Malam
yang dingin ditemani sebuah laptop dihadapan saya dan headset yang selalu
menempel di telinga saya dengan tartil ala syaikh al-Ghomizi yang kini menjadi
lagu favorit saya sebagai senandungnya. Aktivitas ini kini rutin saya lakukan
sejak saya memasuki kampus. Entahlah, virus insomnia kini sering menyerang saat
saya sudah berada di jenjang perkuliahan. Banyaknya tugas mendukung saya untuk
selalu terjaga setiap malam. Dan kini virus itu justru terjadi pula saat saya
tak punya tugas.
Entahlah,
malam ini saya lebih memilih untuk membuat kopi-susu hangat untuk menemani
malam saya. Padahal sebelumnya saya sama sekali anti dengan minuman-minuman
yang mengandung unsur kopi bahkan sedikitpun. Suasana keheningan malam ini,
justru mendukung saya untuk mengingat pembicaraan tadi pagi dengan seorang
teman dari pesantren. Pembicaraan itu selalu mengingatkan saya akan sebuah
moment di pesantren. Sebuah momen kecil namun berkesan. Dan inilah kisah saya.
*****
Kegaduhan
kelas diniyah selalu mewarnai sore kami sebagai santri, termasuk mendendangkan
senandung nadhom yang menjadi khas santri pada umumnya. Ustadzah-Ustadzah kami
didominasi oleh para kakak kelas kami yang memang ahli dibidangnya
masing-masing. Jarak umur yang tak terlalu jauh dengan kami, membuat kami tak
segan-segan menyuarakan aspirasi kami. Semuanya berjalan normal tanpa hambatan
apapun. Saya masih ingat, saat itu saya berada pada posisi lebih senior dari
santri madrasah diniyah lainnya yaitu sebagai tamatan.
Seperti
biasa, malam minggu adalah hari yang selalu kami nantikan. Setelah letih dengan
kesibukan kami, pastilah menantikan hari minggu sebagai waktu istirahat kami.
Yah, meskipun malamnya kami tetap ada kegiatan dan minggu paginya masih ada
kegiatan senam dan les bahasa yang disebut Muhadatsah serta kerja bakti dan Istighosah,
kami tetap menyambut hari minggu dengan gembira.
Namun,
malam minggu itu di luar kebiasaan kami. Siang itu ketika shalat Dzuhur kami
diminta membawa segelas air ke masjid untuk membaca wirid-wirid yang bertujuan
untuk membentengi pesantren kami dari kekuatan jahat baik dari bangsa manusia
maupun di luar bangsa manusia. Wirid itu langsung dipimpin oleh pengasuh kami.
Kyai panutan kami, kyai yang tak mudah ditemukan dimanapun. Suara beliau yang
merdu mulai membawa kami pada kekhusyukan doa yang kami baca.
Setelah
kami membaca wirid, seperti biasanya beliau memberikan pencerahan-pencerahan
kepada kami untuk senantiasa mendekat pada tuhan dengan beberapa selingan humor
ala santri. Masih terekam diingatan saya, saat itu beliau membicarakan masalah
kematian yang pada saat itu memang berdekatan dengan moment maulid nabi yang
merupakan hari kelahiran sekaligus wafatnya beliau Nabi Muhammad SAW. Dengan
tawa khas beliau, beliau menutup mauidzah hasanah siang itu. Air yang kami bawa
tadi dikumpulkan di moci-moci besar.
*****
Minggu
itu, seperti biasa masih ada Muhadatsah sebelum senam pagi ala santri. Semua
santri sudah berkumpul di lapangan kecil milik pesantren kami untuk menonton
film singkat berbahasa arab. Saya yang pada saat itu sebagai pengurus bagian
bahasa, sibuk mengambil sound untuk santri-santri yang tak sabar melihat film
tersebut. Sebelum mengetuk pintu kamar ustadzah, saya sempat melihat kyai
keluar dari kediaman beliau. Wajah yang segar itu meraih sepeda motornya dan
melaju ke pesantren dua yang merupakan pesantren baru, tempat istighosah kami
setiap minggunya. Begitulah kyai kami, sebelum istighosah dimulai, beliau akan
terlebih dahulu mengecek tempatnya. Sudah layakkah untuk tempat beribadah guna
memberikan rasa nyaman kepada para jama’ah istighosah yang tidak hanya terdiri
dari santrinya, namun darimana pun.
Setelah
rangkaian kegiatan pagi kami usai, kami bersiap-siap menuju pesantren dua untuk
melaksanakan istighosah. Saya yang tinggal di kamar dekat perkampungan yang
hanya dibatasi dinding dan gerbang mendengar suara orang-orang mengucapkan
lafadz tahlil ala penggotongan mayit. Saya hanya menyangka, mungkin ada
seseorang yang meninggal di kampung itu. Saya menuruni tangga dengan beberapa
teman sebaya saya untuk menuju pesantren dua.
Di
tengah jalan, kami bertemu seorang alumni yang bekerja sebagai penjaga wartel
pesantren kami. Dengan wajah gugup, dan entahlah saya tak bisa mendefinisikan
ekspresi itu. Ia menghampiri kami dan berkata “Kembalilah! Kyai sudah tak ada”.
Kami yang tidak percaya, bukannya kembali malah tetap menuju TKP. Dan benar
Kyai telah tiada. Kami menangis sejadi-jadinya. Hari itu pesantren kami
menangis.
*****
Acara
maulid nabi tetap kami laksanakan di tengah masa berkabung itu. Tentunya
setelah acara tujuh harinya kyai. Tanpa diduga para ustadzah menunjuk tamatan
kami sebagai delegasi diba’iyyah. Benar-benar tanpa persiapan yang matang.
Hanya bermodal keahlian masing-masing kami mempersiapkannya. Kami cukup
mensyukuri karena hadrah tamatan kami adalah hadrah terbaik setiap periodenya,
meskipun sempat fakum satu tahun. Karena yah memang begitu hukumnya di
pesantren kami. Saat santri sudah menginjak kelas 3 SMA, santri akan difakumkan
dari kegiatan apapun termasuk organisasi. Kyai kami yang memberikan peraturan
itu. Tujuannya simple, agar kami bisa focus untuk UAN.
Bisa
menjadi delegasi Maulid Nabi pada masa tamatan adalah suatu penghormatan luar
biasa bagi kami. Karena bagaimana pun kami tak akan menemukan kelangkaan ini di
periode-periode sebelumnya. Kami tentunya mempersiapkan suatu strategi untuk
menguasai lokasi Maulid Nabi yaitu masjid kebanggaan kami dengan mendadak.
Dengan membagi beberapa teman kami lainnya untuk menjaga di belakang setiap
posisi kelas yang sudah ditentukan di dalam masjid.
Setelah
sholat isya’ acara di mulai. Seluruh santri pun berkumpul di Masjid sesuai
denah kelas yang ditentukan. Berharap semua berhasil tentunya. Para pembaca
rowi memasuki masjid setelah MC mempersilahkan. Grup Hadrah kami pun mengikuti
di belakang pembaca rowi. Kami memulainya. Dan sempurna. Seluruh santri diam,
khusyuk. Selama enam tahun saya berulang kali mengikuti acara diba’iyah, namun
kali ini benar-benar amazing. Mungkin karena terbawa suasana berkabung, atau
mengantuk, saya pun tak mengerti. Kami benar-benar menghayati suasana maulid
nabi malam itu. Yang lebih mengesankan kami adalah saat diba’iyah berlangsung,
tercium bau sangat wangi. Entah dari mana sumbernya. Kami mempercayai bahwa
Nabi datang dalam majelis kami malam itu. Bukankah Nabi akan mendatangi suatu
majelis saat jama’ahnya benar-benar menghayati maknanya. Dan kebenaran itu kini
terjadi.
*****
Lamunan saya buyar seketika saat Ibu
terbangun dari tidurnya dan melihat saya masih terjaga. Indah saat saya kembali
mengenang moment itu. Bahkan untuk mengenangnya saja, saya merasakan
kebahagiaan teramat sangat. Ingin rasanya mengulang kembali sesuatu yang kini
tak pernah saya dapatkan di luar. Di kehidupan bebas. Juga dalam suasana Maulid
Nabi tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar