Sabtu, 24 Mei 2014

Langit Akan Tetap Tenang



“kapan kita ndak kena’ macet ya?” ucap Gilang. Seorang cowok dari pelosok Jawa tengah yang akan selalu menggerutu akan kemacetan yang terjadi setiap kami pulang dari kuliah. Menurut ceritanya, ia tak pernah menemukan hal semacam ini di Jepang. Yah, dia seorang peserta pertukaran pelajar pada tahun 2010 lalu. Meski hanya 1 bulan, namun konon katanya ia merasakan simpati yang mendalam pada Indonesia saat ia sedang berada di sana. Ia merasa Indonesia sangat sesak akan kasus. Yah, meskipun ia selalu menyanjung Indonesia di akhir ceritanya karena tidak rawan gempa.
Aku selalu terkikik saat ia menggerutu seperti itu. Dengan gaya bahasanya yang kental dengan logat jawa itu, aku merasa nyaman saat ngobrol dengannya. Mungkin orang di sekitar kami di bus ini tak akan menyangka bahwa lelaki medok ini mahir berbicara dalam bahasa Jepang dan saat mendengar cerita yang secara tak sengaja didengar darinya, mungkin mereka menganggap ceritnya sebagai cerita rekayasa belaka. Inilah Uniknya, Ia selalu menggerutu dengan menambahkan cerita di belakangnya dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata. Yah, meski kadang cerita itu seringkali diulang kembali.

Tak jarang kami pulang bersama. Selain karena daerah kami sama, juga karena kami mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang sama yakni Pecinta Alam. Kami sering berdebat tentang gejala-gejala alam, mencari solusinya bahkan seringkali kami rela menelitinya dengan berbagai teori untuk mengkajinya. Namun tak jarang juga di saat kami serius dengan pemecahan masalah, ia justru menyelipkan lelucon yang masuk akal.
“iya lang, itulah mengapa aku suka melihat langit.” Ucapku yang kemudian tersadar dari kediamanku.
“lha, ngomong apa bocah ini? Emang apa hubungannya sama ungkapanku tadi?” Tangkasnya cepat mendengar aku membicarakan hal yang tidak sesuai harapannya.
“ ya ada-lah. Lihat langit itu, tenangkan? Kemudian alihkan pandangan ke depan maupun sekitarmu apa yang terjadi? ketidaktenangan kan?” jawabku dengan antusias.
“ealah. Yo benar juga sih. Aku tak ikut kamu juga wes ngelihat langit biar ada bersyukurnya.” Aku tertawa mendengar jawabannya.
“tumben bijak.” Ucapku mengejeknya. Ia tersenyum sinis.
*****
Sayup-sayup kudengar nada dering Handphone yang berteriak minta diangkat. Aku yang tadinya membantu Ibu di dapur, terpaksa meninggalkan Ibu sementara. Kulihat layar Handphone itu.
“ada apa dengan dia?” gumamku.
“Silviiiiiiiii” teriak seseorang di seberang.
“heh, ini telinga tau. Ada apaan sih?” ucapku kesal.
“tadi barusan ada gempa kecil ya?” ucapnya polos.
“haaaaah??? Iya kah?? Aku kok gak kerasa ya?” ucapku yang kini baru kusadari sama dengan saat ia berteriak padaku.
“kamu sih tidur terus. Ntar seperti biasa ya, jangan pulang dulu. Kita diskusikan masalah ini.”
“siap bos. Sudahkah? Hanya itu saja?”
“tunggu dulu. Baru kali ini, aku merasakan gempa di Indonesia.”
“kalo gempa kecil kaya’ gitu kan udah biasa Gilang. Kamu hidup dimana sih selama ini?”
“hidup di alam mimpi.” Ucapnya dengan nada polos.
“sudahlah. Kita diskusikan nanti, aku masih ada kesibukan.” Jawabku kemudian setelah tertawa mendengar jawaban polosnya dan kemudian menekan tombol merah. Telepon putus.
*****
“jadi, daerah mana yang hari ini terkena gempa besar?” ucapku yang tiba-tiba muncul dengan jantung masih berdebar karena berjalan cepat dari fakultas menuju kantor UKM.
“daerah kita.” Ucap Gilang dengan raut muka yang dimurungkan.
“APA???” ucapku dengan tak sadar memasang mata yang hampir lepas dari kelopak mata.
“kemungkinan gempa yang terjadi pagi tadi adalah pergeseran lempeng secara Horizontal. Air di Parangtritis sekarang surut. BMKG pun memiliki dugaan yang sama. Dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi Tsunami.” Jelas Gilang.
Aku terkulai lemah. Bingung apa yang harus aku katakan. Memang begitulah nyatanya. Menurut apa yang aku pernah pelajari di Geografi tingkat SMA pun begitu. Disangkal pun tak bisa. Satu-satunya cara adalah mengungsikan masyarakat untuk sementara. Aku memejamkan mata. Perasaan ngeri tiba-tiba muncul di otakku. Membayangkan kota yang tertata ini menjadi kota yang penuh dengan ambrukan bangunan.
“kemudian apa yang bisa kita lakukan?” ucapku yang masih lemas setelah mendengar kabar tersebut.
“jangan gugup. Apalagi yang bisa kita lakukan selain mengungsikan penduduk?” aku sadari Gilang kini mulai depresi. Gaya bicaranya yang biasanya ceria berubah menjadi pasrah dan tegar.
Kupandangi semua anggota yang hadir di kantor ini. Gugup, terkejut dan entahlah mereka berubah menjadi pendiam. Aku yakin, semuanya membayangkan hal itu. Hal yang aku bayangkan dalam otakku.
“Sudahlah. Kita netralisir kegugupan kita. Sekarang kita merencanakan dan mempersiapkan barang maupun program yang akan kita gunakan saat waktu itu datang.” Ucapku berusaha tegas.
Sorotan mata kosong itu kini beralih padaku. Awalnya aku membayangkan mereka akan menggerutu. Namun, ternyata mereka kemudian tersenyum dan mengangguk. Kami mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.
“pelampung, perahu ban. Apalagi yang kita butuhkan?” ucap Gilang mengawali. Kemudian ide-ide dari anggota yang lain mulai berdatangan dan akhirnya kami mendapatkan program dan menyiapkan barang-barang yang cukup. Diskusi untuk hari itu berakhir.
“terimakasih kamu sudah memberikan solusi dalam diskusi kita.” Ucap Gilang membesarkan hatiku. Aku tertawa.
“oh iya, soal macet? Sudah dibahaskah?” ucapku mengingatkannya atas antusiasnya tempo hari.
“ya salaam. Aku lupa. Gempa membuatku mendadak bodoh.” Ucapnya dengan menepuk jidatnya.
*****
2 minggu sudah kami tinggal di penampungan. Penampungan yang memberikan resiko yang luar biasa besarnya, mengingat kami yang masih seumuran Mahasiswa. Terlalu muda rasanya untuk meminta izin kepada penduduk setempat untuk mendirikan penampungan yang lumayan jauh dari posisi prediksi dampak Tsunami. Perjuangan seminggu yang menguras pikiran, tenaga serta tentunya financial.
“Jangan mengada-ada mas, mbak. Sampean itu masih kecil, tau apa pean tentang gempa. Gempakan sudah dari sononya. Kalo ndak gitu ya kita berikan sesajen ke gunung merapi. Wong ya gempa itu urusannya gusti Allah. Sampean ini sebenarnya mau nyari’ tempat penampungan, atau mau menggeser daerah kami?” masih terngiang ungkapan itu di telinga kami. Sangat pedas dan menyakitkan. Tak hanya penduduk daerah yang kami mintai permohonan izin mendirikan penampungan yang mengolok kami. Namun juga warga yang terancam terkena Tsunami.
“walah mbak. Air surut aja kok bingung. Ya anggap itu rejeki dari tuhan. Biar yang nelayan-nelayan ini ndak kesusahan berlayarnya.” Ucapnya dengan lembut namun sekan-akan menganggap kami hanya pasukan yang tidak masuk akal. Kami tidak hanya diam. Ini menyangkut banyak jiwa. Satu-satunya cara adalah dengan meminta bantuan orang-orang BMKG dan membenarkan adanya isu yang kami bawa. BMKG menyetujui. Sebagian masyarakat yang tinggal bersama kami hanyalah orang yang mendapatkan pendidikan SMA. Sisanya? kami masih mencari cara. Dengan cara apapun kami tempuh. Termasuk membuat slogan, poster dan sebagainya yang cukup menguras kami secara financial.
*****
Minggu, Pukul. 00.00
Gempa besar itu akhirnya terjadi setelah kami tuntas menyiapkan penampungan 2 minggu yang lalu. Gempa berkekuatan besar disertai air yang dengan rakusnya meenggerus bangunan-bangunan kami. Bangun-bangunan yang punya sejarah penting dalam kehidupan masing-masing individu. Tangisan tentu ada, meski diri ini selamat. Membayangkan 15 menit yang lalu saat kota ini masih tenang, dan kini semua hanya tinggal puing-puing bangunan.
Kami bersyukur, hanya sekitar 20 orang yang masih tahap pencarian. Umumnya mereka adalah nelayan-nelayan yang tak ingin berpisah dengan mata pencaharian mereka. Sedih sebenarnya. Kembali kami melakukan pencarian terhadap korban-korban tersebut dengan barang-barang yang telah kami persiapkan. Di atas kapal ban ini, aku kembali memandang langit. Ia masih tenang seperti halnya 15 menit yang lalu. Aku menyenggol siku Gilang.
“tuhkan, langit masih terlihat tenang. Meski bangunan-bangunan sudah di bumi sudah ambruk.” Ucapku padanya.
“kurasa kini aku juga suka melihat langit, sama dengan aku menyukaimu.” Ungkap Gilang tanpa ba-bi-bu. Aku menolehnya heran. Benarkah apa yang barusan aku dengar? Aku mencari jawaban atas sorot matanya, dan aku tangkapan sorot kesungguhan di kornea matanya yang bulat.
“aku juga membenci macet, sama seperti kau membencinya.” Ucapku yang kurasa tidak ia harapkan.
“dan aku rasa kini aku mencintai Indonesia karena kelemahannya…”
“sudah jangan diteruskan.” Ucapku memotong ungkapannya yang akan semakin panjang nantinya dan akan menjalar ke macet dan tentunya, akan kembali ke ungkapan perasaannya padaku.
“untung pecinta alam punya anggota yang sudah pengalaman sama gempa. Aku salut padamu, seperti salut pada langit.” Ucapku tanpa memandangnya. Kutangkap wajah heran dan diikuti senyum di wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar