“kapan kita ndak kena’ macet ya?” ucap Gilang. Seorang cowok
dari pelosok Jawa tengah yang akan selalu menggerutu akan kemacetan yang
terjadi setiap kami pulang dari kuliah. Menurut ceritanya, ia tak pernah
menemukan hal semacam ini di Jepang. Yah, dia seorang peserta pertukaran
pelajar pada tahun 2010 lalu. Meski hanya 1 bulan, namun konon katanya ia
merasakan simpati yang mendalam pada Indonesia saat ia sedang berada di sana. Ia
merasa Indonesia sangat sesak akan kasus. Yah, meskipun ia selalu menyanjung
Indonesia di akhir ceritanya karena tidak rawan gempa.
Aku selalu terkikik saat ia menggerutu seperti itu. Dengan gaya
bahasanya yang kental dengan logat jawa itu, aku merasa nyaman saat ngobrol
dengannya. Mungkin orang di sekitar kami di bus ini tak akan menyangka bahwa
lelaki medok ini mahir berbicara dalam bahasa Jepang dan saat mendengar
cerita yang secara tak sengaja didengar darinya, mungkin mereka menganggap
ceritnya sebagai cerita rekayasa belaka. Inilah Uniknya, Ia selalu menggerutu
dengan menambahkan cerita di belakangnya dengan tingkat percaya diri di atas
rata-rata. Yah, meski kadang cerita itu seringkali diulang kembali.
Tak jarang kami pulang bersama. Selain karena daerah kami sama, juga karena kami mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang sama yakni Pecinta Alam. Kami sering berdebat tentang gejala-gejala alam, mencari solusinya bahkan seringkali kami rela menelitinya dengan berbagai teori untuk mengkajinya. Namun tak jarang juga di saat kami serius dengan pemecahan masalah, ia justru menyelipkan lelucon yang masuk akal.
“iya lang, itulah mengapa aku suka melihat langit.” Ucapku yang
kemudian tersadar dari kediamanku.
“lha, ngomong apa bocah ini? Emang apa hubungannya sama ungkapanku
tadi?” Tangkasnya cepat mendengar aku membicarakan hal yang tidak sesuai
harapannya.
“ ya ada-lah. Lihat langit itu, tenangkan? Kemudian alihkan
pandangan ke depan maupun sekitarmu apa yang terjadi? ketidaktenangan kan?”
jawabku dengan antusias.
“ealah. Yo benar juga sih. Aku tak ikut kamu juga wes
ngelihat langit biar ada bersyukurnya.” Aku tertawa mendengar jawabannya.
“tumben bijak.” Ucapku mengejeknya. Ia tersenyum sinis.
*****
Sayup-sayup kudengar nada dering Handphone yang berteriak minta
diangkat. Aku yang tadinya membantu Ibu di dapur, terpaksa meninggalkan Ibu
sementara. Kulihat layar Handphone itu.
“ada apa dengan dia?” gumamku.
“Silviiiiiiiii” teriak seseorang di seberang.
“heh, ini telinga tau. Ada apaan sih?” ucapku kesal.
“tadi barusan ada gempa kecil ya?” ucapnya polos.
“haaaaah??? Iya kah?? Aku kok gak kerasa ya?” ucapku yang kini baru
kusadari sama dengan saat ia berteriak padaku.
“kamu sih tidur terus. Ntar seperti biasa ya, jangan pulang dulu.
Kita diskusikan masalah ini.”
“siap bos. Sudahkah? Hanya itu saja?”
“tunggu dulu. Baru kali ini, aku merasakan gempa di Indonesia.”
“kalo gempa kecil kaya’ gitu kan udah biasa Gilang. Kamu hidup
dimana sih selama ini?”
“hidup di alam mimpi.” Ucapnya dengan nada polos.
“sudahlah. Kita diskusikan nanti, aku masih ada kesibukan.” Jawabku
kemudian setelah tertawa mendengar jawaban polosnya dan kemudian menekan tombol
merah. Telepon putus.
*****
“jadi, daerah mana yang hari ini terkena gempa besar?” ucapku yang
tiba-tiba muncul dengan jantung masih berdebar karena berjalan cepat dari
fakultas menuju kantor UKM.
“daerah kita.” Ucap Gilang dengan raut muka yang dimurungkan.
“APA???” ucapku dengan tak sadar memasang mata yang hampir lepas
dari kelopak mata.
“kemungkinan gempa yang terjadi pagi tadi adalah pergeseran lempeng
secara Horizontal. Air di Parangtritis sekarang surut. BMKG pun memiliki dugaan
yang sama. Dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi Tsunami.” Jelas Gilang.
Aku terkulai lemah. Bingung apa yang harus aku katakan. Memang
begitulah nyatanya. Menurut apa yang aku pernah pelajari di Geografi tingkat
SMA pun begitu. Disangkal pun tak bisa. Satu-satunya cara adalah mengungsikan
masyarakat untuk sementara. Aku memejamkan mata. Perasaan ngeri tiba-tiba
muncul di otakku. Membayangkan kota yang tertata ini menjadi kota yang penuh
dengan ambrukan bangunan.
“kemudian apa yang bisa kita lakukan?” ucapku yang masih lemas
setelah mendengar kabar tersebut.
“jangan gugup. Apalagi yang bisa kita lakukan selain mengungsikan
penduduk?” aku sadari Gilang kini mulai depresi. Gaya bicaranya yang biasanya
ceria berubah menjadi pasrah dan tegar.
Kupandangi semua anggota yang hadir di kantor ini. Gugup, terkejut
dan entahlah mereka berubah menjadi pendiam. Aku yakin, semuanya membayangkan
hal itu. Hal yang aku bayangkan dalam otakku.
“Sudahlah. Kita netralisir kegugupan kita. Sekarang kita
merencanakan dan mempersiapkan barang maupun program yang akan kita gunakan
saat waktu itu datang.” Ucapku berusaha tegas.
Sorotan mata kosong itu kini beralih padaku. Awalnya aku
membayangkan mereka akan menggerutu. Namun, ternyata mereka kemudian tersenyum
dan mengangguk. Kami mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.
“pelampung, perahu ban. Apalagi yang kita butuhkan?” ucap Gilang
mengawali. Kemudian ide-ide dari anggota yang lain mulai berdatangan dan
akhirnya kami mendapatkan program dan menyiapkan barang-barang yang cukup.
Diskusi untuk hari itu berakhir.
“terimakasih kamu sudah memberikan solusi dalam diskusi kita.” Ucap
Gilang membesarkan hatiku. Aku tertawa.
“oh iya, soal macet? Sudah dibahaskah?” ucapku mengingatkannya atas
antusiasnya tempo hari.
“ya salaam. Aku lupa. Gempa membuatku mendadak bodoh.” Ucapnya
dengan menepuk jidatnya.
*****
2 minggu sudah kami tinggal di penampungan. Penampungan yang
memberikan resiko yang luar biasa besarnya, mengingat kami yang masih seumuran
Mahasiswa. Terlalu muda rasanya untuk meminta izin kepada penduduk setempat
untuk mendirikan penampungan yang lumayan jauh dari posisi prediksi dampak
Tsunami. Perjuangan seminggu yang menguras pikiran, tenaga serta tentunya
financial.
“Jangan mengada-ada mas, mbak. Sampean itu masih kecil, tau
apa pean tentang gempa. Gempakan sudah dari sononya. Kalo ndak gitu ya
kita berikan sesajen ke gunung merapi. Wong ya gempa itu urusannya gusti
Allah. Sampean ini sebenarnya mau nyari’ tempat penampungan, atau mau
menggeser daerah kami?” masih terngiang ungkapan itu di telinga kami. Sangat
pedas dan menyakitkan. Tak hanya penduduk daerah yang kami mintai permohonan
izin mendirikan penampungan yang mengolok kami. Namun juga warga yang terancam
terkena Tsunami.
“walah mbak. Air surut aja kok bingung. Ya anggap itu rejeki dari
tuhan. Biar yang nelayan-nelayan ini ndak kesusahan berlayarnya.” Ucapnya dengan
lembut namun sekan-akan menganggap kami hanya pasukan yang tidak masuk akal.
Kami tidak hanya diam. Ini menyangkut banyak jiwa. Satu-satunya cara adalah
dengan meminta bantuan orang-orang BMKG dan membenarkan adanya isu yang kami
bawa. BMKG menyetujui. Sebagian masyarakat yang tinggal bersama kami hanyalah orang
yang mendapatkan pendidikan SMA. Sisanya? kami masih mencari cara. Dengan cara
apapun kami tempuh. Termasuk membuat slogan, poster dan sebagainya yang cukup
menguras kami secara financial.
*****
Minggu, Pukul. 00.00
Gempa besar itu akhirnya terjadi setelah kami tuntas menyiapkan
penampungan 2 minggu yang lalu. Gempa berkekuatan besar disertai air yang
dengan rakusnya meenggerus bangunan-bangunan kami. Bangun-bangunan yang punya
sejarah penting dalam kehidupan masing-masing individu. Tangisan tentu ada,
meski diri ini selamat. Membayangkan 15 menit yang lalu saat kota ini masih
tenang, dan kini semua hanya tinggal puing-puing bangunan.
Kami bersyukur, hanya sekitar 20 orang yang masih tahap pencarian.
Umumnya mereka adalah nelayan-nelayan yang tak ingin berpisah dengan mata
pencaharian mereka. Sedih sebenarnya. Kembali kami melakukan pencarian terhadap
korban-korban tersebut dengan barang-barang yang telah kami persiapkan. Di atas
kapal ban ini, aku kembali memandang langit. Ia masih tenang seperti halnya 15
menit yang lalu. Aku menyenggol siku Gilang.
“tuhkan, langit masih terlihat tenang. Meski bangunan-bangunan
sudah di bumi sudah ambruk.” Ucapku padanya.
“kurasa kini aku juga suka melihat langit, sama dengan aku
menyukaimu.” Ungkap Gilang tanpa ba-bi-bu. Aku menolehnya heran. Benarkah apa
yang barusan aku dengar? Aku mencari jawaban atas sorot matanya, dan aku
tangkapan sorot kesungguhan di kornea matanya yang bulat.
“aku juga membenci macet, sama seperti kau membencinya.” Ucapku
yang kurasa tidak ia harapkan.
“dan aku rasa kini aku mencintai Indonesia karena kelemahannya…”
“sudah jangan diteruskan.” Ucapku memotong ungkapannya yang akan
semakin panjang nantinya dan akan menjalar ke macet dan tentunya, akan kembali
ke ungkapan perasaannya padaku.
“untung pecinta alam punya anggota yang sudah pengalaman sama
gempa. Aku salut padamu, seperti salut pada langit.” Ucapku tanpa memandangnya.
Kutangkap wajah heran dan diikuti senyum di wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar