“Jika purna sudah waktuku” bibirnya terus mengatakannya di
tengah kegaduhan bus. Aku coba menegurnya dengan meletakkan tanganku di
pahanya. Dia saudara kembarku. Tazkiyah. Sesuai namanya, ia selalu membersihkan
dirinya dengan mengatakan kalimat itu. Disetiap waktu. Setiap shalat. Agar
dirinya tetap dekat dengan sang Maha Kuasa yang entah kapan akan siap mengutus
malaikat Izrail kepada kita. Kaum manusia yang takdirnya telah ada di Lauhil
Mahfudz.
“boleh saya tau nama anda?” ucap seorang lelaki di sampingku.
Ia terlihat satu almamater denganku dan adikku.
“namaku Tafkirah” ucap Tazkiyah.
“aku tidak bertanya padamu, aku bertanya padanya” ucap
lelaki itu menunjukku.
“tidakkah kau melihat isyarat-isyarat tangan yang berusaha
ia bentuk untuk mengatakannya padamu?” ucap Tazkiyah. Yah, aku memang bisu.
Itulah yang bisa aku lakukan, memberikan isyarat kepada siapapun.
“oh, Maaf” ucap lelaki itu terlihat menyesal.
*****
“Tafkirah, boleh kita jalan nanti?” ucap lelaki di bus yang belakangan ku tau dia bernama Rizqi. Ia mengulurkan secarik kertas untukku. Tentu untuk menulis apa jawabanku.
Aku punya
banyak tugas. Maaf.
Kutulis itu pada kertas yang ia ulurkan. Dari jauh kulihat
Tazkiyah sendiri, kuputuskan menghampirinya. Meninggalkan Rizqi sendiri. Ia tak
terlihat menyerah untuk mengejarku setelah kutolak berkali-kali. “Lelaki yang
tangguh” Ucapku dalam hati.
“kau suka padanya?” ucap Tazkiyah padaku. Aku tau, dengan tubuhnya
yang kekar serta dengan kulit coklat menentramkan itu, Tazkiyah lebih sulit
mendapatkan lelaki daripada aku. Itulah mengapa aku lebih memilih tidak
berpacaran daripada harus melukai saudara kembarku sendiri.
“kau tak usah menjawab, aku tau perasaanmu. Jika kau suka, mengapa
tidak?” lanjutnya setelah aku tak memberikan jawaban. Mungkin dia tau apa yang
aku pikirkan, mengingat kami adalah saudara kembar.
Aku memberikan banyak isyarat tangan padanya yang diterjemahkan
kira-kira seperti ini.
“kau sendiri mengatakan padaku bahwa pacaran dosa. Mengapa kau
menyuruhku?”
Ia tersenyum melihat jawabanku. Kulit coklatnya yang bersih,
selalu memberikan ketentraman padaku saat ia tersenyum. Ah, andai aku bisa
mendapatkan aura itu. Aura yang bisa memberikan rasa nyaman bagi siapapun di
dekatnya. Kupandang jalan raya dihadapanku. Tidak. Rizqi. Ada truk menghampirinya.
Ah, dia selalu ceroboh. Aku berlari menyelamatkannya. Tafkirah tak sadar
sebabku berlari.
Dan..
Brakkk..
*****
“Tafkirah, wajah cantiknya selalu memikat lelaki sekitarnya, luhur
budinya selalu memperindah keanggunan wajahnya. Sayangnya, dia tak mungkin
memiliki kemampuan berbicara. Ah, andai aku bisa menuntaskan hafalan ini
segera, mungkin akan lebih baik untuk Tafkirah”ku dengar suara lirih Tazkiyah
dari luar kamar, suara lembutnya. Dia selalu begitu. Itulah alasannya
seringkali berkata “Jika purna sudah waktuku”. Dan begitulah, ia selalu membuat hatiku besar
meski terkadang pesimistis menyerang dengan kelemahanku.
“aku tau itu. Kau ingat, kau pernah berkata padaku, aku
punya mata tapi tak bisa melihat.” Mungkin saat ini Tazkiyah mengingat kembali
kata itu. Kata halus yang mengakar di hati Rizqi saat pertama kali bertemu aku.
“ku rasa kau benar. Dan tafkirah, tanpa mulut pun ia bisa
berbicara dengan anggota tubuhnya.”ucap Rizqi yang taerlihat menyesal.
Ku intip mereka dari jendela di sisi kiri ranjang rumah
sakit ini. Kulihat Tazkiyah menunduk, sepertinya ia sangat bersalah. Aku tau
itu, dia selalu begitu. Saat aku terluka, dialah yang merasa paling bersalah.
“Aku akan berada disisinya. Kau bisa tanpaku?” lanjut Rizqi.
Aku terperanjat. Apa ini?. Rizqi mencintai Tazkiyah?. Lalu mengapa selama ini
ia berlagak seolah ia mencintaiku?. Bagai petir yang menyengat kulit ariku.
Kulirik Tazkiyah, ia tersenyum kecut. Senyum apa itu? Apa Tazkiyah mencintainya
juga.
“sudah kukatakan, aku tenang bersama Al-Qur’an. Dia yang
memang layak kau cintai. Dan aku akan mencintai dia. Al-Qur’an yang telah
dibukukan Khalifah Utsman dan para sahabat” senyumnya mengembang. Lembut.
Anggun.
“lalu, apa rencanamu setelah ini?” ucap Rizqi. Sekarang aku
rasa dia benar-benar telah sangat mencintai Tazkiyah. Mengapa aku tak menyadari
bahwa aku berada diantara mereka?. Aku yang menjadi penghalang mereka?.
“sudah kukatakan. Aku ingin mengejar cintaku.”
“jadi, kau yakin bukan aku cintamu?” ucap Rizqi menggodanya.
Tazkiyah tersenyum menyembunyikan rasa malunya. Hati ini terasa begitu sakit.
Entah, darimana munculnya rasa sakit itu. Yang ku tau ia mendarat begitu saja
di uluh hati yang paling dalam.
*****
“mengapa kau tak mengatakan padaku?” ucapku pada Tazkiyah
yang tentunya dengan bahasa isyarat.
“apa?” ucap Tazkiyah.
“aku tau kau mencintai Rizqi, mengapa kau tak mengatakannya
padaku?” aku melihat gelagatnya yang
berusaha menyembunyikan keterkejutannya setelah aku mengatakan apa yang aku
tau.
“aku.. aku tak mencintainya. Aku mencintai Al-Qur’an. Kau
tau, jika purna sudah waktuku, dan aku hanya menghabiskannya dengan mencintai
Rizqi. Apa yang akan aku pertanggungjawabkan kepada Tuhan?” ucapannya cukup
mengejutkanku. “jika purna sudah waktuku” selalu menjadi kekuatannya untuk
melupakan masalah dunia. Melupakan cinta yang diharapkan oleh semua orang.
Inilah yang aku irikan padanya. Keimanan yang kokoh, yang menggoyahkan hati
kaum adam yang mencintai Tuhannya. Aku iri dengan aura ketentraman pada
wajahnya. Meski ia tak seputih kulitku. Hidungnya tak semancung hidungku.
Namun, aku yakin, tak hanya satu dari sekian ribu lelaki pecinta Al-Qur’an
mencintainya. Mencintai karena Allah.
“jika kau mencintainya. Aku rela.” Ucapku padanya.
“aku tidak mencintainya, kau berbahagialah dengannya. Aku
akan mengambil beasiswaku di Mesir yang belakangan aku terima.”
“kau yakin? Bahkan kau tak mengatakan padaku bahwa kau akan
pergi ke Mesir”
“bukankah aku telah mengajakmu? Namun, kau tak mau,
cita-citamu dan cita-citaku berbeda. Berusahalah menjadi pelukis hebat. Aku
akan membantumu mendistribusikannya di Mesir” ia tertawa sejenak. Diam.
Membayangkan cita-citanya terwujud. Begitu manis saat terwujud. Aku mengangguk
setuju.
*****
“dimana dia? Apakah dia melupakan hari bahagiaku?” ucapku
pada Ibu tentunya dengan bahasa isyarat. Yah, hari ini aku dan Rizqi akan
menikah. Tazkiyah. Dia benar-benar tinggal jauh dariku. Mesir. Cita-citanya
sejak dulu. Dia telah berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an. Tepatnya menghafalkannya
sampai tuntas. Aku? Masih tetap seperti yang dulu. Tak adayang berubah. Dia
benar-benar membuktikan mantranya memang kata penguat terbaik untuknya.
Membuatnya tak pernah menyerah menghadapi cobaan yang pernah terjadi saat ia
pertama menginjakkan kakinya di Mesir.
“aku tertipu. Aku tak benar-benar mendapatkan beasiswa itu.”
Masih kuingat kata-katanya saat aku menerima telepon darinya. Di detik saat ia
akan pergi ke Mesir. Tabungan yang ia rawat sejak jenjang SMP ludes. Dia
tertipu. Dia mengirimkan fotocopy rekening, dan entah, sindikat hecker itu
memang sangat cerdas. Aku prihatin padanya. Namun keteguhannya tak menyurutkan
semangatnya. Ia mencari beasiswa ke Mesir. Al-Azhar. Dan berhasil. Mungkin
benar, tuhan selalu menguji kita untuk menjadikan kita pribadi yang lebih
hebat.
Dari jauh kulihat seseorang yang sangat ku kenal. Tazkiyah.
Dia benar-benar datang. Saudara kembar yang aku sanjung-sanjung semangatnya.
Aku melihat Rizqi menghampirinya, emngulurkan tangan untuk bersalaman. Tazkiyah
justru menelungkupkan tangannya. Dia, memang benar-benar menjadikan dirinya
lebih baik. Aura itu tak pernah hilang dari wajahnya. Aura yang dulu
dikombinasikan dengan kulit coklat, sekarang ia berhasil mengkombinasikannya
dengan kulit putih berseri.
“kakak, kau cantik sekali. Eits, Assalamualaikum” ucapnya
yang baru tersadar bahwa ia belum mengucapkan salam padaku. Kebiasaan itu tak
pernah hilang. Tergesa-gesa saat mendapat kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar