Selasa, 28 Januari 2014

Belajar Tak Butuh Hasil

Kemarin, seperti biasa saya dan teman-teman berkumpul saat musim KHS tiba. Dengan tempat yang tetap dan waktu yang tetap. Taman depan fakultas. Entahlah, tempat itu menjadi tempat langganan bagi  kami. Kesenangan tersendiri saat kami berbincang-bincang seputar kegiatan liburan dan saling mengeluarkan isi hati seputar KHS. Pembicaraan yang bernuansa humor tak pernah lepas dari kami. Ah, ini yang membuat saya selalu rindu suasana kelas di setiap liburan semester.
                Siang itu, kami membicarakan seputar PKPBI. Kami yang tak pernah merasakan PKPBI turut penasaran dengan KHS anak regular. Pembicaraan seputar KHS, wisuda dan tentunya sertifikat wisuda. Sekilas kami melihat, Regular sangat istimewa. Wisuda, yang ada pada semester 5 bagi regular sangat mengenaskan bagi kami yang berada di kelas ICP yang tidak dapat merasakan wisuda. Sertifikat TOEFEL pun kami tak mungkin mendapatkannya. Kami sejenak merenung. Membicarakan masalah lain sebagai hiburan bagi kami yang suka ngobrol ala OVJ.
                Dari pembicaraan siang itu, membuat saya semakin merenung. Menanyakan kepada hati saya sendiri. Apa tujuan saya di ICP?. Apa istimewanya ICP?. Apa yang saya dapatkan di ICP?. Saya hanya menyadari kelebihan anak regular. mereka mendapatkan ilmu lebih dari kami. Kami hanya membiasakan diri kami dengan bahasa Inggris. Dan tetap saja, ketika kami dilatih untuk mendengarkan seminar International, Seringkali kami masih saja tidak memahami maksudnya. PKLI di luar negri kah yang menjadi keistimewaan ICP? Jika untuk ukuran Malaysia, kenapa kami harus memakai bahasa Inggris. Toh, bahasa kami dan Malaysia hampir sama. Ijazah kami dengan kelas Regular pun mungkin sama, yang membedakan hanya tingkat skripsi kami yang menggunakan bahasa Inggris. lalu, saat tak ada bukti tertulis, maka tak ada yang membuat kami istimewa di ICP.
                Namun, kami merasa beruntung saat kami berada di kelas ICP. Tugas yang membludak, ditambah tanggungan tugas kami yang harus menggunakan bahasa Inggris, membuat kami bersyukur saat kami tidak mendapat jadwal PKPBI yang biasa dilakukan di sore hari. Selain itu, kapasitas kelas kami yang hanya menampung 20-25 orang, membuat kami lebih konsentrasi dengan mata kuliah yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris. Yah, meskipun hasil kami pun tak maksimal. Namun, kami lebih bersyukur saat kami memahami isi dari ilmu tersebut. Apalah gunanya belajar, saat kami hanya mencari hasil tanpa bisa memahami isinya.

                Sejenak mungkin saya merasa egois, karena merasa kehidupan ICP yang diasingkan. Namun, saat kami mencari pemahaman, kami meyakini itu akan lebih mudah untuk menjadi profesi tujuan kami yaitu sebagai pengajar. Bukankah saat kami memahaminya, ilmu akan mudah untuk menjadi bermanfaat?. Terimakasih tuhan, atas segalanya. Ilmu yang kami dapat, serta kefahaman yang kami dapatkan.

Rabu, 22 Januari 2014

Ketika Ibu Ingin menikah Lagi..

Aku tak pernah menyangka hidupku akan seperti ini. Bukan mengeluh. Tapi tak menyangka sekaligus tak tau apa yang mestinya aku lakukan.  Hanya bisa terdiam dan terus berpikir solusi terbaik. Merenung setiap malamnya. Menulis apapun yang bisa melampiaskan isi hati ini. Meski seringkali melenceng dari isi hati.
                Kematian ayah hanya berjarak beberapa bulan dari sekarang. Namun, terasa berat bagiku. Sejak kematian ayah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak meninggalkan ibuku. Karena aku tau, kini hanya ibu yang aku miliki. Untuk itu, Setiap kali aku mendapatkan jadwal libur dari kampus, aku tak segan-segan untuk pulang ke kampong halaman, untuk sekedar menemani Ibu. Aku paham betul bagaimana perasaan seseorang saat harus kehilangan kekasih. Serta bagaimana saat kondisi itu anaknya tak ada di sisinya.
                Aku hanya dua bersaudara. Waktu ayah tiada, seluruh biaya pendaftaran pendidikan adik sudah lunas. Tak mungkin adik harus men-cancel dirinya untuk masuk pesantren. Hanya aku satu-satunya yang dapat diandalkan untuk menemani ibu. Saat Ayah masih hidup, Ayah memasrahkan seluruh tanggungjawabnya padaku. Entah, saat itu beliau telah merasakan hidupnya tak lama lagi atau memang karena aku putri tertuanya. Aku hanya merasakan beratnya tanggungjawab itu saat beliau telah tiada. 
                Sejak kematian ayah, sikap Ibu berubah. Ibu selalu merasa dirinya kembali muda. Sikap Ibu kini lebih kekanak-kanakan. Entahlah, kini aku yang harus mengalah. Bahkan sampai urusan music pun, kami selalu berdebat. Ibu yang hidup di tahun 80-an, lebih memilih lagu-lagu jadul untuk menemani pagi keluarga baru kami. Kau tau? Lagu-lagu mellow yang mengharukan. Tak ada bahagianya. Aku tak suka itu dan aku yang selalu mengalah. Namun, tetap saja Ibu mengatakan bahwa diriku yang egois. selain masalah music, kami pun sering berdebat tentang film. Aku yang merasa kini tumbuh dewasa lebih memilih film-film yang berkaitan dengan perkembangan Indonesia dan tayangan-tayangan humor untuk sekedar melepaskan kepenatan masalah Indonesia. namun, Ibu? Kini lebih menyukai film percintaan. Tuhan, apa yang terjadi pada Ibuku?
                Kini, seringkali aku melihat ibu gelisah saat HPnya lowbat. Padahal sebelumnya, memegang HP pun Ibu tak bisa. Bahkan, beberapa malam kemarin aku memergoki Ibu mendapatkan telepon dari seseorang. Aku tak tau siapa itu, yang pasti sang penelepon adalah kaum adam. Entah, saat itulah aku merasa hatiku teriris. Bahkan aku pun tak pernah melakukan itu dihadapan Ibuku, namun inikah balasannya. Aku menahan air mataku. Menahan luka yang menyayat hatiku. Aku tak berani pacaran, namun Ibu berani melakukannya dihadapanku.
                Setelah sholat Ashar, aku memohon pada tuhan di atas sajadah yang selalu digunakan almarhum ayahku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku hanya berharap yang terbaik. Tapi entahlah, akhir-akhir ini, ibu sering membicarakan tentang masalah pernikahan, cowok. Namun buruknya, saat  aku mendengarkan pembicaraan itu, hatiku justru semakin terluka. Meski aku tau, Ibu pastilah merindukan kasih sayang dari seorang lawan jenis.  Perasaan itu wajar sebenarnya. Namun, mengapa hati ini sangat sesak?. Mungkin karena aku terlalu merasa betapa banyak jasa yang diberikan Ayah padaku. Sehingga ada perasaan tak rela saat Ibu melukai Ayah. Meski mungkin Ayah sudah mengikhlaskannya.
                Siang itu, saat adik pulang dari pesantren, aku bicarakan hal itu dengan adik. Adik tak menyetujui Ibu menikah lagi. Aku pun begitu. Namun di sisi lain, aku pun memperhatikan bagaimana kelanjutan pendidikan adikku saat aku lulus dari kuliah kelak. Uang pensiunan Ayah pun akan terhenti sampai situ. Di sisi lain, aku ingin bebas menghabiskan liburan semesterku yang panjang untuk sesuatu yang bermanfaat di daerah perantauanku. Namun tak bisa. Aku tak tega meninggalkan Ibu, meskipun Ibu pun mengizinkanku.
Aku masih teringat pesan ayah padaku, agar aku dapat membayar seluruh biaya kuliah adik. Ayah memberikan amanah yang tak ternilai. Pendidikan memang segalanya di mata Ayah. Tuhan, haruskah aku merelakan Ibuku menikah lagi?. Jika tidak, lalu bagaimana masa depan adikku?. Tuhan, aku tau takdir-Mu akan selalu indah bagi ummat-Mu meski seringkali tak sesuai yang diinginkan. Tuhan, aku memohon pada-Mu, berikan jalan Rizki bagi hamba-Mu yang lemah ini.

                Belakangan ini, aku semakin terdesak oleh pembicaraan Ibu tentang anak tetangga yang setaiap liburan semester selalu mencari pengalaman bekerja. Namun, Saat aku mengatakan akan tinggal di Malang selama seminggu saat liburan semester, ekspresi Ibu seakan menggambarkan kekecewaan. Aku masih saja tak memahami perasaan Ibu. Dan Ibu pun masih saja tak memahami aku yang inginselalu menemaninya. Aku tak paham semua ini. Sungguh!!

Selasa, 21 Januari 2014

Keajaiban di balik Duka Maulid Nabi

Malam yang dingin ditemani sebuah laptop dihadapan saya dan headset yang selalu menempel di telinga saya dengan tartil ala syaikh al-Ghomizi yang kini menjadi lagu favorit saya sebagai senandungnya. Aktivitas ini kini rutin saya lakukan sejak saya memasuki kampus. Entahlah, virus insomnia kini sering menyerang saat saya sudah berada di jenjang perkuliahan. Banyaknya tugas mendukung saya untuk selalu terjaga setiap malam. Dan kini virus itu justru terjadi pula saat saya tak punya tugas.
Entahlah, malam ini saya lebih memilih untuk membuat kopi-susu hangat untuk menemani malam saya. Padahal sebelumnya saya sama sekali anti dengan minuman-minuman yang mengandung unsur kopi bahkan sedikitpun. Suasana keheningan malam ini, justru mendukung saya untuk mengingat pembicaraan tadi pagi dengan seorang teman dari pesantren. Pembicaraan itu selalu mengingatkan saya akan sebuah moment di pesantren. Sebuah momen kecil namun berkesan. Dan inilah kisah saya.
*****
Kegaduhan kelas diniyah selalu mewarnai sore kami sebagai santri, termasuk mendendangkan senandung nadhom yang menjadi khas santri pada umumnya. Ustadzah-Ustadzah kami didominasi oleh para kakak kelas kami yang memang ahli dibidangnya masing-masing. Jarak umur yang tak terlalu jauh dengan kami, membuat kami tak segan-segan menyuarakan aspirasi kami. Semuanya berjalan normal tanpa hambatan apapun. Saya masih ingat, saat itu saya berada pada posisi lebih senior dari santri madrasah diniyah lainnya yaitu sebagai tamatan.
Seperti biasa, malam minggu adalah hari yang selalu kami nantikan. Setelah letih dengan kesibukan kami, pastilah menantikan hari minggu sebagai waktu istirahat kami. Yah, meskipun malamnya kami tetap ada kegiatan dan minggu paginya masih ada kegiatan senam dan les bahasa yang disebut Muhadatsah serta kerja bakti dan Istighosah, kami tetap menyambut hari minggu dengan gembira.
Namun, malam minggu itu di luar kebiasaan kami. Siang itu ketika shalat Dzuhur kami diminta membawa segelas air ke masjid untuk membaca wirid-wirid yang bertujuan untuk membentengi pesantren kami dari kekuatan jahat baik dari bangsa manusia maupun di luar bangsa manusia. Wirid itu langsung dipimpin oleh pengasuh kami. Kyai panutan kami, kyai yang tak mudah ditemukan dimanapun. Suara beliau yang merdu mulai membawa kami pada kekhusyukan doa yang kami baca.
Setelah kami membaca wirid, seperti biasanya beliau memberikan pencerahan-pencerahan kepada kami untuk senantiasa mendekat pada tuhan dengan beberapa selingan humor ala santri. Masih terekam diingatan saya, saat itu beliau membicarakan masalah kematian yang pada saat itu memang berdekatan dengan moment maulid nabi yang merupakan hari kelahiran sekaligus wafatnya beliau Nabi Muhammad SAW. Dengan tawa khas beliau, beliau menutup mauidzah hasanah siang itu. Air yang kami bawa tadi dikumpulkan di moci-moci besar.
*****
Minggu itu, seperti biasa masih ada Muhadatsah sebelum senam pagi ala santri. Semua santri sudah berkumpul di lapangan kecil milik pesantren kami untuk menonton film singkat berbahasa arab. Saya yang pada saat itu sebagai pengurus bagian bahasa, sibuk mengambil sound untuk santri-santri yang tak sabar melihat film tersebut. Sebelum mengetuk pintu kamar ustadzah, saya sempat melihat kyai keluar dari kediaman beliau. Wajah yang segar itu meraih sepeda motornya dan melaju ke pesantren dua yang merupakan pesantren baru, tempat istighosah kami setiap minggunya. Begitulah kyai kami, sebelum istighosah dimulai, beliau akan terlebih dahulu mengecek tempatnya. Sudah layakkah untuk tempat beribadah guna memberikan rasa nyaman kepada para jama’ah istighosah yang tidak hanya terdiri dari santrinya, namun darimana pun.
Setelah rangkaian kegiatan pagi kami usai, kami bersiap-siap menuju pesantren dua untuk melaksanakan istighosah. Saya yang tinggal di kamar dekat perkampungan yang hanya dibatasi dinding dan gerbang mendengar suara orang-orang mengucapkan lafadz tahlil ala penggotongan mayit. Saya hanya menyangka, mungkin ada seseorang yang meninggal di kampung itu. Saya menuruni tangga dengan beberapa teman sebaya saya untuk menuju pesantren dua.
Di tengah jalan, kami bertemu seorang alumni yang bekerja sebagai penjaga wartel pesantren kami. Dengan wajah gugup, dan entahlah saya tak bisa mendefinisikan ekspresi itu. Ia menghampiri kami dan berkata “Kembalilah! Kyai sudah tak ada”. Kami yang tidak percaya, bukannya kembali malah tetap menuju TKP. Dan benar Kyai telah tiada. Kami menangis sejadi-jadinya. Hari itu pesantren kami menangis.
*****
Acara maulid nabi tetap kami laksanakan di tengah masa berkabung itu. Tentunya setelah acara tujuh harinya kyai. Tanpa diduga para ustadzah menunjuk tamatan kami sebagai delegasi diba’iyyah. Benar-benar tanpa persiapan yang matang. Hanya bermodal keahlian masing-masing kami mempersiapkannya. Kami cukup mensyukuri karena hadrah tamatan kami adalah hadrah terbaik setiap periodenya, meskipun sempat fakum satu tahun. Karena yah memang begitu hukumnya di pesantren kami. Saat santri sudah menginjak kelas 3 SMA, santri akan difakumkan dari kegiatan apapun termasuk organisasi. Kyai kami yang memberikan peraturan itu. Tujuannya simple, agar kami bisa focus untuk UAN.
Bisa menjadi delegasi Maulid Nabi pada masa tamatan adalah suatu penghormatan luar biasa bagi kami. Karena bagaimana pun kami tak akan menemukan kelangkaan ini di periode-periode sebelumnya. Kami tentunya mempersiapkan suatu strategi untuk menguasai lokasi Maulid Nabi yaitu masjid kebanggaan kami dengan mendadak. Dengan membagi beberapa teman kami lainnya untuk menjaga di belakang setiap posisi kelas yang sudah ditentukan di dalam masjid.
Setelah sholat isya’ acara di mulai. Seluruh santri pun berkumpul di Masjid sesuai denah kelas yang ditentukan. Berharap semua berhasil tentunya. Para pembaca rowi memasuki masjid setelah MC mempersilahkan. Grup Hadrah kami pun mengikuti di belakang pembaca rowi. Kami memulainya. Dan sempurna. Seluruh santri diam, khusyuk. Selama enam tahun saya berulang kali mengikuti acara diba’iyah, namun kali ini benar-benar amazing. Mungkin karena terbawa suasana berkabung, atau mengantuk, saya pun tak mengerti. Kami benar-benar menghayati suasana maulid nabi malam itu. Yang lebih mengesankan kami adalah saat diba’iyah berlangsung, tercium bau sangat wangi. Entah dari mana sumbernya. Kami mempercayai bahwa Nabi datang dalam majelis kami malam itu. Bukankah Nabi akan mendatangi suatu majelis saat jama’ahnya benar-benar menghayati maknanya. Dan kebenaran itu kini terjadi.
*****

            Lamunan saya buyar seketika saat Ibu terbangun dari tidurnya dan melihat saya masih terjaga. Indah saat saya kembali mengenang moment itu. Bahkan untuk mengenangnya saja, saya merasakan kebahagiaan teramat sangat. Ingin rasanya mengulang kembali sesuatu yang kini tak pernah saya dapatkan di luar. Di kehidupan bebas. Juga dalam suasana Maulid Nabi tahun ini.

Senin, 20 Januari 2014

Belajar dari Tetangga

Satu realitas lagi yang mampu membuat saya yakin bahwa Allah selalu adil. Kemarin, saat saya facebook-an, iseng-iseng saya komen di status tetangga RT sekaligus saudara yang lagi galau sama gebetannya. Sebelumnya biar gak bingung saya kasi kode si A itu saudara saya. Nah yang ingin saya ceritakan disini bukan si A tapi si B. si B ini tetangganya si A yang saya sendiri baru tau kalo dia tetangga saya, nama facebooknya pun saya baru tau kemarin saat dia ikut nimbrung dalam obrolan saya dan si A di status si A. Entah ada setan apa tiba-tiba si B nge-add saya. Kontan saya mengkonfrimnya. Seketika itu juga dia nge-chat saya. Saat itulah saya mengerti kalau dia tetangga si A. Si B mengatakan pada saya bahwa ia pernah bertemu saya di Kampus. Sudah pasti dia anak kuliahan, saya pikir.
            Maklum saja, daerah kami memang area industrialisasi yang lebih memilih kerja daripada pendidikan. Ya meskipun gajinya di bawah rata-rata pendapatan pegawai negri, mereka lebih memilih menjadi pegawai pabrik-an tanpa berusaha memapankan diri untuk mendapatkan pendapatan lebih. Saya sebagai mahasiswa yang kini mengetahui pentingnya pendidikan merasa simpati dengan keadaan ini. Jadi tak heran jika saya cukup kagum jika di daerah saya ada yang memilih kuliah sebagai  pilihan setelah jenjang sekolah SMA.
            Saya kembali mengingat lokasi daerah RT terakhir tersebut yang merupakan perbatasan antara desa saya dengan desa baru yang didominasi oleh korban Lapindo. Di RT itu jarang sekali rumah, otomatis saya pun mudah mengingat siapa yang berada disana. Dan anehnya, yang saya tangkap dalam pikiran saya adalah sepasang suami-istri yang hanya berpenghasilan dari berjualan mainan anak-anak. Yah, itu adalah bapak dan ibunya. Untuk meyakinkan itu, saya bertanya pada ibu saya dan memang benar. Adek si B sekarang masih nyantren di Gontor yang biayanya pun pasti di atas rata-rata pesantren lainnya. Mengingat Gontor adalah pesantren yang modern dan terkenal bagus. Si B pun kini sudah lulus kuliah.
            Saya sangat kagum dengan realitas ini. Coba renungkan. Dengan penghasilan yang minim, beliau berdua mampu menyekolahkan putra-putrinya ke sekolahan yang layak. Saya yakin, hanya orang tua yang hebat, yang bisa melakukan hal itu. Mungkin biasa bagi kalian, namun luar biasa bagi saya mengingat sedikit sekali orang yang mementingkan pendidikan di  tengah jaman Kapitalis ini. Semua berpikir hartalah yang terpenting. Apalagi untuk kalangan seperti mereka yang berpenghasilan minim. Namun, orangtua ini luar biasa.  

Saya jadi teringat perkataan ustad saya saat saya masih di pesantren “saat seorang anak sudah mengetahui mana yang salah dan mana yang benar (Baligh) saat itulah tanggung jawab orang tua sudah mencapai garis finish. Namun saat orang tua rela memberikan tetesan keringatnya untuk sang anak, itu bukan kewajiban, tapi shodaqoh.” Dari perkataan ini kemudian saya kombinasikan dengan keterangan-keterangan ustad saya yang lain bahwa “barang siapa yang bershodaqoh, maka akan dibalas sepuluh kali lipat oleh Allah.” Dan saya kini yakin bahwa Allah tak pernah luput dari janjinya dan Allah selalu adil pada hambanya yang berusaha. Allah selalu melihat proses, bukan hasil. Hasil yang banyak, tak selalu menjamin keberkahan suatu harta. Proses yang baik selalu memberikan keberkahan bagi hamba-Nya.

Minggu, 19 Januari 2014

tips mengatasi galau in my opinion :)

Broken heart, saya yakin banyak orang yang merasakan hal itu Terutama remaja. Baik kepada kekasih, teman, keluarga dsb. Musim galau kini semakin bersemi seiring munculnya tren pacaran. Karena itu Broken heart yang kini tren dengan kata galau tersebut selalu dianggap sebagai resiko hidup. Meskipun Galau biasanya disebabkan karena rasa cinta yang berlebihan. Banyak keinginan yang berlebihan yang ia tuntut dengan usaha yang standart.
Saya jadi teringat setelah membuka facebook, banyak sekali kawan-kawan lama saya yang selalu update galau. Saya pun heran. Apakah memang Indonesia dirundung kegalauan. Mendadak saya ingin menjadi psikolog  sebagai pengobat bagi kawan-kawan saya. Entahlah. Saya sempat berpikir apakah tidak ada kata lain yang bisa di update selain cinta, sayang dan tetek bengek masalah percintaan lainnya. Apakah dihati mereka tak ada kebahagiaan sama sekali?. Sekiranya mereka bisa menikmati indahnya ciptaan tuhan yang dinamakan kebahagiaan.
Come on, guys. Kiamat masih panjang. Cari pasangan lagi kan beres. Buatlah hidupmu berwarna. Jangan beri hatimu dengan warna hitam melulu. Allah memberi kita hati bukan hanya untuk mencintai makhluknya. tapi Allah menciptakan hati agar makhluknya dapat merasakan lautan cinta penciptanya. Jangan terpuruk dengan masalah duniawi belaka. Karena masih ada akhirat sebagai balasannya.
Nih, saya kasih tips dari ustad Felix Siauw buat move on. Jangan cari kabar si dia dengan sms, telepon, apalagi ketemuan. Jangan update status galau karena justru itu malah menjatuhkan harga diri dan martabat kamu. Kalo kamu memang dari kalangan suka nyetatus kaya aku, mending nyetatus kata-kata yang bisa membuka hati orang lain akan sebuah gejala social. Sekiranya yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Nah, dengan gak sms, telepon, ketemuan, update galau tanpa kamu sadari kamu telah menetralkan hatimu pada si dia.
Untuk menetralkan hati itu gak harus nge-delete nomernya dia atau hapus pertemanan. Anggap dia teman biasa. Karena dengan nge-delete atau ngehapus pertemanan dengan dia berarti kamu memutuskan tali silaturrahmi antar sesama dan itu dilarang. Selain itu hati kecil si dia pasti bahagia karena ternyata dia berhasil membuatmu galau. Nyakitin hati bangetkan kalo udah kaya gitu?
Lalu tunggu beberapa saat, ketika dia merasa kehilangan dia akan kembali padamu. Lalu apa yang kamu lakukan?. Ya jangan diterima guys. Tentu saja harga diri tetap harus di jaga dong. Kamu mau dikatain habis meludah dijilat lagi?. Jangan terperosok di lubang yang sama deh. Udah tau kedok buruknya dia ya mending cari yang lebih baik dari dia. Lagian kamu pasti tau pacaran dilarang agama.
Yang perlu diingat guys, khususnya para cewek. cowok yang bener, pasti gak bakalan mau menyakiti hati orang yang dicintainya. Cowok yang bener juga gak bakalan ngajakin kamu ke arah kemaksiatan dengan berpacaran. Cowok yang  bener pasti langsung ngajakin nikah, karena dia tau itu jalan yang terbaik. Jalan yang di ridhoi oleh Allah dan bakalan membawa kamu untuk senantiasa beribadah pada Allah. Cowok yang tanggungjawab pasti ngajaknya nikah. Kalo dia ngajakin nikah, berarti dia konsisten dengan ucapannya dalam mencintaimu. Ingat girls, cewek itu dilihat dari masa lalunya loh. Kalo masa lalunya udah banyak dijamah sama cowok ya cowok yang baik gak bakalan mau sama kamu. Kecuali yang bener-bener baik banget.
Yang perlu di garis bawahi buat cowok, cinta tak harus memiliki itu saat kamu udah berusaha ngajakin si cewek nikah tapi ternyata keduluan. Bukan ngajakin pacaran lho ya. Terus buat cowok, ingat!! umumnya cowok itu diliat dari masa depannya. So, kalo pengen dapetin cewek idaman kamu, mending kamu usahain segalanya secara maksimal. Kalo dirasa udah bener-bener siap, langsung aja ke bapaknya buat izin ngajakin nikah. Biasanya si cewek sok jual mahal dengan ngasi syarat. Kasi’ aja apa yang disyaratkan selama itu berurusan dengan hubungannya dengan tuhan bukan dengan masalah duniawi lho. Kalo ternyata dia minta masalah duniawi, berarti itu bukan cewek bener. Cari yang bener aja dah.
Jadi kesimpulannya. Cinta itu gak ribet kok. Cuma bagaimana kita mengolahnya. Kamus Galau itu hanya untuk mereka-mereka yang gak percaya kalo tuhan selalu ada untuknya. Hanya untuk mereka-mereka yang gak sadar kalo dia disadarkan bahwa pacaran itu sebenarnya dilarang. Bisa-bisa kita gak dapet apa-apa di masa depan Cuma gara-gara galau. Untuk menulis ini pun saya harus banyak bercermin pada fenomena remaja saat ini. Mungkin kalian bilang saya Cuma bisanya ngomong. Tapi ini ciyus lho. Saya pun merasakan kebenaran itu saat sudah menjelajah :D. oke any question? :D. saya siap menampung aspirasi kalian juga. kritik saran sangat penting untuk saya :D. Selamat mencoba

Sabtu, 18 Januari 2014

Budaya Agama Vs Keberagaman Agama dan Teknologi

Hari-Hari besar, bukan hanya sebagai warna dalam kalender masehi, atau bukan hanya hari bahagia karena mungkin rata-rata sekolah diliburkan. Namun, dibalik hari besar tersebut, pastilah tersimpan sebuah sejarah yang berharga bagi setiap umat penganutnya sehingga dengan meliburkan setiap sekolah pada hari besar tersebut diharapkan masyarakat lebih bisa menghayati hakikat sejarah yang ada di balik hari besar tersebut. selain itu hari besar juga menjadi identitas dan budaya agama tertentu.
            Kita mencoba menyorot terhadap Indonesia yang lebih mudah dikaji. Indonesia didominasi oleh umat muslim meskipun bukan negara yang menganut hukum Islam. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan adanya penganut agama-agama lain yang turut memberikan kontribusi bagi Indonesia. hal ini tidak menutup kemungkinan banyaknya budaya-budaya barat yang turut masuk di Indonesia mengingat Indonesia pun pernah dijajah oleh bangsa barat. Hal tersebut mungkin bagus untuk kemajuan Indonesia dalam bidang teknologi ataupun sains. Namun buruknya, moral barat yang cenderung bebas itulah yang mengikis perlahan budaya Indonesia.
            Jika kita bercermin pada Indonesia jaman tradisional yang lebih memegang budaya, mereka menghormati perbedaan agama selama tidak mengubah budaya. Namun, adanya modernisasi yang menjadi awal perubahan budaya asli masyarakat Indonesia, menjadi tonggak keberhasilan hancurnya moral masyarakat Indonesia yang masih awam dengan budaya barat. Bodohnya, Indonesia secara buta menerima teknologi-teknologi dari masa modernisasi tanpa disaring terlebih dahulu. Ibarat makan daging yang kita tak tau beracun atau tidak. Banyaknya akses yang dijanjikan teknologi dari masa modernisasi justru membuat masyarakat Indonesia terlena dengan perkembangannya. Moral mulai terkikis seiring semakin banyaknya para sesepuh yang mulai hilang diterjang umur.
            Agama Islam yang menjadi agama dominasi di Indonesia pun mulai berubah sebagai pengaruh dari teknologi yang tidak tersaring dengan baik. Sebagai contoh pada awal tahun 2014 kemarin, tetangga-tetangga saya rela tidak tidur hingga keesokan harinya, rela membuang-buang hasil keringatnya dengan membeli kembang api, masak-masak dan sebagainya. Lalu fenomena ini saya bandingkan dengan suasana dalam menyambut tahun baru Muharram 1435 H kemarin, yang saya rasakan sebagai umat Islam sama sekali tidak dapat menghayati datangnya hari penting tersebut. tak ada yang istimewa. Masyarakat Islam sekitar pun tak mendukung. Hal ini menunjukkan hilangnya identitas pribadi suatu umat beragama. Bukan menghormati perbedaan agama, namun cenderung lebih menyerupai agama yang lain.
            Belakangan saya temukan jawabannya saat melihat sebuah tayangan ceramah pagi hari di Televisi. Seorang penceramah mengatakan bahwa kebobrokan moral para penganut agama tertentu disebabkan oleh ketidakpahamannya akan kaidah-kaidah agama yang berlaku dalam agamanya sendiri. Jawaban ini cukup memuaskan hati saya. Saat itulah saya baru tersadar bahwa semua kebobrokan moral di Indonesia tak lain disebabkan oleh generasi seperti kita yang lebih memahami agama, lebih memilih diam dan cenderung tak ingin mengambil resiko. Ternyata saat kita memikirkan hal disekitar kita secara detail, kita akan menemukan diri kita tak pernah sempurna. Tak semuanya salah orang lain. Dan seringkali kita yang justru menjadi tersangka. Jadi selayaknya kita sebagai generasi umat yang beragama meluruskan kembali bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan untuk menghormatinya bukan menyerupainya.

            Nabi Muhammad pernah bersabda “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia sebagian dari mereka”. Karena itu, kita sebagai generasi yang senantiasa menimba ilmu hendaknya dapat memisahkan antara budaya agama satu dengan yang lain, menjadi contoh bagi masyarakat lain dalam bertingkah-laku sehingga tujuan Allah untuk menciptakan manusia terwujud yakni sebagai Khalifah di dunia.

Impian yang Pupus

Sering kali aku berkhayal menjadi sesuatu yang setidaknya bisa kudapatkan di masa depan..
Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk  orang lain..
Namun aku rasa, diriku telah keliru membayangkan semua itu..
Takdir telah merubah segalanya..
Aku pun kini merasa bahwa aku bukanlah sosok yang hebat..
Tak  seperti masa lalu, dimana aku bisa menaklukkan segalanya..
Aku kini merasa kalah..
Tak  ada yang bisa aku lakukan..
Aku pun tak sehebat para pahlawan-pahlawan dunia yang dapat menjadi sorotan mata dunia..
Angan-anganku terlalu tinggi..
Aku ingin merubah dunia..
Tapi tak setara dengan usahaku..
Sekarang..
Aku sadari..
Betapa  tak  bergunanya aku..
Tak ada yang dapat di banggakan dariku..
Semua karena rasa malu, rasa cuek yang ada dalam diriku..
Ada banyak  rasa ketidakpercayadirian dalam hati ini..
Andai aku lelaki..
Akan ku tepis semuanya..
Namun, aku hanyalah  kaum hawa yang diliputi dengan norma..
Yang terbatasi oleh hokum illahi..
Ya Allah..
Ajari aku bagaimana cara menaklukkan dunia..
Semudah engkau membolak-balikkan aku..
Tajamkan otak ku dengan kreatifitas..
Tajamkan lidahku dengan ucapan kebajikan..
Tajamkan hatiku dengan keberanian..
Sehingga aku benar-benar bisa menjadi khalifah di dunia..

Aamiin..

Surat untuk sahabat..

Teruntuk kawanku..
Kehilangan seseorang yang menjadi penopang dalam keluarga, memanglah sangat sakit..
Sedih, dan entahlah perasaan kehilangan yang begitu besar..
Tapi ketahuilah, tuhan selalu memberikan takdir yang terbaik bagi makhluk-Nya..
Meski seringkali takdir itu tak kita inginkan..

Perjumpaan dengan sang khalik bukanlah takdir yang terburuk kawan..
Namun, inilah takdir yang terbaik bagi beliau dan kamu sekeluarga..
Beliau sudah merasakan kebahagiaan yang sangat saat beliau harus kehilangan penderitaannya..
Beliau pun bahagia saat keluarganya bebas dari beban atas penderitaannya..

Kehilangan seseorang, bukan berarti akhir dari segalanya..
Bukan akhir dari senyummu, bukan akhir dari semangatmu, bukan akhir dari tawamu..
Bukan berarti saat jasad terpisah dengan ruh, berarti berakhirlah kasih sayangnya..
Beliau masih bisa melihat senyummu, semangatmu, serta kesedihanmu..
Beliau akan sangat tersiksa saat kau selalu berlarut-larut dalam kesedihan..

 Namun, Beliau akan merasa senang saat kau berusaha menyembunyikan kesedihanmu dalam seulas senyum..
Beliau akan bangga melihat semangatmu..
Jangan kau berpikir untuk rapuh..
Jangan pernah berpikir kau lemah tanpanya..
Wujudkan apa yang beliau harapkan darimu..
Wujudkan apa yang menjadi amanahnya..
Karena pada hakikatnya, beliau masih ada didekatmu..
Hanya saja pada dimensi kehidupan yang berbeda..
Kami selalu bersamamu kawan..

Jika kita putar waktu setengah tahun yang lalu..
Saat aku berada pada posisimu saat ini..
Saat aku tak setegar apa yang kini kau lihat..
Aku memang merasa rapuh pada saat itu..
Harapanku hilang..

Namun, pada saat itu pula..
Aku merenung, menghayati setiap arti kehidupan..
Melihat kontibusi yang telah beliau berikan padaku..
Gambaran semangat beliau ada pada bayanganku..
Harapan beliau padaku pun muncul dalam bayanganku..
Semangat yang beliau wariskan padaku tak kan pernah berakhir dengan hilangnya pewaris..

Semangatlah kawan..
Karena kau tak sendiri..

Semangatmu berharga untukmu..

Ayah..

Ayah..
Seringkali aku memikirkanmu..
Sedang apa engkau sekarang..
Bagaimana kabarmu..
Dimana engkau sekarang..
Surga atau Neraka??
Aku berharap kau selalu di surga-Nya..
Aku ingin tau Ayah..
Aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu disana..
Ayah..
Aku sungguh merindukanmu..
Aku merindukan nafasmu..
Aku merindukan senyummu, tawamu, bahkan marahmu..
Aku merindukan semua tentangmu..
Ayah..
Jika kembali kuingat pengorbananmu untukku..
Aku sangat merasa betapa banyak umurku yang kuhabiskan untuk menyusahkanmu..
Betapa banyak umurmu yang tak bisa aku kembalikan untuk sekedar membahagiakan dirimu sendiri..
Teringat dipikiranku..
Saat aku berbagi kelu-kesahku di masa perkuliahan..
Kau selalu memberiku arahan..
agar aku tak terjerumus dalam dunia yang tak pernah kuketahui..
Ayah..
Andai kau bisa sedikit lebih lama disisiku..
Aku berharap suatu saat bisa membalas semua kebaikanmu..
Namun yang ada aku merepotkanmu hingga akhir hayatmu..
Ayah..
Betapa aku adalah anak yang durhaka..
Bahkan saat kau menghembuskan nafas terakhirmu saja aku tak disisimu..
Ayah..
Bisakah aku memutar waktu kembali..
Berharap kau disisiku, menolongku di masa depan..
Berharap kau bisa menjadi wali dalam pernikahanku nanti..
Ayah..
Aku sangat membutuhkanmu..
Kini, dalam diam, aku seringkali mengingatmu..
Mengingat jasamu..
Aku berjanji ayah..
Akan aku teruskan jejakmu..
Aku akan menjadi anak yang baik..
Hingga kau bisa mendapat tempat yang terbaik disana..
Doakan aku dari jauh yah..
Dari sana, agar cita-citaku segera terwujud..
Dan bisa membahagiakan orang disekitarku..

Seperti engkau dahulu yah..