Kamis, 17 April 2014

Mantra Ajaib



“Jika purna sudah waktuku” bibirnya terus mengatakannya di tengah kegaduhan bus. Aku coba menegurnya dengan meletakkan tanganku di pahanya. Dia saudara kembarku. Tazkiyah. Sesuai namanya, ia selalu membersihkan dirinya dengan mengatakan kalimat itu. Disetiap waktu. Setiap shalat. Agar dirinya tetap dekat dengan sang Maha Kuasa yang entah kapan akan siap mengutus malaikat Izrail kepada kita. Kaum manusia yang takdirnya telah ada di Lauhil Mahfudz.
“boleh saya tau nama anda?” ucap seorang lelaki di sampingku. Ia terlihat satu almamater denganku dan adikku.
“namaku Tafkirah” ucap Tazkiyah.
“aku tidak bertanya padamu, aku bertanya padanya” ucap lelaki itu menunjukku.
“tidakkah kau melihat isyarat-isyarat tangan yang berusaha ia bentuk untuk mengatakannya padamu?” ucap Tazkiyah. Yah, aku memang bisu. Itulah yang bisa aku lakukan, memberikan isyarat kepada siapapun.
“oh, Maaf” ucap lelaki itu terlihat menyesal.
*****

“Tafkirah, boleh kita jalan nanti?” ucap lelaki di bus yang belakangan ku tau dia bernama Rizqi. Ia mengulurkan secarik kertas untukku. Tentu untuk menulis apa jawabanku.
Aku punya banyak tugas. Maaf.
Kutulis itu pada kertas yang ia ulurkan. Dari jauh kulihat Tazkiyah sendiri, kuputuskan menghampirinya. Meninggalkan Rizqi sendiri. Ia tak terlihat menyerah untuk mengejarku setelah kutolak berkali-kali. “Lelaki yang tangguh” Ucapku dalam hati.
“kau suka padanya?” ucap Tazkiyah padaku. Aku tau, dengan tubuhnya yang kekar serta dengan kulit coklat menentramkan itu, Tazkiyah lebih sulit mendapatkan lelaki daripada aku. Itulah mengapa aku lebih memilih tidak berpacaran daripada harus melukai saudara kembarku sendiri.
“kau tak usah menjawab, aku tau perasaanmu. Jika kau suka, mengapa tidak?” lanjutnya setelah aku tak memberikan jawaban. Mungkin dia tau apa yang aku pikirkan, mengingat kami adalah saudara kembar.
Aku memberikan banyak isyarat tangan padanya yang diterjemahkan kira-kira seperti ini.
“kau sendiri mengatakan padaku bahwa pacaran dosa. Mengapa kau menyuruhku?”
Ia tersenyum melihat jawabanku. Kulit coklatnya yang bersih, selalu memberikan ketentraman padaku saat ia tersenyum. Ah, andai aku bisa mendapatkan aura itu. Aura yang bisa memberikan rasa nyaman bagi siapapun di dekatnya. Kupandang jalan raya dihadapanku. Tidak. Rizqi. Ada truk menghampirinya. Ah, dia selalu ceroboh. Aku berlari menyelamatkannya. Tafkirah tak sadar sebabku berlari.
Dan..
Brakkk..
*****
“Tafkirah, wajah cantiknya selalu memikat lelaki sekitarnya, luhur budinya selalu memperindah keanggunan wajahnya. Sayangnya, dia tak mungkin memiliki kemampuan berbicara. Ah, andai aku bisa menuntaskan hafalan ini segera, mungkin akan lebih baik untuk Tafkirah”ku dengar suara lirih Tazkiyah dari luar kamar, suara lembutnya. Dia selalu begitu. Itulah alasannya seringkali berkata “Jika purna sudah waktuku”.  Dan begitulah, ia selalu membuat hatiku besar meski terkadang pesimistis menyerang dengan kelemahanku.
“aku tau itu. Kau ingat, kau pernah berkata padaku, aku punya mata tapi tak bisa melihat.” Mungkin saat ini Tazkiyah mengingat kembali kata itu. Kata halus yang mengakar di hati Rizqi saat pertama kali bertemu aku.
“ku rasa kau benar. Dan tafkirah, tanpa mulut pun ia bisa berbicara dengan anggota tubuhnya.”ucap Rizqi yang taerlihat menyesal.
Ku intip mereka dari jendela di sisi kiri ranjang rumah sakit ini. Kulihat Tazkiyah menunduk, sepertinya ia sangat bersalah. Aku tau itu, dia selalu begitu. Saat aku terluka, dialah yang merasa paling bersalah.
“Aku akan berada disisinya. Kau bisa tanpaku?” lanjut Rizqi. Aku terperanjat. Apa ini?. Rizqi mencintai Tazkiyah?. Lalu mengapa selama ini ia berlagak seolah ia mencintaiku?. Bagai petir yang menyengat kulit ariku. Kulirik Tazkiyah, ia tersenyum kecut. Senyum apa itu? Apa Tazkiyah mencintainya juga.
“sudah kukatakan, aku tenang bersama Al-Qur’an. Dia yang memang layak kau cintai. Dan aku akan mencintai dia. Al-Qur’an yang telah dibukukan Khalifah Utsman dan para sahabat” senyumnya mengembang. Lembut. Anggun.
