Minggu, 02 Februari 2014

Belajar darimu

Hampir enam tahun kita tak bertemu. Sejak lulus dari sekolah dasar. Ah, masih terlalu anak-anak. Mungkin aku terlalu mendewakan masa lalu. Dan itulah aku. Meskipun, Beberapa tahun terakhir sebelum aku lulus dari pesantren, banyak lelaki  yang mendekatiku. Aku tetap memilih untuk acuh terhadapnya. Ini ujian keimanan terberat bagiku. Entahlah. Aku malah terjebak dengan orang-orang di masa laluku. Kau tau? Termasuk engkau.
 Aku selalu datang di setiap malam haflah di sekolah, meski tak ada lagi yang kukenal disana. Hanya guru-guru yang setia menjadi pengajar di sekolah itu yang kukenal. Aku tak mungkin memutuskan silaturrahmi antara aku dan guru-guru. Dan malam itu, malam yang tak pernah kusangka. Kau datang pula di tempat itu, di tempat kau dan aku bermain dulu. Sempat ingin menyapa, namun egoku lebih besar dari keinginanku. Ku putuskan tak menyapamu.
Aku mendapat nomermu dari fika. Kau ingat nama itu? nama seseorang yang pernah ada hubungan denganmu dan akulah yang menjadi pak pos yang selalu menyampaikan salammu untuknya. Di smsmu, selalu tertera namanya. Aku tersenyum. Aku senang saat aku bisa membantu teman-teman dalam segala masalah termasuk dalam masalah percintaan.
Malam itu, tak seperti biasa. Kau menanyakan kabarku, menanyakan keberhasilanku di pesantren, dan segala hal yang bersangkutan denganku. Mungkin kau merasa bosan dengan pembicaraan tentangnya. Namun, semakin lama semakin menjurus dan membawa hatiku jatuh dalam lautan cintamu yang berasaskan dakwah itu. Kau membawaku terjun ke dalam dunia dakwahmu dan aku mengikutimu. Termasuk menjadi seorang Haafidzul Qur’an. Aku senang kau mensupportku. Aku menyayangimu karena Allah dan aku tak ingin menodainya dengan dosa. Aku percayakan segalanya padamu. Aku yakin kaulah imam terbaik bagiku, meski aku ragu suatu saat kau pastilah bukan milikku. Aku pun tak ingin kau mengirimku sms, bahkan menelponku. Aku inginkan cinta yang benar-benar suci. Begitu indah saat itu. Apalagi saat kerinduan yang membuncah menyerang setelah seminggu tak memberikan kabar. Meski tak ada status diantara kita, pacaran atau teman. Bagiku status hubungan bukanlah hal yang penting. Aku memilih berteman denganmu.
Di tengah perjalanan cinta yang menurutmu berasaskan dakwah. Aku menemui diriku selalu kau khianati. Berulang kali aku berusaha menepis sikapmu. Namun, hati lainku mengatakan tak harus memutuskan silaturrahmi. Aku membalas smsmu. Sampai suatu hari, kau menuliskan kata romantic untukku. Aku terjatuh untuk kedua kalinya. Aku pun tak kuasa marah padamu, meski sebenarnya kau yang salah namun selalu aku yang terlihat salah. Yah, aku selalu mengalah padamu. Dan entahlah, aku selalu memaafkanmu.
Beberapa bulan setelah aku terjatuh kembali, kau ulangi kesalahanmu. Kau mulai merayu perempuan lain. Hatiku sakit. Aku sengaja tak memberi kabar padamu. Sesak hatiku. Bahkan untuk menangis pun aku tak kuasa. Aku tak ingin menangisi persoalan yang memang salahku sendiri. Aku tak ingin mengulanginya untuk kesekian kali. Bahkan aku tak membahas persoalan itu di smsmu. Aku hanya berharap kau jujur. Menanti kejujuranmu yang akan membuktikan seberapa cintamu padaku. Dan hasilnya? Nothing, kau sembunyikan segalanya dariku. Meski aku pun telah mengetahui segalanya.

Cukup lama tak ada kabar darimu, aku mencoba menghubungimu untuk sekedar bersialturrahmi yang pada saat itu bersamaan dengan ulang tahunmu. Send. Dan kau tak membalasnya, aku mencaci diriku, sebodoh itukah aku yang mencoba menyambung silaturrahmi dengan orang yang bahkan tak merasa kenal dengan diriku. Bahkan kau mengatakan kepada semua orang bahwa hubunganmu dan aku hanyalah sebuah kesalahpahaman dan tetap merayu perempuan itu. Hatiku semakin sakit. Aku menghibur hatiku sesering mungkin. Menghubungi teman-teman perempuanku yang lama tak kusapa. Apapun kulakukan untuk sekedar melupakanmu. Hingga akhirnya, aku pasrah pada keputusan tuhan. Kau tau? Aku kini bahagia meski tanpamu. Aku kini bahagia, tak ada penghiantan darimu lagi. Dan aku kini lebih yakin bahwa Allah mencoba mengingatkanku agar selalu mencintai-Nya. Terimakasih, karenamu aku merasakan sakitnya di khianati. Karenamu aku kini tau, tak ada hubungan cinta yang sempurna selain pernikahan. Dan aku pastikan, diriku tak akan jatuh ke dalam lubang yang sama, terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar