Minggu, 12 Mei 2013

kesempurnaan hidup


               kesempurnaan hidup Aku adalah seorang muallaf yang baru mengenal islam. sebenarnya yang ku cari dalam islam adalah kedekatan dengan sang penguasa. hanya itu, bukan yang lain. jadi wajar saja ketika aku masuk pesantren pertama kali aku sama sekali Tidak memahami seluk beluk islam. Sampai akhirnya aku memahami keterbatasanku dalam memahami seluk beluk islam dan akhirnya aku memutuskan untuk berusaha tawaddlu’ kepada perintah ustad-ustad dan kyaiku selain itu aku mengistiqomahkan shalat tahajjudku.
setiap kali ada pengajian fathul qorib di musholla kecil salah satu bagian dari ponpes ku, aku berusaha datang lebih awal untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan kyai untuk mengaji. semua yg kulakukan itu bukan karena aku cari perhatian hanya saja aku terpengaruh oleh dawuhan kyai minggu lalu ”jika akhlakmu terhadap orangtua, guru, serta masyarakat di sekitarmu baik maka semua akan mengikuti, baik itu ilmu, rizki, maupun jodoh jika tidak, maka akan sebaliknya” ku rekam dengan baik dawuhan kyai itu lalu ku masukkan rekaman itu kedalam memori otak ku sehingga mendorong aku untuk ikhlas menolong kyai. setiap kali ku ingin melakukan kejelekan, memori ku akan berputar secara otomatis dengan rekaman itu sehingga mengurungkan niatku untuk melakukan kejelekan itu.

                    *****
              Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun akhirnya aku akan menerima lembaran hasil usaha ku selama menjadi santri di ponpes ini atau biasa disebut ijazah itu akhirnya aku akan meninggalkan pondok ini. Teman-teman ku biasa menyebutnya ”pindah rumah” karena bagi mereka pondok ini adalah rumah bagi mereka. Sebelum hari H pemberian ijazah, pengurus pondok akan memanggil calon pengurus pondok yang baru.
Bagi mereka yang sudah tamatan akan berdebar-debar hatinya jika ada panggilan lewat kantor pusat, begitu pula dengan aku namun tak mungkin sekali namaku terpanggil karena aku tidak mampu untuk melakukan itu. Namun dugaanku salah, ternyata namaku disebut juga. aku terkejut bukan main. ya..bukannya aku keberatan tetapi aku takut melalaikan amanah. Ternyata di umurku yang ke-20 ini aku diberi amanah yang begitu berat bagiku tapi seperti prinsip awalku yaitu segala sesuatu itu tidak perlu dikeluhkan, jalani aja apa adanya banyak cemoohan yang selalu ditimpakan padaku
”masa’ si raihan yang gak bisa apa2 itu dijadikan pengurus” ucap seorang teman yg ku tau bernama supriadi
“emang tadi namanya di panggil ?” ucap ari dan heri berbarengan
”iya” ucapnya serius
”dia kan muallaf, dia juga gak paham bener masalah agama” ucap ari membuka rahasiaku. ”apa? muallaf?” kata Supriadi dan Heri terkejut
”iya, emang kalian gak tau?” ucapnya meyakinkan
”ngacok kamu apa buktinya?” ucap Heri
”aku pernah liat album fotonya saat dia ada di gereja dan berdo’a dengan khusyuknya” kata ari yang meyakinkan
”apa iya?” ucap heri
”ya udah kalau gak percaya” kata ari mulai capek menguatkan kefaktaan beritanya.
Hatiku terasa tersayat-sayat oleh pedang saat itu. coba bayangkan mereka membicarakanku di saat aku ada di tempat itu. hatiku ingin menangis tapi ku berusaha menahannya.
Aku berusaha mencari informasi siapa yang memilihku sebagai calon pengurus. ternyata ustad Hasyim yang memilihku. Ku akui aku memang dekat dengan ustad hasim. Aku mengungkapkan perasaanku kepada ustad hasim, kemudian mengundurkan diri dari amanat itu bukannya aku ingin disebut kalah sebelum berperang tapi aku takut, jika aku menjadi pengurus, semua santriku kelak akan tersesat. ustad hasim hanya tersenyum mendengar alasanku mengundurkan diri.
“kamu pasti bisa han!” ucap beliau ustad itu begitu tenang tapi setiap kata-kata yang keluar dari mulut beliau selalu membekas di hatiku.
“majelis ilmu adalah salah satu tempat yang paling mustajabah maka dari itu memintalah apa saja yang kau inginkan kepada allah mulai dari sekarang baik berupa ilmu, rizki, jodoh maupun anak sekalipun” dawuh kyai saat pengajian bersama pengurus. aku merekam dengan baik setiap perkataan kyai yang bagiku sangat bermanfaat untuk masa depanku. ku coba apa saja yang di dawuhkan kyai. Hingga suatu hari.........
 “ustad raihan di timbali romo kyai” lapor santriku dengan sopan
”oh iya, syukron” ucapku seraya memaksakan bibirku untuk tersenyum
”sama-sama ustad”.
Aku menghadap kyai dengan penuh rasa penasaran apa yang akan di dawuhkan romo kyai kepadaku Aku telah dapat melihat seorang laki-laki berbadan tegap berjuba putih dan kulitnya yang mulai keriput karena di makan usia itu dengan jelas sekarangku menundukkan kepalaku tujuanku hanya untuk menghormati beliau. beliau tersenyum.
”duduklah nak, ada yang mau saya bicarakan denganmu” ucap beliau ketika ku sudah menampakkan diri di hadapannya.
inggih wonten nopo kyai ?” ucapku dengan sopan sambil mengembangkan senyum di wajahku dan tetap dengan kepala menunduk. wajahku terlihat tenang tapi berbeda dengan hatiku yang sangat berdebar-debar
”iya Han,ada yang mau memintamu untuk menjadi menantunya”
 Duarr................
Hatiku meledak seperti bom di Bali. aku bingung akan berkata apa pada kyaiku ini. aku hanya tersenyum. hatiku kembali bergetar saat kuketahui ada seorang laki-laki yang keluar dari bagian dalam dari rumah ini. Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku untuk mengetahui siapa yang datang. Aku kembali terkejut ketika ku mengerti siapa laki2 itu.
”apa kau mengenalku Raihan Firdaus?” ucap laki2 itu.
”jenengan kyai Mahfudz kan? seseorang yang membuat saya masuk islam melalui penyembuhan orang tua saya yang terkena tumor ganas?” ucapku memutar masa lalu ku kembali.
”iya, kamu benar dan aku tak pernah menyangka kamu memutuskan untuk masuk islam setelah peristiwa itu”
”ini saudaraku yang tinggal di Bogor, han” ucap kyai Mustofa, kyai di pesantren ini. aku hanya manggut-manggut menandakan aku paham apa yang dikatakan kyai mustofa.
”kyai Mahfudz ini yang akan memintamu untuk menjadi menantunya” lanjut ustad Mustofa
”iya, aku yang memintamu karena ku ketahui akhlakmu yang dapat diacungi dua jempol” ucap kyai Mahfudz membesarkan hatiku. Bibirku mengembangkan senyum semakin melebar karena pikiranku dibuatnya melayang
”tapi puteriku adalah seseorang yang akhlaknya buruk kepada siapapun bahkan kepada orang tuanya, tapi dia adalah perempuan yang cerdas dalam urusan agama. karena kekurangan puteriku ini maka permasalahan puteriku ini ku jadikan PR bagimu. bagaimana merubah akhlak puteriku itu.” lanjut kyai Mahfudz.
Tak terasa senyum yang terpasang di wajahku ini perlahan-lahan memudar. Dalam hatiku hanya meronta mengapa jodoh yang diberikan allah kepadaku tak sesuai dengan harapanku? tidak boleh. aku tidak boleh menentang Allah. ini takdirku.
”semoga Allah memberikan kemudahan untuk merubah puteri jenengan” ucapku akhirnya ”amiin” kata kyai mahfudz seraya tersenyum. ya, mungkin ini bagian dari kesempurnaan hidupku, saling melengkapi. Itulah takdir yang kurasa hanya untukku
”minggu depan kamu akan ku jemput agar puteriku dapat melihat bagaimana calon suamiya, kamu menjalaninya dengan ikhlas bukan?” ucap kyai mahfudz kemudian. aku mengangguk pelan
”insyaallah akan saya jalani dengan ikhlas” ucapku akhirnya.                 
                   *****
Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, di umurku yang ke-25 ini aku akan dijodohkan dengan seorang perempuan dari kalangan kyai, aku memang menginginkannya, tapi menginginkan perempuan dari kalangan kyai yang khusnul khuluq bukan su’ul khuluq. tapi semua mungkin takdirku.
Tak terasa hari ini adalah hari yang dijanjikan kyai mahfudz untuk mempertemukan aku dengan puterinya. Terakhir kali aku datang ke rumah beliau, saat aku berumur 5 tahun dan isteri beliau tengah hamil 9 bulan jadi, bagaimana tampangnya aku tak mengerti. ”ustad raihan, di timbali romo kyai” ucap santri yang masih sama ketika aku dipanggil kyai mustofa minggu lalu.
”oh na’am syukron” ucapku akhirnya.
 Dag dig dug....
Hatiku berdetak kencang, aku bingung apa yang mesti aku lakukan disana ”sudahlah apa kata nanti” desahku. aku berjalan menuju ndalem kyai. ku melihat kyai Mahfudz disana beliau sudah berdiri tegap sambil memasang senyum kepadaku. Aku mendekati beliau seakan pasrah dengan apa yang terjadi. Pakaian yang kukenakan sangat sederhana, kokoh putih, kopiah hitam lusuh yang biasa kupakai dan celana hitam. sangat sederhana bukan?
”bagaimana nak? sudah siap?” ucap kyai mahfudz kepada ku yang hanya menunduk.
”insya allah” ucapku kepada beliau agar beliau tidak kecewa, padahal hati dengan ucapanku berbeda, sebenarnya hatiku tidak siap sama sekali namun jalani aja apa yang ada. Kyai mahfudz menyeretku kedalam mobil kijang inova hitam miliknya. aku nervous. selama 25 tahun aku hidup di dunia, baru kali ini aku menaiki mobil kijang inova. hatiku merasa berbahagia tapi juga berdebar-debar. aku harus bagaimana?
             
                    *****
dua jam sudah aku berada di mobil itu. aku hanya diam. nervous. itu yang kurasakan saat ini. sesekali aku bertanya apakah masih jauh ataukah sudah dekat. Jika dijawab masih jauh aku akan menghempaskan nafas legaku. tapi kali ini tidak. Tiba-tiba mobil yang ku kendarai berhenti.
”kyai mengapa berhenti?” ucapku akhirnya.
”masih isi bensin” ucap kyai mahfudz kemudian tersenyum padaku seakan-akan beliau tau akan keteganganku. Aku melepaskan nafas legaku untuk yang kelima kalinya. itu artinya selama 2 jam aku telah bertanya 5 kali.
”jangan bingung anak muda. jangan nervous. siapkan dirimu, tunjukkan pada kaum hawa bahwa kamu adalah lelaki sejati” ucap beliau kemudian. Aku mengangguk mantap sambil mengembangkan senyum kepada beliau. kyai mahfudz mengajakku bicara bicara selama diperjalanan. tujuan beliau hanya satu, agar aku gak nervous. aku mendengarkan lelucon beliau sambil sesekali tersenyum. namun senyumku mulai memudar ketika mobil ini berhenti.
”akhirnya...sudah sampai” ucap kyai mahfudz seraya melepaskan kelelahannya setelah 3 jam duduk di mobil.
 Dag dig dug
Dadaku berdetak semakin kencang. aku melihat papan bertuliskan AR-ROUDHOH. Yap, pesantren yang pernah aku masuki 20 tahun yang lalu. aku melangkahkan kakiku kepada gerbang pondok ini. namun tidak seperti pada saat aku berumur 5 tahun. yang tidak tau mengapa orang tua ku yang terkapar sakit itu dibawa ke tempat ini.
”ayo nak masuklah” ucap kyai mahfudz memudarkan lamunanku. aku hanya mengikuti langkah beliau menuju ruang tamu
”duduklah akan ku panggilkan puteriku” aku mengangguk. diam. nervous.
“Nabilah, itu calon suamimu sudah datang” ucap kyai mahfudz lembut kepada puterinya ”oh Nabila namanya” gumamku
”males ah”
”Nabila!” ucap kyai mahfudz mulai geram
”kenapa sih aku harus dijodohin, abi! abi inget ya aku bisa nyari 1000 orang yang lebih pantas buat aku dari pada dia” ucapnya sombong
”sekarang temui calon suamimu atau abi akan menghukummu” ucap kyai mahfudz geram. ”udah tua bangka masih aja suka marah-marah. cepat mati nanti”
”masya allah tidak ada sopan santunnya” batinku yang mendengar pembicaraan dari luar. “sudah abi bilang, abi mencarikan seseorang yang bisa merubah akhlak burukmu itu” ucap kyai Mahfudz geram
”abi gak akan bisa merubah akhlakku, ini bawa’an, baik akan kutemui dia dimana dia?” ucap nabilah.
”di ruang tamu. aku yakin kamu pasti menerimanya” ucap kyai mahfudz ”jangan terlalu banyak berharap bi” kemudian perempuan itu menampakkan wajahnya dari balik tirai “cantik” ucapku dalam hati ”astaghfirullah aku kesini hanya untuk meminangnya agar aku bisa menyempurnakan imanku bukan untuk maksiat.” ucapku dalam hati. dia duduk dihadapanku sambil menyilangkan kakinya
”benar-benar tidak sopan” gumamku
”kenapa? gak suka?” ucapnya yang ternyata mendengar gumamanku
”jenengan perempuan, tolong duduk yang sopan” kataku memberanikan diri
”kamu berani sama aku? inget ya aku menemuimu karena keterpaksaan” . sabar.
”oke, aku pengen tau kamu itu seperti apa” lanjutnya. baik. apa yang akan jenengan tanyakan pada saya”
“jangan pake’ kata jenengan! Kamu aku aja”
”bagi saya kata kamu-aku adalah perkataan yang tidak sopan digunakan untuk orang yang dimuliakan”.
”terserah kamulah. apa kamu pernah pacaran?”
”saya tidak pernah pacaran”
”apa buktinya?” aku seperti benar-benar diinterogasi oleh ucapannya kali ini. Aku bingung. bukti apa yang bisa aku berikan?
”begini saja, kamu punya handphone?” lanjutnya
”punya.” ucapku singkat tak faham apa maksudnya
”dibawa?”. Aku mengangguk.
”boleh aku melihatnya?” kurasa dia lebih sopan sedikit kepadaku sekarang. Aku memberikan handphoneku padanya. Ia menggeledah isi handphoneku. Tiba-tiba dia menelepon satu persatu nama-nama yang ada di HP ku
”bagaimana ning nabilah?” ucapku akhirnya. lalu dengan cueknya dia masuk ke ruang tengah dari rumah ini
”jenengan meninggalkan saya tanpa memberikan keputusan” ucapku ketika dia telah mendekati tirai pembatas. dia diam. aku berharap dia memberikanku keputusan. namun dia tetap masuk ke dalam tirai pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. dan kemudian kyai Mahfudz keluar dengan menampakkan wajah tersenyum padaku.
”kamu berhasil” ucap kyai Mahfudz padaku. Aku tak faham apa maksud dari perkataan kyai Mahfudz
”kamu akan menjadi calon menantuku” ucap beliau. Aku tersenyum. Semua berjalan sangat singkat, tak adil sepertinya jika waktu 2 minggu yang kupersiapkan di tentukan hanya dalam waktu dua jam saja.
”pertemuan selanjutnya kita akan membicarakan kapan mengadakan khithab” ucap kyai Mahfudz seraya tersenyum padaku. Aku tersenyum malu kepada beliau.
”kamu akan diantarkan kembali ke pondok oleh sopir pribadiku. maaf saya tidak ikut mengantarkanmu karena saya terlalu capek” lanjut beliau Aku meninggalkan pondok ini dengan nafas lega dan kembali ke pondok ash-Shiddiqiyah tercinta.
sesampainya di pondok cemoohan teman-teman sepantaranku yang menjadi pengurus kembali kudengar siapa lagi kalau bukan supriadi dkk. hanya Hasan sahabatku yang turut bahagia mendengar kabar dariku, Aku tak tau mengapa mereka begitu membenciku alasan mereka karena aku seorang muallaf. logiskah itu?. aku hanya merenung. apakah ada yang salah jika aku adalah seorang muallaf? menurutku seorang muallaf lebih pantas diberi penghargaan karena melakukan hal yang benar.

                         *****

 1 tahun kemudian......
 Kini aku telah beristeri, selama 9 bulan aku menjalani pernikahan, tak sekalipun aku berjama’ah dengannya. alasannya da’imul hadats. tapi apakah sesering itu isteriku mengalami da’imul hadats. Kini isteriku tengah hamil 5 bulan. selalu kutuntun isteriku untuk selalu berdzikir dan membaca Al-Qur’an yang  kami tujukan untuk calon anak kami kelak.
”dasar tetangga yang gak tau diri udah tau ada orang hamil masih aja gak mau ngalah” ucap isteriku menggerutu.
“ada apa sih mi? jangan ngomong gitu ah nanti efeknya keanak kita loh” ucapku lembut ”habisnya bi mereka tuh gak tau diri” ucapnya memanja padaku.
”istighfar mi, jangan sampai kembali pada anak kita. umi sekarang lagi hamil, umi harus bisa menjaga omongan takutnya kembali pada anak kita. kita sama-sama berusaha abi juga berusaha” nasihat ku padanya.
”baik, abi” ya begitulah aku mulai merubah akhlak isteriku sedikit demi sedikit yang ku harapkan nantinya akan menjadi bukit. Masih dengan rasa penasaranku, aku kembali bertanya pada isteriku apakah ia benar-benar da’imul hadats aku yang belum mengerti tentang islam sepenuhnya mulai bertanya kepada isteriku.
”mi, apakah seorang yang da’imul hadats tidak boleh shalat berjama’ah?” ucapku suatu hari. ia hanya tersenyum. sambil berjalan ke almari es milik kami untuk mengambil dua buah apel. yang tentunya satu untukku. isteriku harus banyak makan buah-buahan agar anak kami kelak menjadi anak yang sehat.
”mengapa abi bertanya demikian?” ucapnya kemudian.
”aku hanya ingin sesekali kita shalat bersama secara berjama’ah” ”sebenarnya tak ada salahnya kalau seorang da’imul hadats shalat berjama’ah” ucapnya seraya tersenyum. ”lalu mengapa umi tidak mau shalat berjama’ah bersama abi?” ucapku bingung
”begini abi sebenarnya jika seorang da’imul hadats shalat kemudian ketika shalat dia mengeluarkan darah putih maka seketika itu wudlu’nya batal dan shalatnya pun tidak sah tapi berbeda dengan seorang yang istihadloh ketika dia sholat lalu ia mengeluarkan darah maka sholatnya tidak batal” jelasnya panjang lebar. ya begitulah kehidupan kami, kami selalu saling melengkapi.

                        *****

                  setelah 11 bulan kami hidup dengan penuh dzikir, ayat-ayat al-qur’an dan tentunya dengan cahaya shalat tahajjud akhirnya hari ini adalah hari penentuan usaha kami. sekarang isteriku tengah terbaring di ruang ICU. Aku sangat mengkhawatirkan keselamatannya juga anakku
“jika aku harus kehilangan anakku aku masih bersabar tapi jika aku kehilangan isteriku? aku tak tau apakah aku kuat menjalani hidup ini? tidak. tidak. dia pasti selamat. ya allah selamatkanlah isteriku ini ”perdebatan hati yang berubah-ubah, memaksaku berjalan mondar-mandir di lorong penuh kamar ini. begitu juga keluargaku dan keluarga isteriku. semua khawatir. tak ada yang memberikan seulas senyum pun padaku.
dua jam sudah isteriku mendapat penanganan medis tapi tak kunjung pula berita untuk kami hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang ICU dengan tampang mengecewakan dan menyerah.
”dimana suami dan ayah dari saudari Nabilah?” ucapnya kemudian
”saya” ucapku dan kyai Mahfudz bersamaan
”mari ikut saya ke ruang dokter” aku dan kyai Mahfudz hanya menurut saja apa yang dikatakannya
”maaf saya sudah mengusahakan tapi isteri anda tetap tidak dapat tertolong. Allah berkehendak lain” ucapnya padaku. mendengar kabar itu aku meneteskan air mata
”sudah ku duga sebelumnya” ucapku dalam hati
”innalillahi wa innailaihi roji’un” ucapku dan kyai Mahfudz bersamaan
”isteri anda terkena tumor leher rahim yang sudah berstadium tinggi. penyakit itu memiliki tanda keputihan yang tiada henti dan bau yang sangat menyengat” lanjutnya. aku meneteskan air mataku membayangkan isteriku semasa hidupnya yang menerangkan padaku mengapa orang da’imul hadats tidak di perbolehkan shalat berjama’ah, ku lirik kyai Mahfudz yang kini telah duduk di sampingku. beliau terlihat shock dengan adanya kabar itu.
”namun tenang bayi anda selamat. dia sangat sehat semua ini karena supplement-suplemen makanan dari sang ibu diserap oleh anak seluruhnya disebabkan tumor itu” lanjut dokter
”baik dok. terimakasih atas usaha anda, semoga allah selalu meridhoi setiap langkah anda. jenazah saudari Nabilah akan kami bawa pulang untuk di tajhiz bersama keluarga. kalau begitu kami permisi” ucapku masih menyisakan air mata di mataku.
”bersabarlah anak muda” ucap kyai Mahfudz yang masih terlihat shock, sama halnya dengan aku yang masih shock dengan kejadian itu. kami membawa kabar menyedihkan itu kepada keluargaku dan keluarga isteriku, tangis mereka meledak di lorong ruang ICU seketika itu juga.

                     *****

             Aku mengedarkan pandangan disekitarku. penuh dengan mobil-mobil yg sejak tadi membunyikan klakson mobilnya. suasana itu semakin lengkap ketika aku ketahui matahari memperlihatkan tampangnya dengan bangga. Begitulah kehidupan di jakarta, macet, polusi, panas menurut kita penduduk jakarta sudah menjadi hal yg biasa.
kabar kesedihan 4 tahun yg lalu itu telah terlewati, setelah 1 tahun aku terpuruk dalam kabar kesedihan, akhirnya aku sadar bahwa Allah tak akan memberikan cobaan kepada manusia diluar kemampuan manusia. aku bersyukur tiada henti atas pemberian rizki terbesar yg di berikan Allah untuk aku. yang berupa buah hati yg sholihah dan secerdas istriku itu.
aku kini sedang duduk dan santai dimobil yg tidak terlalu mewah ini dengan mendengarkan alunan-alunan musik nasyid. Tiba-tiba hp ku berbunyi, aku terjingkat kaget. kupandangi layar HPku ”sudah ku kira” gumamku seraya mengembangkan senyum diwajahku. terbayang di benakku wajah polos tak berdosa, yg bersih serta penuh dengan tanya itu ketika ku menatap layar hpku
“halo Accalamualaikum” terdengar suara salam diseberang sana ya dia adalah buah hatiku yg masih berumur 4 tahun itu.
“Wa’alaikumsalam sayang” jawabku lembut padanya
”abi, abi cekarang ada dimana?” ucapnya lugu
”abi sekarang ada di jalan terjebak arus macet sayang. emang kenapa? ada masalah?” ucapku khawatir
”enggak. abi jangan lupa sholat ya!” ucapnya polos
”iya, abi pasti selalu inget, terimakasih ya udah ngingetin abi” ucapku seraya bangga memiliki anak sepertinya
“ya udah abi. accalamu’alaikum” ”wa’alaikum salam” allah memang mengambil isteriku tapi Allah memberikan lebih. kamilah, buah hatiku yang shalihah dan cerdas itu memberikan aku kesempurnaan hidup dan kesempurnaan agama yang lebih bisa mendekatkanku dengan sang penguasa. hidupku kini penuh dengan ayat-ayat al-Qur’an dzikir serta cahaya shalat yang bisa membuat hatiku tentram bersama buah hatiku tercinta.
THE END

keajaiban kehidupan

Hidup bagaikan penjelajahan tanpa ujung. Penjelajahan ini takkan pernah berakhir sampai aku mendapat ridho-Nya. Karena-Nya aku memulai penjelajahan ini, dan karena-Nya pula aku akan menghentikan penjelajahan ini.
           Takbir berkumandang, tak terasa air mata ini menetes dengan derasnya. Seakan merasakan kerinduan yang sangat dengan alunan penuh ketenangan itu. Alunan yang kembali mengingatkanku akan kebesaran-Nya, mengingatkanku bahwa Dia-lah yang patut di sembah. Dia-lah yang membuat kehidupanku berwarna. Dan apapun yang terjadi dalam hidupku adalah sebuah keajaiban yang telah Dia perlihatkan padaku.
          Aku adalah satu-satunya mahasiswa Indonesia yang mendapatkan bea siswa di Harvard university. Selama empat tahun lebih aku hidup di negri kristiani yang budayanya begitu mengerikan. Sangat berlawanan dengan budaya negriku. Jika aku mau, aku bisa mendapatkan seribu lebih macam kemaksiatan, mulai mencumbu perempuan, melirik aurat-aurat perempuan, meminum wiski dan segala bentuk kemaksiatan yang menjadi budaya dimana tempatku singgah. Adzan yang seharusnya bisa kudengar di setiap waktu sholat, tak dapat aku dengarkan. Serasa hidup ini jauh dari rahmat-Nya. 
         Jika kau berpikir aku sangatlah cerdas karena mahasiswa yang dapat kuliah ke Harvard university hanyalah aku, bagiku itu sebuah fitnah. Karena apa yang aku dapat, hanyalah sebuah keberuntungan yang sengaja allah berikan untuk membuatku merasakan betapa beruntungnya diriku. Karena aku masih dapat memeluk agamaku dan meneguhkannya ditengah kemaksiatan yang terus mengelilingi kehidupanku. Bahkan aku dapat merasakan betapa maha besarnya Allah yang menguatkan keimanan Rasulullah di tengah cemoohan kaum kafir. Betapa kasih sayang beliau kepada Allah begitu besar sehingga tak dapat menggoyahkan keteguhan beliau untuk terus membela agama Allah. Sungguh sangat menakjubkan saat hati di liputi dengan kekuatan cinta yang hakiki kepada Penciptanya. Awalnya aku hanyalah mahasiswa yang dihidupi dengan bea siswa. Aku salah satu mahasiswa bidik misi dari salah satu Universitas Islam Negri di Jawa, jurusan sastra Inggris di fakultas humaniora dan budaya. Bukankah itu sebuah kesederhanaan?. Awal yang sederhana untuk mencapai akhir yang khusnul khotimah, hanya itu yang aku harapkan.
            Bukan bermaksud merendahkan universitas ini, aku hanya ingin mengatakan pada dunia bahwa apapun nama Universitas itu, sehebat apapun namanya, hanya niat dan hasillah yang dapat menggugurkan pola pikir rendahan ala masyarakat kota yang katanya modern itu. Ternyata tidak hanya masyarakat kota yang merendahkan Universitas yang telah ku pilih itu, bahkan guru-guruku pun menyayangkan aku yang memilih Universitas itu. karena di setiap tahunnya aku selalu berprestasi. Sekali lagi, itu hanya suatu keberuntungan yang Allah berikan agar aku tak pernah melupakan-Nya. Mereka berpikir bahwa apapun yang berlatar belakang islam adalah sesuatu yang tidak bermutu. Namun nyatanya, penemu-penemu ilmu modern yang mereka pelajari tak lain adalah sebuah pemikiran muslim. Ingat! Aku masih membicarakan wilayah Indonesia, yang mayoritasnya adalah muslim. Sungguh hal ini suatu kemunafikan yang nyata.
           Aku menikmati kehidupan yang kata orang tak bermutu itu. tak terlalu buruk menurutku. Disini kami di ajari membaca kitab kuning, dikenalkan arti islam secara mendalam, dan yang terpenting, aku di kenalkan bagaimana aku membuktikan kebenaran ilmu modern dengan ayat al-qur’an yang telah di tuliskan. Hal yang menurutku sulit untuk di temukan. Tak hanya itu, kami di kenalkan dengan dua bahasa yang paling popular di dunia, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dan sesuatu yang sangat menarik perhatianku saat itu adalah Universitas ini memfasilitasi dan menampung mahasiswa yang tertarik untuk menghafalkan al-qur’an. Lalu, Adakah Universitas yang lebih baik dari itu? Adakah Universitas yang dapat mengantarkan mahasiswanya secara totalitas mengarah pada Islam? Aku rasa hal itu mustahil dapat di temukan di universitas-universitas yang namanya begitu indah dan begitu modern.
              Dosen-dosen yang ada disini adalah dosen yang tulus, ikhlas mendidik mahasiswanya. Beliau-beliaulah yang senantiasa memotivasiku untuk selalu berjihad di tengah kehidupan hedonisme ini. Diantara dosen-dosen tersebut, ada dua dosen yang aku kagumi, pertama dosenku dalam pengajian kitab kuning, beliau lulusan sastra arab Riyadh, Arab Saudi. Dengan kelihaian beliau dalam berkata-kata ala penyair itulah yang mampu menarik simpati mahasiswa-mahasiswanya. Kami begitu terkesima saat beliau mengeluarkan kata-kata puitis yang dapat membius alam sadar kami. Beliau menyadarkan, bahwa hanya karena Allah-lah semua berjalan, manusia tak memiliki daya apapun, bahkan untuk menjalankan dirinya sendiri. Sungguh, suatu nasihat yang luar biasa yang dapat menggetarkan jiwa kami. Betapa nistanya diri kami saat kami menganggap diri kami lah yang hebat. Karena ada Dzat yang kehebatannya tak ada yang bisa menandingi.
            Dosen yang kedua adalah dosen perkuliahan khusus pengembangan bahasa arab, beliau adalah seorang akhwat, keteguhannya dalam mencari ilmu, membuatnya lupa untuk berkeluarga. Beliau adalah akhwat realistis, tak ada alasan yang bisa beliau ambil, saat beliau belum pernah merasakan pengalaman itu, namun menurut kami beliau sudah sangat mendalami ilmu agama. Bahkan, beliau lah yang membantu kami untuk meyakinkan kami agar tak pernah takut saat bersanding dengan manusia atheis. Beliau yang memberikan kami alasan yang mudah kita cerna dengan baik sehingga kami tidak merasa kebingungan saat mereka mulai melihaikan lidah mereka untuk menjerumuskan kami ke dalam aliran mereka. Beliau dengan senang hati membantu kami dalam segala tugas mata kuliah selama beliau mampu. Sungguh betapa beruntungnya ikhwan yang mendapatkan istri secerdas itu. allahumma ja’alna minhum.
           Tahun pertama di Universitas ini aku jalani dengan keriangan dan ijtihad, bahkan aku mulai menyatu dengan lembaga tahfidzul qur’an. Yah, saat itulah aku arungi hidupku sebagai sosok yang mengabdikan diri dengan firman-firman Allah. Di saat semua sibuk dengan tugas kuliah masing-masing, aku justru menyibukkan diriku dengan Al-Qur’an. Aku pun tak tau keajaiban apa yang mampu menguatkanku untuk berani mengambil keputusan sebagai pecinta Al-Qur’an. Aku merasakan kebenaran rumor masyarakat yang mengatakan bahwa dibalik keputusan ini, ada cobaan yang berat yang akan aku terima. Aku hanya menganggapnya sebagai resiko. Pada pertengahan tahun pertama aku singgah disini. Ayahku menderita penyakit yang tak tampak, sejenis syihir. Aku tak tau siapa yang setega itu menganiaya keluargaku. Sejak saat itu, hari-hari ceriaku semakin pudar. Namun, tekadku untuk berjihad di agama Allah tetap teguh. Dalam keadaan ini, tak ada yang patut aku mintai pertolongan selain Allah. Dia yang memberikan musibah dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan. Aku pun tak tau kenapa hal ini harus terjadi di saat aku bertekad penuh menyelesaikan hafalan ini.
                Pada tahun kedua, aku arungi lebih banyak lagi cobaan. Kali ini cobaan hati dan keimanan. Aku kini menjadi mahasiswa aktif di lembaga tahfidzul qur’an, setiap periodenya selalu di buka pendaftaran bagi hamba-hamba Allah yang ingin mengabdikan dirinya pada rabbnya. Tak sengaja aku melihat akhwat yang mengusik hatiku. Parasnya yang sederhana, akhlaknya yang santun, membuatku terpaku tak sadarkan diri. Astaghfirullah hal adziim. Sungguh kekaguman ini melewati batas normalnya. Aku segera meminta ampunan kepada Allah atas kedahsyatan cobaan ini. Namun, parasnya selalu ada di setiap aku memejamkan mataku. Aku resah, tapi aku kembalikan semuanya pada Allah. Aku yakin, tiada takdir yang lebih indah dari takdir-Nya. Seiring berjalannya waktu, aku semakin dekat dengan dia dengan tetap pada batasan-batasan yang syar’i. Aku mulai mengenal karakternya. Saat bersama teman perempuannya dia terlihat begitu akrab, dengan senyumnya yang sangat renyah. Namun, saat bersama teman lelakinya, dia terlihat pendiam. Dia akan melirihkan suaranya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya. Setiap ia berkata, suaranya amat lembut nyaris tak terdengar, dan takkan memandang wajah lawan bicaranya. Sungguh akhlak yang luar biasa. Andai suatu saat aku dapat hidup bersamanya. Dan menjadikan keturunan-keturunan kami sebagai keturunan yang sholih-sholihah. Subhanallah.
               Aku sadari, aku semakin mengaguminya. Namun, aku tak ingin menodainya dengan kemaksiatan. Biarlah Allah yang mengatur semuanya. Dan biarlah Allah yang mengatakan padanya, betapa aku sangat mendambakannya. Tahun ketiga dan tahun terakhir aku disana semakin berwarna dengan beberapa tugas skripsi, PKL dan sebagainya. Semuanya berjalan dengan lancar atas izin Allah. Targetku berhasil. Menyelesaikan studiku tiga tahun, delapan bulan. Meski bukan waktu yang singkat, namun jika dibandingkan teman sebaya itu, waktu itu adalah waktu yang singkat. Semua terasa menyenangkan meski menguras pengorbanan pikiran yang luar biasa. Semua akan menyenangkan saat kita telah merasakan manisnya ilmu. Justru waktu yang tak singkat itulah yang membuatku semakin haus akan ilmu.
               Aku kembali ke daerahku, Yogyakarta. Kembali ku nikmati kehidupan tanah kelahiranku, semuanya tak ada yang berubah. Karena itulah visi kami, mempertahankan kebudayaan yang ada. Aku kembali membantu ibuku yang berjualan di pasar Malioboro. inilah nasib kami sebagai manusia kecil yang tak punya apa-apa. setiap paginya kami harus pergi ke pasar dan kembali pada saat senja tiba. Hanya berbekal iman dan tawakkallah aku hidup. Malamnya, aku membantu TPQ yang terletak dua kilometer dari rumahku. Sekali lagi, aku hanya ingin mengabdikan diriku pada Allah. Ayah menawariku untuk menggantikannya dalam dua tahun ke depan sebagai seorang pengajar di sebuah madrasah yang letaknya lumayan jauh dari kediaman kami. Ayah tak menginginkan aku sebagai bahan cemoohan tetangga yang mengetahui aku adalah seorang mahasiswa. Tawaran yang menggiurkan sebenarnya. Namun, ada sesuatu yang mengusik hatiku. Seakan-akan ada yang membisikkan, bahwa akan ada keajaiban yang akan membuatku terpukau.
               Satu tahun kemudian, setelah kelulusanku, Aku mendapatkan surat panggilan dari rektorku. Entah apa yang membuat beliau merindukanku dan memaksaku untuk kembali ke tanah perantauan. Dengan bermodalkan beberapa keping uang, aku kembali ke tanah perantauanku untuk sekedar menghormati sosok yang berjasa dalam peradaban hidupku. Kedatanganku seakan memang sebuah harapan bagi beliau. Kini aku dapat melihat kembali kebisingan tanah perantauan ini. Perlahan aku langkahkan kakiku untuk menghadap beliau. Beliau menyambutku dengan ramah dan sebuah pelukan yang membuatku takjub. Apakah ini pelukan kerinduan? Ataukah pelukan penyesalan. Entahlah. Apapun itu, aku harus siap mendengar apapun yang akan beliau katakan. “maaf pak, saya baru bisa memenuhi panggilan bapak hari ini. Seharusnya dua hari yang lalu, saya sudah sampai disini..” ucapku basa-basi. “ah.. sudahlah. Bapak cukup senang saat kamu memenuhi panggilan bapak. Langsung saja nak, bapak akan masuk pada inti pembicaraan. Setahun yang lalu, kami sengaja mengirim nilai mahasiswa terbaik kami, untuk di terima di Harvard University. dan atas izin Allah, diantara ratusan mahasiswa, kamulah yang paling beruntung, dan hanya nilaimu lah yang dapat di terima oleh universitas itu. Semuanya gratis nak, bahkan passport dan biaya hidupmu disana. Bapak berharap kamu menerimanya.” ucap dosenku dengan antusias. Tanpa aku sadari, seketika itu aku menundukkan kepalaku di lantai. Mengucakan beribu-ribu tahmid, dan apapun dalam sujud syukurku. Dalam hatiku berkata, “ya rabb, aku hanya makhluk lemah, yang masih lemah dalam keimanan. Namun, mengapa kau selalu memberikanku keajaiban yang luar biasa dahsyatnya. Bahkan, manusia pun tak mungkin dapat mempercayai takdirmu ini”. Ucapan terimakasih tak henti-hentinya aku ucapkan pada rektorku itu. betapa mulianya hati beliau. Entah apa yang ada di hati beliau. Ketulusan? Kebaikan? Atau justru malaikat?. Yang pastinya pengorbanan beliau tak kan pernah kulupakan. Aku harus mengatakannya segera mungkin kepada orang tuaku. Dan tak sabar menanti waktu yang membahagiakan itu. kabar yang aku bawa membuat beliau menangis bahagia. Jika di pikir secara logika, manusia miskin sepertiku, yang hidup dengn bea siswa, akan pergi ke Inggris dengan bea siswa pula. Inilah suatu keajaiban. Saat Allah berkata “ Jadilah!” maka terjadilah.
              Aku kembali meninggalkan tanah kelahiranku, bahkan kali ini meninggalkan tanah airku. Semoga keberuntungan ini tak membuatku congkak dan semakin jauh dari tuhanku. Setelah sampai Inggris, aku sebutkan dengan bangga tanah airku “ I come from Indonesia” ucapku dengan seulas senyum. Menunjukkan bahwa Indonesia pun mampu bersaing dengan mereka. Namun, yang terjadi sungguh di luar skenario. Aku yang awalnya bangga, semakin menciut. Mereka mengatakan bahwa Indonesia Negara koruptor, Negara yang sama sekali tak ada apa-apanya. Jujur, kali ini aku terpojokkan. Namun, cobaan itu hanya bertahan beberapa bulan. setelah lelah menghina tanah airku, kali ini mereka menghina agamaku, setelah mereka mengetahui aku seorang muslim. Astaghfirullah. Ternyata hidup di Negara kristiani tak semudah yang aku kira.
              Perlahan tapi pasti, aku mulai membaur dengan mereka. Aku mulai mengenal budaya mereka, namun aku tetap berpegang teguh pada agamaku. Dalam hatiku terpatri bahwa berteman dengan yang berbeda agama tak mengapa, asal hati ini selalu berada dalam ketakwaan. Mereka tak seburuk apa yang aku kira, sebagian dari mereka dapat mentoleransi keberagaman agama yang ada di dunia. Namun, tak jarang pula sebagian dari mereka berusaha menjerumuskanku ke dalam lembah kenistaan. Jika sudah begini, aku hanya bisa memohon perlindungan kepada Allah, dan meminta ketetapan iman dan islam. Aku masih mengingat, bagaimana mereka menghinaku. Aku dilarang melakukan apapun, karena mereka takut ada sesuatu yang akan aku rusakkan. Aku dianggap manusia paling lemah. Namun, saat aku buktikan kemampuanku. Mereka ternganga dan takjub. Seburuk itu kah pandangan mereka kepada Indonesia?. Sungguh sangat menyakitkan. Seandainya tak ada Allah di hatiku, aku tak yakin, aku dapat bertahan dengan cemoohan ini.
              Setiap tahunnya, aku mendapatkan nilai tertinggi di kelas pada mata kuliah satra. Mereka terheran-heran dengan nilaiku, bahkan diantara mereka bertanya padaku bagaimana mendapatkannya. Aku katakan pada mereka, bahwa sastra itu, hanya butuh hati yang peka. Hati yang tak keras. Dan hati yang lembut yang disertai dengan cinta yang hakiki. Aku beranikan pula, untuk mengatakan bahwa cara mereka mencintai, adalah cara yang salah, mereka mencintai dengan cinta yang di sertai hawa nafsu belaka. Sempat mereka tak sepakat denganku. Namun, mereka tak bisa memungkiri bahwa sosok yang tak mereka percayai adalah peraih nilai tertinggi dalam bidang ini. Tak jarang pula Aku ajak mereka mengikuti ajaran agamaku, dan mengenal agamaku. Agar mereka mengerti apa yang di maksud dengan sastra. Tak jarang pula salah satu dari mereka luluh dan memutuskan untuk masuk islam. Subhanallah.
               Beberapa tahun kemudian, aku kembali ke tanah airku. Terutama tanah kelahiranku. Dengan nilai tertinggi yang aku raih, Aku diminta bekerja di lembaga penerbitan Indonesia. Kadang aku berpikir, bagaimana mungkin aku mendapatkan semua ini, semua terasa mustahil jika dihubungkan dengan kehidupan nyata. Aku pun tak pernah tau, kapan aku mulai suka menulis. Kini aku rasakan bahwa tulisan-tulisan itulah yang sebenarnya akan menjadi kekuatan dakwah yang sempurna. Kadang kita juga disadarkan bahwa dunia itu sebenarnya lurus, saat kita menjalaninya dengan jalan yang lurus pula. Adapun kesengsaraan yang ada, adalah kesalahan dari diri manusia pribadi dan iniah yang Allah sebut sebagai ujian kehidupan.
                Akhir cerita, Setelah aku siap dzahir dan batin. Aku beranikan diri kembali ke tanah perantauanku. Dimana sang pujaan hati tinggal. Ia kini menjadi salah satu dosen di universitasku dan tanpa aku ketahui, ia telah menyelesaikan studinya di Al-Azhar university, Kairo, Mesir dengan jurusan Tafsir, Hadits. Ternyata Allah memang menciptakannya untuk menyempurnakan keimananku. Tak satu lamaran ikhwan pun yang ia terima. Ia telah mengetahui betapa aku mengaguminya. Entah itu bisikkan dari rabbku, ataukah takdir yang telah menyatukan. Bahkan ia bersedia menanti kesiapanku, karena ia yakin bahwa aku akan kembali padanya suatu saat. Ia kini adalah permaisuri halalku yang akan aku gandeng kemana pun, bahkan kami akan selalu bersama ke surga. Kami pun berharap hubungan ini akan benar-benar menggabungkan dua hati yang mencintai karena Allah dan berpisah karena Allah pula. Serta akan abadi selamanya ilaa yaumil Qiyaamah.