Jumat, 13 Februari 2015

Lillahi ta'ala

Tulisan ini saya tulis berdasarkan keterangan dosen saya. Banyak yang salah kaprah tentang kalimat lillahi ta'ala. secara harfiyah, jika ditinjau dari segi bahasa Indonesia, kita ketahui bahwa makna dari lillahi ta'ala adalah "untuk Allah" bisa pula diartikan sebagai "karena Allah". Jika diartikan demikian, maka eksistensi Allah semakin dekat dengan sifat makhluk yang saling membutuhkan. Inilah yang sangat berbahaya untuk keimanan kita terhadap agama Islam. Agama Islam akan dicurigai sebagai agama yang sesat. Lalu bagaimanakah hakikat Lillahi Ta'ala  yang sesungguhnya? Disini saya akan sedikit menjelaskan sebisa mungkin dengan tetap merujuk pada penjelasan dosen saya. Hanya saja dengan bahasa saya sendiri.

Dalam bahasa Arab, Pencipta, Tuhan disebut "Rabb" dan yang dicipta disebut "Rububiyah" atau dalam bahasa kita biasa disebut makhluk. Yang disebut Makhluk, tidak hanya binatang, tumbuhan dan lain-lain yang berada di semesta Alam ini, namun juga termasuk manusia, jin, dan malaikat. Dalam eksistensi makhluk sebagai ciptaan dari Allah inilah, kemudian dalam setiap sholat, selalu diikuti dengan Lillahi Ta'ala yang pada hakikatnya terdapat kata Rububiyah sehingga akan berbunyi Li Rubuubiyatillahi Ta'ala. Dalam hal ini pada hakikatnya Rububiyah tak akan bisa bergerak tanpa adanya Rabb. Akan terlalu fana jika kita menyebutkan Li Rubuubiyatillahi Ta'ala pada setiap sholat kita, karena pada hakikatnya kita bukanlah kita. Kita bukanlah individu yang terpisah dari tuhan. Tapi kita selalu menyatu dengan tuhan. Sehingga saat kita menyebutkan diri kita, disana juga terdapat eksistensi Tuhan kita. Dengan demikian, maka bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya saat kita melakukan segala hal Lillahi Ta'ala, sesungguhnya perbuatan tersebut untuk kita pribadi bukan untuk tuhan kita. Karena tuhan telah memiliki segalanya, perbuatan kita tidak akan berpengaruh apapun pada tuhan. Lalu mengapa kata Rububiyah harus disembunyikan? cukup simpel sebenarnya, karena kita bukanlah kita. Kita adalah makhluk yang tak akan dapat melakukan apapun kecuali dengan kehendak-Nya. Terimakasih :)



1 komentar:

  1. Kalimat "kita bukanlah individu yang terpisah dari Tuhan. Tapi kita selalu menyatu dengan Tuhan." menurut saya justru lebih berbahaya daripada kalimat "karena Tuhan" atau "untuk Tuhan", karena,
    Sekalipun Tuhan teramat dekat dengan kita, melebihi denyut nadi kita sendiri, kita 'bukan'lah bagian dari Tuhan, Tuhan 'bukan'lah bagian dari kita. Tuhan memang bagian dari 'hidup' kita, dan kita adalah bagian dari 'penciptaan'Nya, tapi itu tidak menjadikan kita 'individu yang sama' dengan Tuhan. Kita berbeda, kita individu yg terpisah dengan Tuhan. Makna "karena Allah" memang tepat, dan "untuk Allah" tidaklah tepat, karena,
    Tuhan memang tidak butuh apa apa dari manusia, dari ciptaanNya, apa yang kita berikan adalah persembahan, perwujudan rasa syukur kita pada Tuhan, sehingga maknanya adalah "ikhlas kulakukan karena rasa syukurku pada Tuhan, terlepas dari apa yg Tuhan berikan atau tidak berikan, terlepas dari apapun keinginanku, terlepas dari segala pengharapan", dan memang bukan "kulakukan 'untuk' Tuhan, agar tertulis bahwa aku telah memberikan sesuatu pada Tuhanku, bahwa aku sadar yg kulakukan ini dicatat, dan aku memang kulakukan agar dicatat, itulah harapan dari usahaku 'untuk' Tuhan."
    Tapi saya setuju dengan makna kita melalukannya untuk kita sendiri,
    Segala sesuatu yg kita lakukan sebagai bentuk rasa syukur adalah tindakan yg tulus, tanpa pengharapan apapun. Baik itu pada manusia, alam, maupun Tuhan.
    Allahu'alam.

    BalasHapus