muridnya, dengan
perjuangan yang begitu besar, sang guru itu tetap tidak sedikit pun meminta
balasan material kepada institusi yang mempekerjakannya. Karena baginya, murid
adalah harta pengubah bangsa. Meski ada karakter yang tak kusuka dari guru itu.
Guru itu sangat ketus dalam berbicara tanpa memikirkan hati murid yang terluka.
Meski dampaknya memang baik bagi muridnya.
“ealah. Gitu aja nangis. Apanya coba yang
menyedihkan.” Ucap teman kos membuyarkan konsentrasiku. Dia kebetulan satu
kamar denganku. Dia jurusan biologi murni.
“kamu nih, memang gak tau sih guru itu kaya’ gimana.
Guru itu penuh pengorbanan tau. Aku nangis, karena aku nonton sambil mikir. Aku
pengen jadi guru yang gimana ya nanti?” ucapku ketus.
“tak taulah. Urusan guru. Bantuin gih, aku punya
banyak laporan.”
Begitulah. Kami selalu
berdebat, mungkin karena jiwa ke-IPA-annya muncul. Ia jadi cuek sama namanya
dunia pendidikan. Yang diperhatiin hanya hewan, daun dan benda-benda alam
lainnya. Terkadang setelah berdebat pendidikan dengannya, aku diam sejenak,
menyadari aku dulu seperti dia. Cuek dengan pendidikan.
*****
Mata ini serasa terbuka
saat aku berada di jurusan ini. Tempat tinggalku yang mungkin bisa dikatakan
daerah industry lebih mengutamakan material. Di pikiran mereka hanya kerja dan
menghasilkan uang. Aku miris saat aku sadar atas keadaan ini. Banyak
teman-teman SD yang dari jurusan IPA yang bersamaan denganku saat kerumah guru
tempo hari kini putus sekolah dengan dalih ingin dapat banyak uang. Hal ini
juga dirasakan dengan teman SD yang masuk SMK tempo hari.
Uang mengalahkan ilmu
di masa depan. Itulah yang Ayah tau. Mereka tak sadar, dengan adanya ilmu yang
membangun mereka, mereka akan mendapatkan posisi yang lebih baik dan bahkan
mungkin saja dengan ilmu mereka, mereka dapat menguasai pabrik yang mereka
ketahui sebagai tempat menghasilkan uang itu. Padahal, tempat penghasil uang
itu tak lain adalah tempat membudakkan diri mereka sendiri dalam pandanganku. Mereka
menempatkan posisi mereka menjadi seorang budak dari mereka-mereka yang
memiliki ilmu, memiliki uang. Kapitalis.
Ayah benar! Ayah benar!. Aku harus menjadi pendidik yang
mengajarkan mereka. Aku harus menyadarkan generasi selanjutnya akan pentingnya
ilmu. Karena aku tak ingin Negaraku semakin bobrok karena virus uang yang
perlahan akan mengikis kemerdekaan Negara ini. Jika tidak ada guru yang lebih
baik dari saat ini, siapa yang akan menyelamatkan Negara yang kemungkinan beberapa
tahun lagi akan didominasi oleh perusahaan asing ini?. Aku akan mengubah dunia.
Aku yakin itu. Terimakasih Ayah. Do’aku tulus untukmu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar