Minggu, 12 Mei 2013

keajaiban kehidupan

Hidup bagaikan penjelajahan tanpa ujung. Penjelajahan ini takkan pernah berakhir sampai aku mendapat ridho-Nya. Karena-Nya aku memulai penjelajahan ini, dan karena-Nya pula aku akan menghentikan penjelajahan ini.
           Takbir berkumandang, tak terasa air mata ini menetes dengan derasnya. Seakan merasakan kerinduan yang sangat dengan alunan penuh ketenangan itu. Alunan yang kembali mengingatkanku akan kebesaran-Nya, mengingatkanku bahwa Dia-lah yang patut di sembah. Dia-lah yang membuat kehidupanku berwarna. Dan apapun yang terjadi dalam hidupku adalah sebuah keajaiban yang telah Dia perlihatkan padaku.
          Aku adalah satu-satunya mahasiswa Indonesia yang mendapatkan bea siswa di Harvard university. Selama empat tahun lebih aku hidup di negri kristiani yang budayanya begitu mengerikan. Sangat berlawanan dengan budaya negriku. Jika aku mau, aku bisa mendapatkan seribu lebih macam kemaksiatan, mulai mencumbu perempuan, melirik aurat-aurat perempuan, meminum wiski dan segala bentuk kemaksiatan yang menjadi budaya dimana tempatku singgah. Adzan yang seharusnya bisa kudengar di setiap waktu sholat, tak dapat aku dengarkan. Serasa hidup ini jauh dari rahmat-Nya. 
         Jika kau berpikir aku sangatlah cerdas karena mahasiswa yang dapat kuliah ke Harvard university hanyalah aku, bagiku itu sebuah fitnah. Karena apa yang aku dapat, hanyalah sebuah keberuntungan yang sengaja allah berikan untuk membuatku merasakan betapa beruntungnya diriku. Karena aku masih dapat memeluk agamaku dan meneguhkannya ditengah kemaksiatan yang terus mengelilingi kehidupanku. Bahkan aku dapat merasakan betapa maha besarnya Allah yang menguatkan keimanan Rasulullah di tengah cemoohan kaum kafir. Betapa kasih sayang beliau kepada Allah begitu besar sehingga tak dapat menggoyahkan keteguhan beliau untuk terus membela agama Allah. Sungguh sangat menakjubkan saat hati di liputi dengan kekuatan cinta yang hakiki kepada Penciptanya. Awalnya aku hanyalah mahasiswa yang dihidupi dengan bea siswa. Aku salah satu mahasiswa bidik misi dari salah satu Universitas Islam Negri di Jawa, jurusan sastra Inggris di fakultas humaniora dan budaya. Bukankah itu sebuah kesederhanaan?. Awal yang sederhana untuk mencapai akhir yang khusnul khotimah, hanya itu yang aku harapkan.
            Bukan bermaksud merendahkan universitas ini, aku hanya ingin mengatakan pada dunia bahwa apapun nama Universitas itu, sehebat apapun namanya, hanya niat dan hasillah yang dapat menggugurkan pola pikir rendahan ala masyarakat kota yang katanya modern itu. Ternyata tidak hanya masyarakat kota yang merendahkan Universitas yang telah ku pilih itu, bahkan guru-guruku pun menyayangkan aku yang memilih Universitas itu. karena di setiap tahunnya aku selalu berprestasi. Sekali lagi, itu hanya suatu keberuntungan yang Allah berikan agar aku tak pernah melupakan-Nya. Mereka berpikir bahwa apapun yang berlatar belakang islam adalah sesuatu yang tidak bermutu. Namun nyatanya, penemu-penemu ilmu modern yang mereka pelajari tak lain adalah sebuah pemikiran muslim. Ingat! Aku masih membicarakan wilayah Indonesia, yang mayoritasnya adalah muslim. Sungguh hal ini suatu kemunafikan yang nyata.
           Aku menikmati kehidupan yang kata orang tak bermutu itu. tak terlalu buruk menurutku. Disini kami di ajari membaca kitab kuning, dikenalkan arti islam secara mendalam, dan yang terpenting, aku di kenalkan bagaimana aku membuktikan kebenaran ilmu modern dengan ayat al-qur’an yang telah di tuliskan. Hal yang menurutku sulit untuk di temukan. Tak hanya itu, kami di kenalkan dengan dua bahasa yang paling popular di dunia, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dan sesuatu yang sangat menarik perhatianku saat itu adalah Universitas ini memfasilitasi dan menampung mahasiswa yang tertarik untuk menghafalkan al-qur’an. Lalu, Adakah Universitas yang lebih baik dari itu? Adakah Universitas yang dapat mengantarkan mahasiswanya secara totalitas mengarah pada Islam? Aku rasa hal itu mustahil dapat di temukan di universitas-universitas yang namanya begitu indah dan begitu modern.
              Dosen-dosen yang ada disini adalah dosen yang tulus, ikhlas mendidik mahasiswanya. Beliau-beliaulah yang senantiasa memotivasiku untuk selalu berjihad di tengah kehidupan hedonisme ini. Diantara dosen-dosen tersebut, ada dua dosen yang aku kagumi, pertama dosenku dalam pengajian kitab kuning, beliau lulusan sastra arab Riyadh, Arab Saudi. Dengan kelihaian beliau dalam berkata-kata ala penyair itulah yang mampu menarik simpati mahasiswa-mahasiswanya. Kami begitu terkesima saat beliau mengeluarkan kata-kata puitis yang dapat membius alam sadar kami. Beliau menyadarkan, bahwa hanya karena Allah-lah semua berjalan, manusia tak memiliki daya apapun, bahkan untuk menjalankan dirinya sendiri. Sungguh, suatu nasihat yang luar biasa yang dapat menggetarkan jiwa kami. Betapa nistanya diri kami saat kami menganggap diri kami lah yang hebat. Karena ada Dzat yang kehebatannya tak ada yang bisa menandingi.
            Dosen yang kedua adalah dosen perkuliahan khusus pengembangan bahasa arab, beliau adalah seorang akhwat, keteguhannya dalam mencari ilmu, membuatnya lupa untuk berkeluarga. Beliau adalah akhwat realistis, tak ada alasan yang bisa beliau ambil, saat beliau belum pernah merasakan pengalaman itu, namun menurut kami beliau sudah sangat mendalami ilmu agama. Bahkan, beliau lah yang membantu kami untuk meyakinkan kami agar tak pernah takut saat bersanding dengan manusia atheis. Beliau yang memberikan kami alasan yang mudah kita cerna dengan baik sehingga kami tidak merasa kebingungan saat mereka mulai melihaikan lidah mereka untuk menjerumuskan kami ke dalam aliran mereka. Beliau dengan senang hati membantu kami dalam segala tugas mata kuliah selama beliau mampu. Sungguh betapa beruntungnya ikhwan yang mendapatkan istri secerdas itu. allahumma ja’alna minhum.
           Tahun pertama di Universitas ini aku jalani dengan keriangan dan ijtihad, bahkan aku mulai menyatu dengan lembaga tahfidzul qur’an. Yah, saat itulah aku arungi hidupku sebagai sosok yang mengabdikan diri dengan firman-firman Allah. Di saat semua sibuk dengan tugas kuliah masing-masing, aku justru menyibukkan diriku dengan Al-Qur’an. Aku pun tak tau keajaiban apa yang mampu menguatkanku untuk berani mengambil keputusan sebagai pecinta Al-Qur’an. Aku merasakan kebenaran rumor masyarakat yang mengatakan bahwa dibalik keputusan ini, ada cobaan yang berat yang akan aku terima. Aku hanya menganggapnya sebagai resiko. Pada pertengahan tahun pertama aku singgah disini. Ayahku menderita penyakit yang tak tampak, sejenis syihir. Aku tak tau siapa yang setega itu menganiaya keluargaku. Sejak saat itu, hari-hari ceriaku semakin pudar. Namun, tekadku untuk berjihad di agama Allah tetap teguh. Dalam keadaan ini, tak ada yang patut aku mintai pertolongan selain Allah. Dia yang memberikan musibah dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan. Aku pun tak tau kenapa hal ini harus terjadi di saat aku bertekad penuh menyelesaikan hafalan ini.
                Pada tahun kedua, aku arungi lebih banyak lagi cobaan. Kali ini cobaan hati dan keimanan. Aku kini menjadi mahasiswa aktif di lembaga tahfidzul qur’an, setiap periodenya selalu di buka pendaftaran bagi hamba-hamba Allah yang ingin mengabdikan dirinya pada rabbnya. Tak sengaja aku melihat akhwat yang mengusik hatiku. Parasnya yang sederhana, akhlaknya yang santun, membuatku terpaku tak sadarkan diri. Astaghfirullah hal adziim. Sungguh kekaguman ini melewati batas normalnya. Aku segera meminta ampunan kepada Allah atas kedahsyatan cobaan ini. Namun, parasnya selalu ada di setiap aku memejamkan mataku. Aku resah, tapi aku kembalikan semuanya pada Allah. Aku yakin, tiada takdir yang lebih indah dari takdir-Nya. Seiring berjalannya waktu, aku semakin dekat dengan dia dengan tetap pada batasan-batasan yang syar’i. Aku mulai mengenal karakternya. Saat bersama teman perempuannya dia terlihat begitu akrab, dengan senyumnya yang sangat renyah. Namun, saat bersama teman lelakinya, dia terlihat pendiam. Dia akan melirihkan suaranya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya. Setiap ia berkata, suaranya amat lembut nyaris tak terdengar, dan takkan memandang wajah lawan bicaranya. Sungguh akhlak yang luar biasa. Andai suatu saat aku dapat hidup bersamanya. Dan menjadikan keturunan-keturunan kami sebagai keturunan yang sholih-sholihah. Subhanallah.
               Aku sadari, aku semakin mengaguminya. Namun, aku tak ingin menodainya dengan kemaksiatan. Biarlah Allah yang mengatur semuanya. Dan biarlah Allah yang mengatakan padanya, betapa aku sangat mendambakannya. Tahun ketiga dan tahun terakhir aku disana semakin berwarna dengan beberapa tugas skripsi, PKL dan sebagainya. Semuanya berjalan dengan lancar atas izin Allah. Targetku berhasil. Menyelesaikan studiku tiga tahun, delapan bulan. Meski bukan waktu yang singkat, namun jika dibandingkan teman sebaya itu, waktu itu adalah waktu yang singkat. Semua terasa menyenangkan meski menguras pengorbanan pikiran yang luar biasa. Semua akan menyenangkan saat kita telah merasakan manisnya ilmu. Justru waktu yang tak singkat itulah yang membuatku semakin haus akan ilmu.
               Aku kembali ke daerahku, Yogyakarta. Kembali ku nikmati kehidupan tanah kelahiranku, semuanya tak ada yang berubah. Karena itulah visi kami, mempertahankan kebudayaan yang ada. Aku kembali membantu ibuku yang berjualan di pasar Malioboro. inilah nasib kami sebagai manusia kecil yang tak punya apa-apa. setiap paginya kami harus pergi ke pasar dan kembali pada saat senja tiba. Hanya berbekal iman dan tawakkallah aku hidup. Malamnya, aku membantu TPQ yang terletak dua kilometer dari rumahku. Sekali lagi, aku hanya ingin mengabdikan diriku pada Allah. Ayah menawariku untuk menggantikannya dalam dua tahun ke depan sebagai seorang pengajar di sebuah madrasah yang letaknya lumayan jauh dari kediaman kami. Ayah tak menginginkan aku sebagai bahan cemoohan tetangga yang mengetahui aku adalah seorang mahasiswa. Tawaran yang menggiurkan sebenarnya. Namun, ada sesuatu yang mengusik hatiku. Seakan-akan ada yang membisikkan, bahwa akan ada keajaiban yang akan membuatku terpukau.
               Satu tahun kemudian, setelah kelulusanku, Aku mendapatkan surat panggilan dari rektorku. Entah apa yang membuat beliau merindukanku dan memaksaku untuk kembali ke tanah perantauan. Dengan bermodalkan beberapa keping uang, aku kembali ke tanah perantauanku untuk sekedar menghormati sosok yang berjasa dalam peradaban hidupku. Kedatanganku seakan memang sebuah harapan bagi beliau. Kini aku dapat melihat kembali kebisingan tanah perantauan ini. Perlahan aku langkahkan kakiku untuk menghadap beliau. Beliau menyambutku dengan ramah dan sebuah pelukan yang membuatku takjub. Apakah ini pelukan kerinduan? Ataukah pelukan penyesalan. Entahlah. Apapun itu, aku harus siap mendengar apapun yang akan beliau katakan. “maaf pak, saya baru bisa memenuhi panggilan bapak hari ini. Seharusnya dua hari yang lalu, saya sudah sampai disini..” ucapku basa-basi. “ah.. sudahlah. Bapak cukup senang saat kamu memenuhi panggilan bapak. Langsung saja nak, bapak akan masuk pada inti pembicaraan. Setahun yang lalu, kami sengaja mengirim nilai mahasiswa terbaik kami, untuk di terima di Harvard University. dan atas izin Allah, diantara ratusan mahasiswa, kamulah yang paling beruntung, dan hanya nilaimu lah yang dapat di terima oleh universitas itu. Semuanya gratis nak, bahkan passport dan biaya hidupmu disana. Bapak berharap kamu menerimanya.” ucap dosenku dengan antusias. Tanpa aku sadari, seketika itu aku menundukkan kepalaku di lantai. Mengucakan beribu-ribu tahmid, dan apapun dalam sujud syukurku. Dalam hatiku berkata, “ya rabb, aku hanya makhluk lemah, yang masih lemah dalam keimanan. Namun, mengapa kau selalu memberikanku keajaiban yang luar biasa dahsyatnya. Bahkan, manusia pun tak mungkin dapat mempercayai takdirmu ini”. Ucapan terimakasih tak henti-hentinya aku ucapkan pada rektorku itu. betapa mulianya hati beliau. Entah apa yang ada di hati beliau. Ketulusan? Kebaikan? Atau justru malaikat?. Yang pastinya pengorbanan beliau tak kan pernah kulupakan. Aku harus mengatakannya segera mungkin kepada orang tuaku. Dan tak sabar menanti waktu yang membahagiakan itu. kabar yang aku bawa membuat beliau menangis bahagia. Jika di pikir secara logika, manusia miskin sepertiku, yang hidup dengn bea siswa, akan pergi ke Inggris dengan bea siswa pula. Inilah suatu keajaiban. Saat Allah berkata “ Jadilah!” maka terjadilah.
              Aku kembali meninggalkan tanah kelahiranku, bahkan kali ini meninggalkan tanah airku. Semoga keberuntungan ini tak membuatku congkak dan semakin jauh dari tuhanku. Setelah sampai Inggris, aku sebutkan dengan bangga tanah airku “ I come from Indonesia” ucapku dengan seulas senyum. Menunjukkan bahwa Indonesia pun mampu bersaing dengan mereka. Namun, yang terjadi sungguh di luar skenario. Aku yang awalnya bangga, semakin menciut. Mereka mengatakan bahwa Indonesia Negara koruptor, Negara yang sama sekali tak ada apa-apanya. Jujur, kali ini aku terpojokkan. Namun, cobaan itu hanya bertahan beberapa bulan. setelah lelah menghina tanah airku, kali ini mereka menghina agamaku, setelah mereka mengetahui aku seorang muslim. Astaghfirullah. Ternyata hidup di Negara kristiani tak semudah yang aku kira.
              Perlahan tapi pasti, aku mulai membaur dengan mereka. Aku mulai mengenal budaya mereka, namun aku tetap berpegang teguh pada agamaku. Dalam hatiku terpatri bahwa berteman dengan yang berbeda agama tak mengapa, asal hati ini selalu berada dalam ketakwaan. Mereka tak seburuk apa yang aku kira, sebagian dari mereka dapat mentoleransi keberagaman agama yang ada di dunia. Namun, tak jarang pula sebagian dari mereka berusaha menjerumuskanku ke dalam lembah kenistaan. Jika sudah begini, aku hanya bisa memohon perlindungan kepada Allah, dan meminta ketetapan iman dan islam. Aku masih mengingat, bagaimana mereka menghinaku. Aku dilarang melakukan apapun, karena mereka takut ada sesuatu yang akan aku rusakkan. Aku dianggap manusia paling lemah. Namun, saat aku buktikan kemampuanku. Mereka ternganga dan takjub. Seburuk itu kah pandangan mereka kepada Indonesia?. Sungguh sangat menyakitkan. Seandainya tak ada Allah di hatiku, aku tak yakin, aku dapat bertahan dengan cemoohan ini.
              Setiap tahunnya, aku mendapatkan nilai tertinggi di kelas pada mata kuliah satra. Mereka terheran-heran dengan nilaiku, bahkan diantara mereka bertanya padaku bagaimana mendapatkannya. Aku katakan pada mereka, bahwa sastra itu, hanya butuh hati yang peka. Hati yang tak keras. Dan hati yang lembut yang disertai dengan cinta yang hakiki. Aku beranikan pula, untuk mengatakan bahwa cara mereka mencintai, adalah cara yang salah, mereka mencintai dengan cinta yang di sertai hawa nafsu belaka. Sempat mereka tak sepakat denganku. Namun, mereka tak bisa memungkiri bahwa sosok yang tak mereka percayai adalah peraih nilai tertinggi dalam bidang ini. Tak jarang pula Aku ajak mereka mengikuti ajaran agamaku, dan mengenal agamaku. Agar mereka mengerti apa yang di maksud dengan sastra. Tak jarang pula salah satu dari mereka luluh dan memutuskan untuk masuk islam. Subhanallah.
               Beberapa tahun kemudian, aku kembali ke tanah airku. Terutama tanah kelahiranku. Dengan nilai tertinggi yang aku raih, Aku diminta bekerja di lembaga penerbitan Indonesia. Kadang aku berpikir, bagaimana mungkin aku mendapatkan semua ini, semua terasa mustahil jika dihubungkan dengan kehidupan nyata. Aku pun tak pernah tau, kapan aku mulai suka menulis. Kini aku rasakan bahwa tulisan-tulisan itulah yang sebenarnya akan menjadi kekuatan dakwah yang sempurna. Kadang kita juga disadarkan bahwa dunia itu sebenarnya lurus, saat kita menjalaninya dengan jalan yang lurus pula. Adapun kesengsaraan yang ada, adalah kesalahan dari diri manusia pribadi dan iniah yang Allah sebut sebagai ujian kehidupan.
                Akhir cerita, Setelah aku siap dzahir dan batin. Aku beranikan diri kembali ke tanah perantauanku. Dimana sang pujaan hati tinggal. Ia kini menjadi salah satu dosen di universitasku dan tanpa aku ketahui, ia telah menyelesaikan studinya di Al-Azhar university, Kairo, Mesir dengan jurusan Tafsir, Hadits. Ternyata Allah memang menciptakannya untuk menyempurnakan keimananku. Tak satu lamaran ikhwan pun yang ia terima. Ia telah mengetahui betapa aku mengaguminya. Entah itu bisikkan dari rabbku, ataukah takdir yang telah menyatukan. Bahkan ia bersedia menanti kesiapanku, karena ia yakin bahwa aku akan kembali padanya suatu saat. Ia kini adalah permaisuri halalku yang akan aku gandeng kemana pun, bahkan kami akan selalu bersama ke surga. Kami pun berharap hubungan ini akan benar-benar menggabungkan dua hati yang mencintai karena Allah dan berpisah karena Allah pula. Serta akan abadi selamanya ilaa yaumil Qiyaamah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar