Sabtu, 17 September 2016

Macet? What the Hell?

Assalamualaikum Wr. Wb.
Hai readers, ah lama sekali ya kita tidak bersua. Apalagi menuangkan inspirasi di blog ini. Akhir-akhir ini saya banyak pikiran soalnya, karena saya lumayan tekanan batin karena udah lulus tak kunjung dapet kerjaan. jadi 3 bulan ini masih sibuk dengan rencana-rencana masa depan. Yaaa dipikir-pikir sih, saya juga gak boleh stagnan ya, jadi diam-diam saya suka membaca banyak artikel untuk memecahkan masalah-masalah di Indonesia. Udah pada liat tayangan "Menguji Penantang Pak Ahok" belum? Asli seru banget, berkat tayangan ini, aku jadi sering ngelamun dan memikirkan solusi-solusi yang realistis untuk Permasalahan Jakarta.
By the way, Jakarta adalah Ibukota Indonesia kan? Karakter anak tidak jauh dari Ibunya. Sebenarnya apa yang terjadi di Jakarta, tentunya juga terjadi di kota-kota yang lain. Baik tentang banjir, macet, dan lain-lain. Jadi sepertinya nggak adil aja kalau yang di bahas cuma Jakarta. Nah, kali ini, saya mencoba untuk sedikit memberikan inspirasi untuk kemacetan.
Macet. Janganlah ini disebut budaya. Takutnya kalau sampai masyarakat punya pola pikir seperti ini dan kemudian cuek dengan keadaan ini. Macet itu banyak merugikan masyarakat, baik dari segi financial, waktu, dan kesehatan. Nah, kok sampe' kesehatan? Ya iyalah, Kesehatan adalah yang paling utama untuk produktifitas usaha. Asap kendaraan tiga kali lipat lebih berbahaya dari rokok. Karena, gak tau, saya kemarin baca cuma ambil intinya. Hehe. Realistis saja, asap apapun, baik dari kendaraan, maupun rokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru hingga kanker. pertanyaannya, berapa kali masyarakat menyedot asap-asap itu setiap hari? Ketika asap menumpuk di paru-paru terlalu banyak, maka penyakit akan datang dan kemudian mengurangi produktifitas usaha. Akibatnya, pendapatan negara pun berkurang dan yah, ada kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Sudah, saya tidak mau banyak berandai-andai di sini. Di sini, saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya pikirkan untuk kemacetan. Kemacetan disebabkan lebih tingginya volume kendaraan dibandingkan sarana dan infrastruktur. Jadi kalau mau macetnya berkurang mau tidak mau kita harus mengurangi volume kendaraan dan memanfaatkan/mengontrol sarana dan infrastruktur yang ada. Negara maju dulunya juga posisinya seperti Indonesia, macet. Akan tetapi, untuk memiliki negara yang baik pengorbanan yang harus diberikan.
Jepang misalnya. Apakah anda benar-benar berpikir Jepang yang dulu sama dengan yang sekarang? Tidaklah. Jepang ini salah satu negara kejam yang menggunakan uang untuk menjerahkan orang. Meskipun demikian, buktinya negaranya berhasil tidak macet bukan? Nah, di sini saya mau membeberkan 2 saja solusi untuk kemacetan

1. Mewajibkan free pass. 
Namun sistemnya gak gratis, jadi bentuknya seperti asuransi tapi wajib seperti pajak. Di situ kita ditetapkan kita harus bayar berapa setiap bulan. Sehingga tidak ada penipuan oleh banyak oknum.
Oke, Saya ceritakan dulu pengalaman saya sedikit ketika naik angkutan umum, dan mengapa banyak orang memilih kendaraan pribadi. Karena saya kuliah di Malang, saya harus naik dengan bus dari Japanan ke Malang dengan biaya 10rb. Nah, kadang saya kan juga mengunjungi adik di pesantren harus naik angkot dalam kota, harganya berapa coba, 10rb? this really crazy I think. jadi totalnya 20rb untuk berangkatnya saja dan dengan harga segitu mahalnya saya harus nunggu banyak penumpang, dan kadang ada supir yang tamak dengan mencukup-cukupkan kondisi yang tidak cukup. Maksud saya, duselan. Hal ini terus terang membuat saya sama sekali tidak menikmati perjalanan karena kondisi saya yang tidak nyaman. Sekarang dibandingkan naik angkutan, saya perhitungkan dengan naik kendaraan pribadi. Sepeda motor saat ini harganya hanya berkisar 12-15 juta bisa dicicil dan bisa digunakan dalam jangka panjang. Ditambah harga bensin yang bisa saja 10rb untuk bolak-balik. Lebih murah, lebih nyaman, dan lebih terjangkau. Dibandingkan yang naik angkutan umum, mungkin bisa dibilang yang naik sepeda itu lebih kere.
Nah disini kita tau kendaraan umum kelemahannya adalah mahal, lama, dan tidak nyaman. Sempurna!. Bagaimana mungkin Indonesia tidak macet jika angkutan umumnya saja seperti ini. Orang bodoh pun tau lebih baik naik kendaraan pribadi saja. Karena itulah saya menyarankan adanya free pass yang akan menjamin angkutan umum dapat menutup kelemahan-kelemahan itu. Bayaran  para supir pun disesuaikan dari pusat, sehingga tidak ada yang namanya penipuan. Karena bersifat wajib bagi yang memiliki kendaraan maupun tidak, saya sih yakin orang akan merasa sayang untuk menyia-nyiakan uang yang dibayarnya dengan menggunakan kendaraan pribadi.

2. Adanya pajak yang mahal di setiap tol dan parkir
Hal ini memang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju lainnya. Yang akhirnya, kebijakan inilah yang membantu mereka menuju title negara maju bukan?. Pasti banyak yang bertanya, terus uang sebanyak itu mau dikemanain? ya untuk bayar utang negara lah. Kalian pikir negara udah kebanyakan uang? Malah banyakan bebannya kali. Selain itu, biaya tersebut juga bisa digunakan untuk pembaruan angkutan umum yang lebih nyaman untuk penumpang. Nah, kesejahteraan penumpang terjamin, kesejahteraan sopir, penjaga tol, dan parkir juga terjamin kan? Ini baru adil namanya. Namun jangan berikan keadilan bagi pengguna kendaraan pribadi. Nasib pengguna angkutan umum :(

Namun dari kedua hal tersebut, ada satu yang paling penting. Yakni mengubah paradigma masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan. Karena dibandingkan dengan faktor eksternal, faktor internal lebih kuat. Sehingga hendaknya mulai kecil, generasi selanjutnya hendaknya di latih untuk bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Kadang suka sedih kalau lihat anak-anak belum usia berkendaraan malah sudah berkendaraan. Akhirnya kebut-kebutan dan kecelakaan. yang salah siapa coba? Ya orang tuanya. Siapa suruh anak umur segitu sudah diajarin motoran. Saya saja dulu seusia mereka, kemana-mana naiknya sepeda pancal/ontel kalau gak gitu ya jalan kaki. Lebih sehat dan lebih menghemat. Yuk lestarikan bersepeda dan jalan kaki sejak dini. That's all from Me. Bye..


Selasa, 12 April 2016

Engkau yang Berjuang untukku

Sering kutatap dari kejauhan sini. Entah ketika berpapasan, maupun ketika kau melintasi halaman rumahku. Mungkin banyak perempuan yang akan mengharapkanmu. Aku hanya sekian persen perempuan yang mungkin buta akan tampangmu yang rupawan, pekerjaan yang mapan, suaramu yang merdu saat mengumandangkan senandung shalawat atas baginda Nabi Muhammad SAW, ditambah lagi pendidikanmu yang tinggi di banding lelaki lain di desa. Salut? Iya. Aku akui.
"Mas, maaf." Hanya kata ini yang ingin aku katakan.
Aku telah mendengar dari Ibuku serta Tetanggaku tentang kau. Mas, bukannya aku tidak menghargai perjuanganmu. Hanya saja, aku cukup tersakiti dengan ucapanmu di hadapan mereka yang menjanjikan kebahagiaan duniawi semata. "Apakah aku sehina itu?" adalah kata yang keluar pertama kali saat mendengarnya. "Tidak pantaskah diriku mendapatkan orang yang sederhana saja?" itu menjadi ucapan dalam hati selanjutnya.
Mas, aku hanya perempuan sederhana yang tidak mengharapkan harta sebagai jaminan kebahagiaan setelah menikah. Aku hanya perempuan murahan yang cukup di bayar dengan harta seadanya. Hanya saja, aku inginkan ketawaddlu'an seorang hamba Allah ada padamu. Karena Mas, Aku masih terlalu naif dan sombong di hadapan-Nya. Cukuplah bagiku kau mengajarkanku cara bersyukur dan cara merendah di hadapan-Nya.
Harta? Apalah arti harta jika itu hanya akan melalaikan aku atas-Nya.
Aku bukanlah perempuan yang suka jual mahal. Bagaimana mungkin orang mengatakan perihal kekayaan dan menunjukkan betapa mapannya dirimu di hadapanku? Sedangkan Aku malah merasa diriku ini semakin hina karena diukur dari harta. Aku punya harga diri Mas. Bukan, bukan dengan harta. Melainkan dengan keimanan yang luar biasa terhadap tuhannya. Yang dapat menjadi Imam bagiku, keluargaku dan Masyarakatku. Dan keimanan itu dapat menyebar ke segala penjuru dunia. Apa yang lebih indah dari itu Mas?
Aku ingin mengatakan semua ini padamu. Namun, di sms, telepon, akun sosmed maupun kehidupan nyata pun kau tidak pernah sekalipun menyapaku dan keluargaku. Bagaimana aku harus mengatakan padamu untuk berhenti mengejarku? Satu hal yang Aku yakini. Ketika engkau memanglah jodohku, suatu saat meski kau lama dalam penantian. Jika takdir berkata aku jodohmu. Aku akan kembali dengan tangan terbuka padamu. Entah sampai kapan.

Rabu, 02 Maret 2016

AMBURADUL

Dream. Impian. Mungkin bisa dikatakan cita-cita. Menjadi dewasa artinya dituntut untuk memiliki prioritas mimpi yang jelas kemudian memberikan usaha yang maksimal dalam mewujudkannya. Menjalani tingkatan semester akhir, ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak tanggungan fisik, Finansial maupun psikologis yang harus ditata sedemikian rupa untuk menantikan masa depan yang baik.
Tahun ini adalah tahun yang bagi saya sangat berbeban di hati. Meski mencoba bahagia, rasanya sangat sulit. Terlalu banyak impian yang perlu diraih. Namun bingung untuk memulai. Pada awalnya, prioritas saya adalah menyelesaikan hafalan. Namun, sepertinya Ibu kurang setuju dengan keinginan saya yang satu ini. Saya pun akhirnya sadar, sekarang bukan waktunya saya mengejar prioritas yang bagi Ibu sia-sia. Saya pun tidak ingin membebankan Ibu pada masalah finansial. Padahal jika ditelaah tujuan saya tidak lain adalah karena saya sudah lelah untuk mengejar dunia, saya ingin bersemedi dengan Allah, saya ingin merasakan atmosfer positif yang dulu sempat saya rasakan, saya ingin benar-benar fokus pada ibadah kepada Allah yang disambi dengan pendalaman TOEFL untuk persiapan S2 saya. Salahkah?