“lalu, apa rencanamu setelah ini?” ucap Rizqi. Sekarang aku rasa dia benar-benar telah sangat mencintai Tazkiyah. Mengapa aku tak menyadari bahwa aku berada diantara mereka?. Aku yang menjadi penghalang mereka?.
“sudah kukatakan. Aku ingin mengejar cintaku.”
“jadi, kau yakin bukan aku cintamu?” ucap Rizqi menggodanya. Tazkiyah tersenyum menyembunyikan rasa malunya. Hati ini terasa begitu sakit. Entah, darimana munculnya rasa sakit itu. Yang ku tau ia mendarat begitu saja di uluh hati yang paling dalam.
*****
“mengapa kau tak mengatakan padaku?” ucapku pada Tazkiyah yang tentunya dengan bahasa isyarat.
“apa?” ucap Tazkiyah.
“aku tau kau mencintai Rizqi, mengapa kau tak mengatakannya padaku?”  aku melihat gelagatnya yang berusaha menyembunyikan keterkejutannya setelah aku mengatakan apa yang aku tau.
“aku.. aku tak mencintainya. Aku mencintai Al-Qur’an. Kau tau, jika purna sudah waktuku, dan aku hanya menghabiskannya dengan mencintai Rizqi. Apa yang akan aku pertanggungjawabkan kepada Tuhan?” ucapannya cukup mengejutkanku. “jika purna sudah waktuku” selalu menjadi kekuatannya untuk melupakan masalah dunia. Melupakan cinta yang diharapkan oleh semua orang. Inilah yang aku irikan padanya. Keimanan yang kokoh, yang menggoyahkan hati kaum adam yang mencintai Tuhannya. Aku iri dengan aura ketentraman pada wajahnya. Meski ia tak seputih kulitku. Hidungnya tak semancung hidungku. Namun, aku yakin, tak hanya satu dari sekian ribu lelaki pecinta Al-Qur’an mencintainya. Mencintai karena Allah.
“jika kau mencintainya. Aku rela.” Ucapku padanya.
“aku tidak mencintainya, kau berbahagialah dengannya. Aku akan mengambil beasiswaku di Mesir yang belakangan aku terima.”
“kau yakin? Bahkan kau tak mengatakan padaku bahwa kau akan pergi ke Mesir”
“bukankah aku telah mengajakmu? Namun, kau tak mau, cita-citamu dan cita-citaku berbeda. Berusahalah menjadi pelukis hebat. Aku akan membantumu mendistribusikannya di Mesir” ia tertawa sejenak. Diam. Membayangkan cita-citanya terwujud. Begitu manis saat terwujud. Aku mengangguk setuju.
*****
“dimana dia? Apakah dia melupakan hari bahagiaku?” ucapku pada Ibu tentunya dengan bahasa isyarat. Yah, hari ini aku dan Rizqi akan menikah. Tazkiyah. Dia benar-benar tinggal jauh dariku. Mesir. Cita-citanya sejak dulu. Dia telah berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an. Tepatnya menghafalkannya sampai tuntas. Aku? Masih tetap seperti yang dulu. Tak adayang berubah. Dia benar-benar membuktikan mantranya memang kata penguat terbaik untuknya. Membuatnya tak pernah menyerah menghadapi cobaan yang pernah terjadi saat ia pertama menginjakkan kakinya di Mesir.
“aku tertipu. Aku tak benar-benar mendapatkan beasiswa itu.” Masih kuingat kata-katanya saat aku menerima telepon darinya. Di detik saat ia akan pergi ke Mesir. Tabungan yang ia rawat sejak jenjang SMP ludes. Dia tertipu. Dia mengirimkan fotocopy rekening, dan entah, sindikat hecker itu memang sangat cerdas. Aku prihatin padanya. Namun keteguhannya tak menyurutkan semangatnya. Ia mencari beasiswa ke Mesir. Al-Azhar. Dan berhasil. Mungkin benar, tuhan selalu menguji kita untuk menjadikan kita pribadi yang lebih hebat.
Dari jauh kulihat seseorang yang sangat ku kenal. Tazkiyah. Dia benar-benar datang. Saudara kembar yang aku sanjung-sanjung semangatnya. Aku melihat Rizqi menghampirinya, emngulurkan tangan untuk bersalaman. Tazkiyah justru menelungkupkan tangannya. Dia, memang benar-benar menjadikan dirinya lebih baik. Aura itu tak pernah hilang dari wajahnya. Aura yang dulu dikombinasikan dengan kulit coklat, sekarang ia berhasil mengkombinasikannya dengan kulit putih berseri.
“kakak, kau cantik sekali. Eits, Assalamualaikum” ucapnya yang baru tersadar bahwa ia belum mengucapkan salam padaku. Kebiasaan itu tak pernah hilang. Tergesa-gesa saat mendapat kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar