Rabu, 26 Maret 2014

Akan Aku Ubah Dunia



Guru. Kata yang selalu kuanggap remeh. Setiap hari, ayah selalu mengatakannya. Mungkin karena profesi Ayah yang memang seorang guru. Aku tak pernah menyukainya. Aku punya mimpi besar. Akuntan hebat yang bisa keliling dunia bak Sri Mulyani. Entah, aku tak tau sosoknya, bahkan kisahnya. Aku tak tau. Yang ku tau seorang guru sekolah dasarku pernah menyebutkan namanya saat aku bersilaturrahmi ke rumahnya.
“kalau kamu Sekar, masuk jurusan apa sekarang? Kelas 11 kan ya?” ucap pak Bejo, setelah berbincang-bincang dengan teman-temanku yang lain. Dari 10 orang yang ada, 7 diantaranya mengakui dengan bangga bahwa mereka kini masuk jurusan IPA, dua orang dari tiga yang tersisa lebih memilih bersekolah di SMK dengan jurusan yang tak kalah keren. Teknik. Jurusan yang mungkin memiliki peminat yang jumlahnya lumayan besar. Dan aku, duduk dideretan paling ujung dengan jurusan yang bagiku tak terlalu istimewa, keyakinan ini mulai menciut.
Sejenak aku tersenyum. Menunjukkan aku menghina diriku sendiri.
“IPS pak.” ucapku ragu-ragu dan menundukkan wajah yang amat malu. Teman-teman seketika mendongakkan mukanya dengan ekspresi terkejut. Tak percaya. Mengingat prestasi-prestasi akademik yang pernah aku capai di bangku SD melalui nilai IPA.
“oooo IPS. Bagus. Pilihan yang tepat. Pelajaran apa yang disukai?” ucap pak Bejo membuat hatiku serasa hidup kembali dari gelombang kecemasan yang tengah kubayangkan. Kuangkat mukaku kembali dengan optimis.
“ekonomi pak.” Sejenak kuliat wajah pak Bejo yang puas atas jawabanku.
“sudah kuduga. Saya do’akan kamu bisa jadi penerus Sri Mulyani.” Senyumnya mengembang. Aku turut mengamini dalam senyum optimisku meski tak ku tau siapa dia.
*****

Kelas 12, tepatnya kelas 3 SMA. Sekolahku memang selalu membiasakan kami menyatakan tingkatan kelas SMP maupun SMA sesuai dengan urutan angka yang dihitung dari kelas SD.
“agar kalian merasa, bahwa perjalanan kalian untuk belajar sangat panjang dan tak mudah. Kemudian kalian tidak membuang perjalanan panjang kalian dengan hasil yang suram” begitulah pidato dari kepala sekolah yang kerap aku dengar saat orientasi siswa. Menggugah semangat kami dengan suara beratnya dan dengan intonasinya yang tinggi.
Waktu yang panjang ini, serasa menyeretku kepada aliran sejarah pribadi. Kini aku sadari, aku sudah cukup senior dari tingkatan kelas sekolah yang ada. Waktunya menentukan masa depan. UAN yang diadakan setiap tahunnya, tes masuk perguruan tinggi dengan berbagai jalur, penentuan jurusan yang ingin ditempuh di Perguruan tinggi yang membutuhkan pemikiran jangka panjang dan tentunya lapangan kerja bagi mereka yang tak ingin melanjutkan ke jenjang universitas. Problem tekanan yang mendarah daging ini membuatku semakin setres tatkala ayah menemaniku belajar.
“nanti kalau kamu jadi guru, jangan membahagiakan dirimu sendiri tapi bahagiakan muridmu. Murid adalah generasi ilmu. Kau tau? Ilmu itu harta yang tak ternilai apapun bahkan materi. Andai aku tak butuh uang untuk memberikanmu pendidikan yang layak, mungkin aku tak butuh menerima gaji dari hasil mengajarku.” Sejenak kulirik ayah dengan sinis. Ayah menghela nafas dalam.
“aku tak ingin jadi guru yah, aku ingin mencoba sukses dengan hal yang lain.” Jeritku dalam hati. Aku tau orang tualah yang tau apa yang terbaik bagi anaknya karena itu aku tak ingin menyelanya.
“kau mungkin menginginkan hal lain untuk masa depanmu. Tapi, aku yakin kau akan mengerti suatu saat nanti, saat kau telah di perguruan tinggi. Kamulah jariyahku dan tentunya ilmu yang ada di hati murid-muridku yang akan menjadi temanku disana. Di alam saat aku sendiri dan menghadap ilahi.” Ucap Ayah dengan mata kosong dan dengan mata yang berkaca. Aku ingin memeluknya. Namun, hati ini terlalu egois karena aku tau apa yang aku inginkan kali ini benar.
*****
Aku berlinang air mata saat aku menonton beberapa drama korea untuk sekedar merefresh otak yang penat akan tugas kuliah ini. Yah, kini aku adalah seorang mahasiswa dari fakultas keguruan dengan jurusan pendidikan Ekonomi di sebuah perguruan tinggi negri di kota pendidikan ini. Malang. Menjadi sebuah pilihan yang berat sebenarnya saat aku harus rela tinggal jauh dari orang tua. Khususnya Ibu.
 Ayah tengah meninggal satu tahun yang lalu setelah mengetahui aku diterima di kampus ini dengan fakultas keguruan. Sepertinya beliau telah tenang disana serta bangga atas keputusanku ini. hanya doa yang senantiasa kupanjatkan pada beliau. Ucapan terimakasih atas nasihat-nasihatnya juga data-data yang mungkin bisa memudahkanku menempuh kuliahku saat ini. Terkadang terselip hikmah yang bisa kuambil dari peristiwa masa lalu. Ayah, selain seorang pelindungku beliau juga guru yang selalu mengajarkanku. Bahkan di akhir hayatnya beliau sempat memberikan data-data ini padaku. Ayah, bahkan beliau tau kemungkinan yang ada di masa depan, saat anaknya hidup menjadi guru. Beliau menuliskan rentetan rancangan pembelajaran persis dengan apa yang diterapkan pemerintah saat ini. Entah,kekuatan macam apa yang beliau miliki.
Lima jam sudah aku menonton drama korea yang tentu saja belum menghabiskan separuh dari bagian film ini. Entah, hantu apa yang menyeretku kini menyukai film-film berbasis pendidikan. Film-Film ini mengajarkanku banyak hal, perjuangan seorang guru yang bahkan sampai sakit karena memikirkan murid-muridnya, memikirkan system yang terbaik untuk murid-muridnya hingga ia pun memikirkan solusi untuk menyelesaikan permasalahan keluarga yang ada dalam kehidupan muridnya, dengan perjuangan yang begitu besar, sang guru itu tetap tidak sedikit pun meminta balasan material kepada institusi yang mempekerjakannya. Karena baginya, murid adalah harta pengubah bangsa. Meski ada karakter yang tak kusuka dari guru itu. Guru itu sangat ketus dalam berbicara tanpa memikirkan hati murid yang terluka. Meski dampaknya memang baik bagi muridnya.
“ealah. Gitu aja nangis. Apanya coba yang menyedihkan.” Ucap teman kos membuyarkan konsentrasiku. Dia kebetulan satu kamar denganku. Dia jurusan biologi murni.
“kamu nih, memang gak tau sih guru itu kaya’ gimana. Guru itu penuh pengorbanan tau. Aku nangis, karena aku nonton sambil mikir. Aku pengen jadi guru yang gimana ya nanti?” ucapku ketus.
“tak taulah. Urusan guru. Bantuin gih, aku punya banyak laporan.”
Begitulah. Kami selalu berdebat, mungkin karena jiwa ke-IPA-annya muncul. Ia jadi cuek sama namanya dunia pendidikan. Yang diperhatiin hanya hewan, daun dan benda-benda alam lainnya. Terkadang setelah berdebat pendidikan dengannya, aku diam sejenak, menyadari aku dulu seperti dia. Cuek dengan pendidikan.
*****
Mata ini serasa terbuka saat aku berada di jurusan ini. Tempat tinggalku yang mungkin bisa dikatakan daerah industry lebih mengutamakan material. Di pikiran mereka hanya kerja dan menghasilkan uang. Aku miris saat aku sadar atas keadaan ini. Banyak teman-teman SD yang dari jurusan IPA yang bersamaan denganku saat kerumah guru tempo hari kini putus sekolah dengan dalih ingin dapat banyak uang. Hal ini juga dirasakan dengan teman SD yang masuk SMK tempo hari.
Uang mengalahkan ilmu di masa depan. Itulah yang Ayah tau. Mereka tak sadar, dengan adanya ilmu yang membangun mereka, mereka akan mendapatkan posisi yang lebih baik dan bahkan mungkin saja dengan ilmu mereka, mereka dapat menguasai pabrik yang mereka ketahui sebagai tempat menghasilkan uang itu. Padahal, tempat penghasil uang itu tak lain adalah tempat membudakkan diri mereka sendiri dalam pandanganku. Mereka menempatkan posisi mereka menjadi seorang budak dari mereka-mereka yang memiliki ilmu, memiliki uang. Kapitalis.
Ayah benar! Ayah benar!. Aku harus menjadi pendidik yang mengajarkan mereka. Aku harus menyadarkan generasi selanjutnya akan pentingnya ilmu. Karena aku tak ingin Negaraku semakin bobrok karena virus uang yang perlahan akan mengikis kemerdekaan Negara ini. Jika tidak ada guru yang lebih baik dari saat ini, siapa yang akan menyelamatkan Negara yang kemungkinan beberapa tahun lagi akan didominasi oleh perusahaan asing ini?. Aku akan mengubah dunia. Aku yakin itu. Terimakasih Ayah. Do’aku tulus untukmu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar