BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Organisasi merupakan kesatuan individu yang memiliki tujuan yang
sama. Namun layaknya ilmu Sosiologi yang selalu berubah, setiap individu pun
dapat berubah seiring berubahnya pola pemikiran setiap individu. Seringkali
dalam individu dihadangkan pada perbedaan-perbedaan yang pada ujungnya
menimbulkan konflik.
Orde baru, seringkali menerjemahkan konflik dalam istilah yang
negative sebagai bentuk trauma orde baru akibat ketidakstabilan politik pada
masa orde lama, dominasi ilmu sosial fungsionalisme structural di jagad
keilmuan sosial Indonesia pada periode tersebut serta kepentingan pembangunan
yang mensyarakat stabilitas politik berlebihan. Itulah yang kemudian
menyebabkan segala potensi modal sosial, aspirasi, dan konflik yang terpendam
muncul secara radikal dalam bentuk kekerasan selama transisi demokrasi sejak
1998 sebagai efek dari pengharaman konflik serta pengabaian eksistensi dinamika
sosial.
Latar belakang inilah kemudian memberikan doktrin pada masyarakat bahwa politik adalah sesuatu yang negative, atau hal yang disgusting (menjijikkan) mengingat politik tidak pernah terlepas dari permasalahan-permasalahan baik politik, ekonomi, maupun sosial. Jika hal sepenting politik dipandang sebagai sesuatu yang disgusting, maka tingkat kepercayaan masyarakat pada anggota politisi pun rendah. Sehingga hubungan sosial antara masyarakat dengan pemerintah terhambat dan program-program pemerintah pun tak dapat berjalan dengan baik dan merata.
Karena itulah, penulis kemudian membawa pembaca memahami pengertian
konflik secara mendalam, mengetahui tipe-tipe dan bentuk-bentuk konflik,
berikut penyebab dan resolusi konflik. Selain itu, penulis akan membahas
tentang Integrasi politik yang akan menjelaskan tentang pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang disebut dengan konflik itu?
2.
Apa
saja bentuk dan penyebab konflik?
3.
Bagaimanakah
cara menyelaesaikan konflik itu?
4.
Apakah
integrasi politik itu?
C.
Tujuan Masalah
1.
Meluruskan
kembali paradigma pengertian konflik pada pembaca
2.
Menjelaskan
kepada pembaca bentuk dan penyebab konflik
3.
Memberikan
pilihan solusi kepada pembaca dalam menyelesaikan konflik
4.
Memberi
pengetahuan kepada pembaca hakikat integrasi politik
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Konflik
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena
konflik memiliki fungsi positif, konflik menjadi dinamika sejarah manusia,
konflik menjadi entitas hubungan sosial daan konflik adalah bagian dari proses
pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Secara etimologis, konflik berasal dari
bahasa Latin con yang berarti bersama dan fligere benturan
atau tabrakan. Dan juga Configere yang berarti saling
memukul. Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris Conflict.[1]
konflik didefinisikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan
(perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi
pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara multan.[2]
Sedangkan menurut para ahli Sosiologi adalah sebagai berikut[3] :
· Menurut Taquiri dalam Newstorm dan
Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku
dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara
berterusan.
·
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
·
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari
adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap
tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi
telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
·
Menurut
Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial di mana orang per
orangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan.
Dari pendapat-pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa konflik
adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih
yang saling tergantung mengenai objek (penyabab) konflik, menggunakan pola
perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik (solusi).
Di Indonesia, Konflik seringkali diterjemahkan dalam istilah yang
negative sebagai bentuk trauma orde baru akibat ketidakstabilan politik pada
masa orde lama, dominasi ilmu sosial fungsionalisme structural di jagad
keilmuan sosial Indonesia pada periode tersebut serta kepentingan pembangunan
yang mensyarakat stabilitas politik berlebihan. Itulah yang kemudian
menyebabkan segala potensi modal sosial, aspirasi, dan konflik yang terpendam
muncul secara radikal dalam bentuk kekerasan selama transisi demokrasi sejak
1998 sebagai efek dari pengharaman konflik serta pengabaian eksistensi dinamika
sosial.
Padahal dalam pandangan Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik
internal menguntungkan kelompok secara positif. Perbedaan-perbedaan antara para
anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya
perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan
merusak integrasi. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang
sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki
solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak
terlibat konflik sama sekali.
B.
Bentuk dan Penyebab Konflik
Adapun bentuk-bentuk konflik politik itu dapat diidentifikasi
dari penelitian yang dilakukan oleh Maurice Devurege. Ia mengidentifikasi
bentuk-bentuk konflik politik menjadi dua kategori yakni; senjata-senjata
pertempuran dan strategi politik
1)
Senjata-senjata pertempuran
Manusia dan organisasi dalam
konflik satu sama lain mempergunakan berbagai jenis senjata di dalam perjuangan
politik. Senjata yang digunakan tergantung dari masyarakat setempat dan
kelompok-kelompok sosialnya, diantaranya ialah senjata dalam bentuk kekerasan
fisik, senjata dalam bentuk yang lain seperti kekayaan, media dan organisasi. Namun, belakangan ini kekerasan fisik merupakan
senjata yang sering digunakan.
Padahal tujuan pertama-tama dari
politik adalah untuk menghapus kekerasan, untuk menggantikan konflik berdarah
dengan bentuk-bentuk perjuangan sipil yang lebih dingin, dan untuk menghapus
peperangan, baik sipil atau internasional. Politik cenderung menghapus
kekerasan, akan tetapi dia tidak pernah berhasil seluruhnya. Senjata-senjata
dalam arti sempitnya senjata militer tidak seluruhnya dikeluarkan dari konflik
politik. Senjata pertempuran bisa berupa :
a)
Kekerasan fisik
Berbicara secara luas, ada dua
jenis kekerasan yang dipergunakan sebagai senjata di dalam pertempuran politik:
kekerasan oleh negara melawan para warganya, dan kekerasan antara kelompok
warga negara atau melawan negara.
Alat kekerasan yang digunakan
negara untuk melawan negara adalah militer yang mempergunakan senjata. untuk
mempertahankan otoritasnya terhadap rakyat yang diperintahkannya, senjata militer
juga dipergunakan dalam perjuangan politik Pertama, senjata dipergunakan selama
tahap awal dari perkembangan sosial, ketika negara masih terlalu lemah untuk
memperoleh monopoli lengkap dari senjata-senjata militer bagi keuntungannya sendiri.
Lantas, perjuangan merebut
kekuasaan terdiri dari munculnya fraksi bersenjata yang saling berhadapan baik
itu organisasi politik yang mempergunakan senjata maupun pemberontakan terhadap
negara. Kemudian, ketika militer tidak
lagi untuk melayani negara, tidak lagi berada dalam kuasa mereka yang
memerintah, dan ketika mereka sendiri bergabung di dalam perjuangan untuk
merebut kekuasaan. Maka militer berubah menjadi kelompok kepentingan, yang
berupaya untuk merebut kekuasaan.
b)
Kekayaan
Dalam realitas politik; uang
tidak pernah menjadi satu-satunya "penguasa". Namun dalam banyak
masyarakat, seperti dalam masyarakat kapitalis, uang adalah senjata yang
hakiki. Untuk itu, uang yang merupakan simbol dari kekayaan telah menjadi sebuah
senjata politik. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa kekayaan merupakan bagian
dari hal yang mewarnai bentuk-bentuk konflik politik.
Seperti dalam masyarakat agraris
yang menggunakan kekayaannya seperti tanah sebagai sumber dari kekuatan
politik, hal ini dilakukan oleh kelas pemilik tanah atau aristokrat[4].
Kemudian, pada abad kesembilan belas muncul kalangan borjuis yang menggantikan
sumbernya dari pemilikan tanah kepada kekuatan uang. Jadi, pada pekembangannya
uang mulai terkesan sebagai senjata politik.
c)
Organisasi
Di dalam komunitas manusia yang
besar, terutama di dalam negara modern, pertikaian politik dilancarkan antara
organisasi-organisasi. Organisasi-organisasi ini kelompok-kelompok yang
berstruktur, dengan kemampuan artikulasi, dan hirarkis, terutama terlatih bagi
perjuangan merebut kekuasaan.
Hakikat organisatoris dari
kekuatan- kekuatan sosial ini adalah fakta yang fundamental dari kehidupan
politik masa kini. Kita dapat mengklasifikasikan organisasi politik menjadi dua
kategori utama partai-partai politik dan kelompok kepentingan. Tujuan utama
dari partai adalah memperoleh kekuasaan atau mengambil bagian dalam kekuasaan;
mereka berusaha memperoleh kursi dalam pemilihan umum, mengangkat wakil dan
menteri, dan mengontrol pemerintah. Sedangkan kelompok kepentingan tidak
berusaha untuk merebut kekuasaan atau berpartisipasi di dalam pelaksanaan
kekuasaan, namun tujuannya adalah mempengaruhi dan menekan mereka yang memegang
kekuasaan.
d)
Media informasi
Dalam rezim-rezim otoritarian,
media informasi biasanya berada dalam kontrol negara, yang berfungsi untuk
menyebarkan propaganda negara. Propaganda ini cenderung untuk mengamankan
dukungan penuh dan pemerintah. Dia tidak berorientasi kepada perjuangan kelas
atau kategori sosial yang meliputi bangsa, akan tetapi kepada penyatuan negara.
Dia merupakan alat integrasi sosial atau pseudointegrasi.
Sedangkan dalam rezim demokratis,
tidak semua media informasi dikontrol oleh negara; banyak yang memiliki sifat
seperti kelompok kepentingan. Pluralisme media adalah unsur di dalam pluralisme
rezim, bersama dengan pluralisms partai politik.
2)
Strategi politik
a)
Konsentrasi atau
penyebaran-penyebaran senjata politik
Dari segi distribusi
senjata-senjata politik, masyarakat dapat dibagi menjadi dua jenis masyarakat
politik, yakni masyarakat dengan konsentrasi senjata dan masyarakat dengan
penyebaran senjata.
Di dalam masyarakat dengan
konsentrasi senjata, semua senjata-senjata politik, atau sekurang-kurangnya
yang utama, dipegang oleh satu kelas atau kelompok sosial. Seperti yang terdapat
di dalam masyarakat feodal dan monarki, misalnya, senjata utama pada masa itu —
senjata-senjata militer dan kekayaan pemilikan tanah—
dikonsentrasikan di dalam tangan kaum aristokrat.
Sedangkan di dalam masyarakat
dengan penyebaran senjata, senjata-senjata utama dibagi pada beberapa kelas
atau kategori kelas. Saat ini, di satu pihak, kaum kapitalis memiliki kekayaan,
yang dipakainya untuk kepentingan propaganda, dengan demikian memegang
unsur-unsur kekuasaan politik yang paling penting dalam tangannya. Namun
dipihak lain, kaum pekerja/buruh juga mempenyai kekuatan dengan bentuk
organisasi masa (partai-partai rakyat dan serikat buruh).
b)
Perjuangan terbuka atau
perjuangan diam-diam
Perjuangan terbuka dalam konflik
politik dapat ditemukan pada negara yang menganut faham demokrasi. Dimana dalam
demokrasi konflik politik bersifat resmi atau diakui, seperti dalam kampanye,
pemilu, demonstrasi dan di parlemen. Biasanya kelompok-kelompok yang bertarung
dalam konflik politik ini adalah organisasi politik yang legal seperti partai.
Bagi organisasi yang tidak
berorientasi kepada politis, mereka memiliki potensi untuk berupaya mengejar
tujuan-tujuan politiknya dengan cara yang ilegal. Karena sifanya ilegal, maka
perjuangannya dilakukan secara diam-diam. Fakta ini dapat dilihat dari
munculnya gerakan-gerakan bawah tanah yang berupaya untuk merebut kekuasaan.
c)
Pergolakan didalam rezim dan
perjuangan untuk mengontrol rezim
Perbedaan antara perjuangan
merebut rezim dan perjuangan di dalam rezim berhubungan dengan konsep legitimasi.
Konflik-konflik berada dalam kerangka pemerintah, bilamana mayoritas para warga
menganggap pemerintah tersebut legitimete, bilamana ada konsensus tentang hal
ini. Konflik tidak dapat ditampung di dalam kerangka pemerintah kecuali ada
konsensus tentang legitimasinya.
Apabila konsensus itu berantakan,
ketika hanya sebagain kelompok yang mengakui legitimasi pemerintah, maka
akan muncul perjuangan melawan rezim.
Akibatnya, perjuangan di dalam rezim dan perjuangan melawan rezim bukanlah strategi alternatif yang bisa dipilih seseorang dalam suatu suasana yang normal, tetapi dalam situasi tertentu. Bilamana konsensus politik secara mendalam terbagi, maka situasi revolusioner menghasilkan perjuangan melawan rezim.
Akibatnya, perjuangan di dalam rezim dan perjuangan melawan rezim bukanlah strategi alternatif yang bisa dipilih seseorang dalam suatu suasana yang normal, tetapi dalam situasi tertentu. Bilamana konsensus politik secara mendalam terbagi, maka situasi revolusioner menghasilkan perjuangan melawan rezim.
Perjuangan melawan suatu rezim
selalu berarti bahwa sebagian warga negara tidak menerima lembaga-lembaga yang
ada dan berjuang untuk menggantikannya dengan lembaga-lembaga lain.
d)
Strategi dua blok atau strategi
sentris
Perjuangan politik di dalam suatu
sistem dwi-partai berbeda dari perjuangan di dalam sistem multi-partai. Dalam
perjuangan sistem dwi partia mengambil bentuk duel, sedangkan dalam sistem
multi partai, sejumlah musuh saling berhadapan dan membentuk berbagai koalisi.
Perbedaan politik antara kiri dan kanan memungkinkan kita memperbandingkan
kedua situasi tersebut.
Golongan politik “kanan” memilih
sikap untuk menerima tatanan sosial yang ada dan mereka secara relatif puas
terhadap tatanan tersebut, yang akhinya mereka putuskan untuk
melanjutkannyas. Sedangkan golongan “kiri” tidak menyukai tatanan sosial yang
ada dan mau mengubahnya. Namun, pada kenyataannya, strategi dua blok adalah
bentuk sentrisme, karena setiap blok dipaksa untuk mengorientasikan politiknya
ke arah tengah.
e)
Kamuflase
Salah satu alat strategi yang
digunakan dalam setiap jenis rezim ialah kamuflase. Kamuflase merupakan upaya
untuk menyembunyikan tujuan-tujuan yang sebenarnya dan motif-motif aksi politik
yang sebenarnya di balik tujuan dan motif yang semu yang lebih populer,
dan karena itu, mengambil keuntungan dari dukungan rakyat yang lebih besar.
Alat ini dipakai oleh
individu-individu, partai-partai, dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam
perjuangannya untuk memenangkan atau mempengaruhi kekuasaan. Dia juga dipakai
oleh pemerintah untuk memperoleh kepatuhan dari para warga dan untuk
mengembangkan integrasi sosial dan politik yang nyata.
Kamuflase mempunyai beberapa bentuk diantranya ialah
Teknik kamuflase yang paling biasa adalah menutupi suatu tujuan yang kurang
terhormat di balik sesuatu yang lebih terhormat dalam hu-bungan dengan sistem
nilai dari suatu masyarakat tertentu.
Teknik lain dalam kamuflase adalah membuat kasak-kusuk
terhadap sebagian besar penduduk bahwa kepentingannya berada dalam ancaman,sedangkan
isu tersebut hanya menyangkut kepentingan pribadi dari sebuah minoritas yang
kecil.
Penyebab Terjadinya Konflik Politik
Pada dasarnya, penyebab konflik politik dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu (1) kemajemukan horizontal1[5]
dan (2) kemajemukan vertikal. Yang di maksud kemajemukan horizontal ialah
struktur masyarakat yang majemuk secara cultural seperti suku, bangsa, daerah,
agama dan ras serta majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan profesi
seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, tokoh agama.
Sementara itu kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang terpolarisasi
secara hierarkis (dalam ketidaksederajatan) yang didasarkan pada perbedaan
kekayaan, pendidikan, kekuasaan, kewenangan dan sebagainnya.
Yang di maksud dengan kemajemukan horizontal-soial
adalah kemajemukan yang di timbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik yang
didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama dan sebagainnya. Inilah penyebab
timbulnya suatu konflik karena masing-masing unsur ini mempunyai kepentingan
yang berbeda & bertentangan.
Misalnya, kelompok militer tertentu
mempunyai kepentingan yang berbeda dengan seorang kelompok wartawan-wartawan[6].
Sementara itu, dipihak lain para pengusaha sebagai pihak yang memberikan upah
selalu berusaha mempertahankan posisinya agar pengeluaran ongkos produksi yang
teralokasikan pada upah selalu berusaha agar tidak naik. Karena berimbas
pada makin rendahnya pendapatan
perusahaan.sedangkan kaum buruh meminta upah minium regional (UMR) kepada
pemerintah. Disinilah pihak pemerintah sebagai pihak yang menengarai konflik
dituntut untuk membuat kebijakan yang keterpihakan. Kebijakan itu memuaskan
kepada pihak-pihak yang berselisih.
Kemajemukan vertical dapat
menimbulkan konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki
kekayaan, pendidikan dan kekuasaan. Polarisasi masyarakat seperti ini
menimbulkan benih konflik. Konflik yang disebabkan kemajemukan vertical ini
akan meluas kalau sekelompok kecil masyarakat mendominasi ketiga sumber
kekuasaan itu sekaligus. Singkat, distribusi kekuasaan yang pincang adalah
penyebab utama timbulnya konflik politik.
C.
Resolusi Konflik
Resolusi
Konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunkan metode
resolusi konflik. Metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang
digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik bisa
dibagi dua [7]:
a.
Pengaturan
sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation)
b.
Melalui
intervensi pihak ketiga (third party intervention)
Berikut akan kami jabarkan secara ringkas tentang jenis-jenis
metode resolusi konflik sebagai berikut :
a.
Pengaturan
sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation)
Adapun pola interaksi konflik dalam upaya mencapai keluaran konflik
diantaranya :
·
Interaksi
konflik dengan keluaran yang diharapkan dapat mengalahkan lawan konflik (win
& lose solution)
·
Interaksi
konflik dengan tujuan menciptakan kolaborasi atau kompromi (win & win
solution)
·
Interaksi
konflik menghidar
·
Interakasi
konflik mengakomodasi (menyenangkan lawan dan mengorbankan diri sendiri)
Resolusi
Konflik self regulation dapat menggunakan dua pola[8] :
Ø Resolusi Konflik tanpa kekerasan
Resolusi ini tidak menggunakan kekerasan fisik, verbal maupun
non-verbal untuk mencapai resolusi konflik yang diharapkan. Akan tetapi, pola
ini seringkali menimbulkan luka psikologis walaupun mungkin dalam kadar
minimal.
Resolusi konflik tanpa kekerasan sangat bermanfaat digunakan jika
pihak membutuhkan antara satu dengan yang lain untuk mencapai tujuannya.
Ø Resolusi konflik dengan kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai perilaku pihak yang terlibat
konflik yang bisa melukai lawan konfliknya untuk memenangkan konflik.
Resolusi konflik dengan kekerasan biasanya digunakan setelah gagal
memenangkan konflik dengan berbagai teknik konflik lainnya.
b.
Melalui
intervensi pihak ketiga (third party intervention)
Pada Metode ini, adakalanya pihak ketiga sebagai pihak yang pasif
dan adakalanya sebagai pihak yang aktif. Adapun Model-model resolusi intervensi
pihak ketiga antara lain [9] :
·
Resolusi
Konflik melalui proses pengadilan
· Resolusi Konflik melalui proses atau pendekatan legislasi (pengeluaran
Undang-Undangan baru)
·
Resolusi
Konflik melalui proses administrasi (dilakukan oleh lembaga Negara, bukan
lembaga yudikatif)
·
Resolusi
Perselisihan Alternatif
Resolusi konflik melalui pihak ketiga yang bukan pengadilan dan
proses administrasi yang diselenggarakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif.
ADR terdiri dari mediasi (pihak ketiga sebagai fasilitator) dan arbitrase
(pihak ketiga memiliki wewenang memutuskan).
·
Rekonsiliasi
Mengembalikan
situasi sepenuhnya seperti sebelum konflik terjadi. hal ini disebabkan
ketidakpuasan ke dua belah pihak.
Menurut Johan Galtung ada tiga tahap
dalam penyelesaian konflik yaitu[10]
:
1. Peacekeeping
Adalah
proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer
yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.
Dalam hal
ini AS dan NATO melakukan intervensi militer dalam usahanya untuk menghentikan
konflik yang terjadi di Kosovo. Karena kepemimpinan AS yang efektif di NATO,
maka AS mengizinkan NATO untuk melakukan serangan ke Serbia dan memaksanya
keluar dari Kosovo. Kemudian AS menerapkan resolusi DK PBB Nomor 1244 Tahun
1999 yang menempatkan Kosovo di bawah mandat PBB.
2.
Peacemaking
Adalah proses
yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari
pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level
elit atau pimpinan.
Dikaitkan
dengan kasus ini pihak – pihak yang bersengketa dipertemukan guna mendapat
penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan pihak
ketiga sebagai penegah, akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mempunyai hak
untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak ketiga tersebut hanya menengahi
apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai yang sedang
berunding.
3.
Peacebuilding
Adalah
proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi
demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding
diharapkan negative peace (atau the absence of violence) berubah
menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan
social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
D.
Integrasi
politik
Setiap
Negara menghadapi masalah penciptaan identitas bersama untuk membentuk suatu
bangsa yang dirumuskan dalam system nilai yang di anut dan di hayati oleh suatu
masyarakat[11].
Syarat berdirinya suatu Negara baik secara de facto maupun secara de jure
dimana adanya wilayah yang didiami oleh warga Negara, system pemerintahan,
rakyat dan pengakuan dari Negara lain belum cukup di sebut Negara. Negara harus
mempunyai factor penunjang yaitu adanya system nilai yang memiliki kekuataan
menggerakkan warga Negara kearah mana tujuan Negara hendak di capai.
Oleh sebab itu, harus ada pola yang
menghubungkan antara emerintah dengan rakyat yang di perintah atas dasar system
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Kenyataan itulah yang harus disertakan
ketika Negara hendak mengintegrasikan seluruh komponen bangsanya, sedangkan
yang dimaksud integrasi politik suatu bangsa hal ini adalah penyatuan
masyarakat dalam system politik. Merujuk pada tulisan ramlan surbakti,
integrasi politik dibagi menjadi 4 jenis yaitu :
1. Integrasi
bangsa
Integrasi bangsa merupakan penyatuan berbagai
kelompok social budaya ke dalam satu kesatuan wilayah ke dalam suatu identitas
nasional.
Berbagai
suku, pengguna
bahasa, penganut adat & agama dan ideology yang berbeda perlu disatukan
dalam sebuah kesatuan yang utuh.
Dalam
hal ini, cliford geertz mengemukakan bahwa pada dasarnya ada lima pola
keragaman primordial dalam masyarakat majemuk yaitu :
1) Pola
kelompok dominan dan minoritas
2) Pola
kelompok sentral dengan beberapa kelompok menengah yang agak menentang
3) Pola
tidak ada kelompok dominan
4) Pola
kelompok budaya yang seimbang
5) Pola
berdasarkan pembagian etnik yang terdiri dari banyak kelompok kecil.
Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk yang jika mengikuti pendapat Geertz tergolong
kelompok sentral dengan beberapa kelompok menengah yang menetang yaitu jawa dan
luar jawa. Akan tetapi bahasa yang digunakan tidak memakai bahasa jawa
melainkan bahasa melayu. Indonesia menemph kebijakan yaitu penciptaan suatu
kebudayaan nasional yang disebut prinsip bhinneka
tunggal ika. Namun asumsi ini tidak benar karena lebih di dominasi oleh
kebudayaan jawa. Seperti simbol-simbol, lambang Negara, dan kebiasaaan politik
yang selalu memakai symbol jawa.
2. Integrasi
wilayah
Integrasi wilayah adalah pembentukan kewenangan
nasional terhadap wilayah atau daerah politik yang lebih kecil yang mungkin
berdasarkan kelompok social budaya tertentu. Salah satu problema yang di hadapi
oleh pemerintah dalam Negara-negara yang baru terbentuk adalah pembentukan
pemerintah pusat yang menguasai seluruh wilayah & penduduk yang ada dalam
batas wilayah tersebut.
Pengertian
Negara ditujukan pada adanya pusat kekuasaan yang menguasai wilayah-wilayah
yang menjadi batas wilayahnya, sedangkan
pengertian bangsa lebih menunjukkan pada kesamaan pada warga mendiami wilaah
Negara tersebut.
Jadi
integrasi wilayah suatu Negara erat kaitannya dengan pembinaan negara dan
integrasi bangsa berhubungan dengan pembinaan bangsa.
3. Integrasi
nilai
Integrasi
nilai dipahami sebagai persetujuan bersama mengenai tujuan & prinsip dasar
politik, prosedur pemecahan masalah bersama dan penyelesaian konflik pada
masyarakat itu sendiri. System nilai tersebut biasanya dirumuskan dalam
konstitusi Negara yang bersangkutan.
Misalnya Indonesia sebagai Negara yang mendasarkan
pada pancasila dan UUD 1945 maka dua dasar Negara tersebut menjadi dasar bagi
integritas nilai-nilai yang dirangkum dari keanekaragaman system nilai-nilai
yang dirangkum dari keanekaragaman system nilai dari berbagai daerah dan
masyarakat yang beragam itu. Oleh sebab itu kedua dasar ideologi konstitusional
tersebut dijadikan pijakan dalam setiap menentukan tujuan & dasar negara.
4.
Integrasi elite
Integrasi dengan khalayak adalah upaya untuk
menghubungkan antara kaum elite dengan khalayak atau rakyat yang diperintah.
Bentuk hubungan ini dipahami dalam artian pertautan antara sistem nilai yang
diusung oleh pemerintah itu sejalan atau tidak dengan kehendak masyarakat.
Sebab dasar dari pengaruh tersebut terdapat pada sumber-sumber pengaruh yang
dimiliki penguasa.
Kewenangan adalah bentuk kekuasaan penguasa kepada pihak
yang dikuasai. Inilah perbedaan pemerintahan negara jajahan dengan pemerintah
negara merdeka. Jika negara jajahan terdapat hubungan pemerintah dengan yang
diperintah namun bentuk kepatuhan rakyat yang diperintah tidak didasarkan
pada nilai yang disepakati bersama.
Sedangkan negara yang merdeka dianggap sebagai sistem
pemerintah yang lebih absah karena adanya kesepakatan nilai-nilai antara yang
memberi perintah dengan yang diperintah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
konflik adalah proses pertentangan yang
diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai
objek (penyabab) konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang
menghasilkan keluaran konflik (solusi).
Konflik mempunyai dua bentuk yaitu senjata-senjata
pertempuran diantaranya ialah senjata dalam bentuk kekerasan fisik, kekayaan, media dan organisasi. Bentuk kedua dari konflik yaitu strategi politik untuk
digunakan dalam berpolitik yang meliputi Konsentrasi atau penyebaran-penyebaran senjata
politik, Perjuangan terbuka atau perjuangan diam-diam, Pergolakan didalam rezim
dan perjuangan untuk mengontrol rezim dan lain sebagainya.
Sedangkan penyebab adanya konflik itu ssendiri karena
kemajemukan horisontal struktur masyarakat yang majemuk secara cultural serta
majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan profesi.
Adapun penyebab yang lain disebakan oleh kemajemukan vertikal yang memiliki arti kemajemukan yang di
timbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik yang didasarkan atas perbedaan
etnis, kultur, agama dan sebagainnya.
Resolusi
Konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunkan metode
resolusi konflik. Metode resolusi konflik bisa dibagi dua yakni Pengaturan
sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation) dan Melalui
intervensi pihak ketiga (third party intervention). Untuk mengatasi konflik politik ini dibutuhkan suatu
integrasi politik seperti persatuan tanpa melihat sebuah perbedaan
yang meliputi, bangsa, wilayah, nilai serta elite.
B.
Saran
Diharapkan
setelah pembeljaran ini, para akademika mampu menyempurnakan keilmuan yang
masih sederhana serta penuh kekurangan. Sehingga karya yang tidak layak
dipublikasikan ini bisa menjadi bidang keilmuan sosiologi-politik yang sempurna
dan bisa digunakan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan,
Yulius. Transformasi
dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi. 2007. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ritzer
, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2012. Jakarta :
Kencana
Setiadi,
Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. 2013. Jakarta :
Kencana
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik
Kontemporer. 2009. Jakarta : Kencana
Wirawan.
Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. 2010.
Jakarta : Salemba Humanika.
http://akunt.blogspot.com/2013/12/pengertian-konflik-sosial-menurut-para.html,
di akses tanggal 13 September 2014.
[1]
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan
Penelitian. (Jakarta : Salemba Humanika, 2010) hlm. 4
[2]
Pruit & Rubin, 2004 (dalam karya Novri Susan, M.A). Sosiologi Konflik
& Isu-Isu Konflik Kontemporer. (Jakarta : Kencana, 2009) cetakan 1
hlm.5
[3] http://akunt.blogspot.com/2013/12/pengertian-konflik-sosial-menurut-para.html,
di akses tanggal 13 September 2014.
[4]
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. (Jakarta :
Kencana, 2012) terjemah hlm. 170
[5] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. (Jakarta :
Kencana, 2013), hlm. 59
[6] Ibid,
hlm. 60
[7] Wirawan.
Op.cit. hlm, 177
[8] Wirawan.
Op.cit. hlm. 181
[9] Ibid.
hlm. 184
[10]
Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan
Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi
(Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007) hlm. 93
[11] Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.cit. hlm.77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar