Minggu, 13 Desember 2015

Orang Tua Madrasah Utama

Seringkali mencintai sesuatu bahkan seseorang yang abstrak menjadi hal yang sangat sulit. Terutama bagi para remaja yang di sekitarnya telah dipertemukan dengan pasangan yang legal maupun illegal. Ilmu psikologi pun mengatakan bahwa pada usia remaja yakni antara umur 18-22 sangat membutuhkan lingkungan yang baik dikarenakan pada usia tersebut mereka sudah mulai mencari identitas yang tepat bagi dirinya. Menurut Piaget, pada usia tersebut, seseorang sudah mulai dapat berpikir sesuatu yang logis dan abstrak. Sehingga, usia inilah yang paling cocok untuk menanamkan kecintaan remaja pada sesuatu yang abstrak sehingga sehingga hal tersebut dapat menjadi identitas dari dirinya. Jenis cinta apakah itu? Cinta Allah.


Mari kita, sejenak meninggalkan permasalahan religious yang tadi saya sebutkan. Pada kenyataannya, seseorang pada usia remaja sedang mencari seseorang yang mampu mengenalkan dirinya kepada identitas yang sesuai dengan yang ia inginkan. Seseorang inilah yang mampu membuat dia nyaman, meski dia tidak mengetahui apakah itu kebenarannya. Hingga akhirnya mereka mau mengikat identitasnya dengan seseorang tersebut, menjadi mirip, bahkan menjadi seseorang yang diinginkan orang tersebut.
Masalah yang mendasar di Indonesia justru pada keluarga. Alangkah baik, jika keluarga menjadi lingkungan yang dibutuhkan para remaja tersebut untuk menemukan identitas. Namun pada kenyataannya, mereka malah meninggalkan mereka dan justru menganggap bahwa di usia tersebut mereka sudah dituntut untuk mandiri. Mandiri? Bisa dibayangkan bukan ketika seseorang masih belum mengerti bagaimana dia harus bersikap, dan orang yang tepat untuk memandunya malah meninggalkannya? Sehingga tidak menjadi hal yang mengherankan jika remaja saat ini mulai meninggalkan identitas baiknya. Seperti free sex, pacaran dll. Hal ini menjadi semakin parah ketika seorang anak sudah ingin terbebas dari keluarga dan memilih suka bergabung dengan teman-teman yang kebetulan dengan pikiran abstraknya mengatakan "aku adalah mereka." Tanpa tedeng agama maupun keilmuan.
Mencintai memang hak untuk setiap manusia. Namun cinta yang merujuk pada sang pemilik dunia, sang pemberi nafas, sang pemberi rahmat dan ni'mat lebih berhak dimiliki oleh setiap anak. Remaja mulai mampu memikirkan sesuatu yang abstrak seperti Allah, Malaikat, setan bahkan jodoh yang mereka harapkan kedepannya. Ketika orang tua mampu mendampingi mereka dengan baik di masa remajanya, maka saya yakin bahwa setiap remaja mampu menjadi 1 dari 10 remaja yang dimaksudkan bung Karno pada pidatonya "berikan aku 10 pemuda, maka akan aku goncang dunia."
Selain hal tersebut baik untuk masa depan negara, usaha tersebut juga mampu menjadi cikal bakal terbentuknya ulama' intellektual seperti masa Rasulullah.
Lihat saja kisah Ibnu Sina yang terkenal sebagai pencetus ilmu kedokteran. Pada umur beliau yang masih belia, beliau telah menghafalkan seluruh Al-Qur'an. Pernahkah kalian berpikir siapa back stage yang mampu menjadi tim suksesnya Ibnu Sina? Tentu orang tua beliaulah yang paling hebat karena telah memilihkan guru, sekolah, dan pondasi yang terbaik untuk anaknya. Sehingga anaknya mampu menjadi seseorang yang berkompeten, bukan hanya di Ilmu modern, Namun juga ilmu agama.
Banyak diantara filusuf, Ulama' yang menjadi sorotan dunia dikarenakan keilmuannya yang selalu sesuai dengan perkembangan dunia. Maka hendaknya tidak ada lagi alasan bagi orang tua untuk menghentikan pendidian anak, jika mereka tau betapa berharganya seorang anak yang dititipkan Allah kepada mereka. Mengetahui hak-hak yang seharusnya dimiliki setiap anak baik dalam urusan dunia, akhlaq, agama, dan akhirat. Wallahu A'lam bis Showaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar