Kamis, 17 April 2014

Masjidku Kenanganku



Aku tutup Novel yang seminggu ini telah kukhatamkan. Novel yang tentunya membuka hatiku untuk kembali merindukan kalian. Novel ala santri pondokan yang berjuang. Bedanya, mereka berjuang untuk menjadi seorang hafidz, tapi kita berjuang untuk bisa mencapai kelulusan. Masjid, menjadi setting utama di Novel itu. Rindunya aku dengan Kemegahan Masjid YPM Al-Rifa’ie 1 yang dipenuhi kalian semua. Rindu saat kita berjuang mendapatkan shaf pertama. Ngaji bareng sambil menunggu isya’, sebelum Maghrib tiba, kita pun membaca Al-Qur’an. Meski secara individu, namun deru suara kita yang berusaha mengkhatmkan bacaan Al-Qur’an sungguh kurindukan. Saat ujian menyergap, kita tak akan lepas dari Masjid. Masjid. Tempat tongkrongan favorit.

Mantra Ajaib



“Jika purna sudah waktuku” bibirnya terus mengatakannya di tengah kegaduhan bus. Aku coba menegurnya dengan meletakkan tanganku di pahanya. Dia saudara kembarku. Tazkiyah. Sesuai namanya, ia selalu membersihkan dirinya dengan mengatakan kalimat itu. Disetiap waktu. Setiap shalat. Agar dirinya tetap dekat dengan sang Maha Kuasa yang entah kapan akan siap mengutus malaikat Izrail kepada kita. Kaum manusia yang takdirnya telah ada di Lauhil Mahfudz.
“boleh saya tau nama anda?” ucap seorang lelaki di sampingku. Ia terlihat satu almamater denganku dan adikku.
“namaku Tafkirah” ucap Tazkiyah.
“aku tidak bertanya padamu, aku bertanya padanya” ucap lelaki itu menunjukku.
“tidakkah kau melihat isyarat-isyarat tangan yang berusaha ia bentuk untuk mengatakannya padamu?” ucap Tazkiyah. Yah, aku memang bisu. Itulah yang bisa aku lakukan, memberikan isyarat kepada siapapun.
“oh, Maaf” ucap lelaki itu terlihat menyesal.
*****