Selasa, 21 Januari 2014

Keajaiban di balik Duka Maulid Nabi

Malam yang dingin ditemani sebuah laptop dihadapan saya dan headset yang selalu menempel di telinga saya dengan tartil ala syaikh al-Ghomizi yang kini menjadi lagu favorit saya sebagai senandungnya. Aktivitas ini kini rutin saya lakukan sejak saya memasuki kampus. Entahlah, virus insomnia kini sering menyerang saat saya sudah berada di jenjang perkuliahan. Banyaknya tugas mendukung saya untuk selalu terjaga setiap malam. Dan kini virus itu justru terjadi pula saat saya tak punya tugas.
Entahlah, malam ini saya lebih memilih untuk membuat kopi-susu hangat untuk menemani malam saya. Padahal sebelumnya saya sama sekali anti dengan minuman-minuman yang mengandung unsur kopi bahkan sedikitpun. Suasana keheningan malam ini, justru mendukung saya untuk mengingat pembicaraan tadi pagi dengan seorang teman dari pesantren. Pembicaraan itu selalu mengingatkan saya akan sebuah moment di pesantren. Sebuah momen kecil namun berkesan. Dan inilah kisah saya.
*****
Kegaduhan kelas diniyah selalu mewarnai sore kami sebagai santri, termasuk mendendangkan senandung nadhom yang menjadi khas santri pada umumnya. Ustadzah-Ustadzah kami didominasi oleh para kakak kelas kami yang memang ahli dibidangnya masing-masing. Jarak umur yang tak terlalu jauh dengan kami, membuat kami tak segan-segan menyuarakan aspirasi kami. Semuanya berjalan normal tanpa hambatan apapun. Saya masih ingat, saat itu saya berada pada posisi lebih senior dari santri madrasah diniyah lainnya yaitu sebagai tamatan.
Seperti biasa, malam minggu adalah hari yang selalu kami nantikan. Setelah letih dengan kesibukan kami, pastilah menantikan hari minggu sebagai waktu istirahat kami. Yah, meskipun malamnya kami tetap ada kegiatan dan minggu paginya masih ada kegiatan senam dan les bahasa yang disebut Muhadatsah serta kerja bakti dan Istighosah, kami tetap menyambut hari minggu dengan gembira.
Namun, malam minggu itu di luar kebiasaan kami. Siang itu ketika shalat Dzuhur kami diminta membawa segelas air ke masjid untuk membaca wirid-wirid yang bertujuan untuk membentengi pesantren kami dari kekuatan jahat baik dari bangsa manusia maupun di luar bangsa manusia. Wirid itu langsung dipimpin oleh pengasuh kami. Kyai panutan kami, kyai yang tak mudah ditemukan dimanapun. Suara beliau yang merdu mulai membawa kami pada kekhusyukan doa yang kami baca.
Setelah kami membaca wirid, seperti biasanya beliau memberikan pencerahan-pencerahan kepada kami untuk senantiasa mendekat pada tuhan dengan beberapa selingan humor ala santri. Masih terekam diingatan saya, saat itu beliau membicarakan masalah kematian yang pada saat itu memang berdekatan dengan moment maulid nabi yang merupakan hari kelahiran sekaligus wafatnya beliau Nabi Muhammad SAW. Dengan tawa khas beliau, beliau menutup mauidzah hasanah siang itu. Air yang kami bawa tadi dikumpulkan di moci-moci besar.
*****
Minggu itu, seperti biasa masih ada Muhadatsah sebelum senam pagi ala santri. Semua santri sudah berkumpul di lapangan kecil milik pesantren kami untuk menonton film singkat berbahasa arab. Saya yang pada saat itu sebagai pengurus bagian bahasa, sibuk mengambil sound untuk santri-santri yang tak sabar melihat film tersebut. Sebelum mengetuk pintu kamar ustadzah, saya sempat melihat kyai keluar dari kediaman beliau. Wajah yang segar itu meraih sepeda motornya dan melaju ke pesantren dua yang merupakan pesantren baru, tempat istighosah kami setiap minggunya. Begitulah kyai kami, sebelum istighosah dimulai, beliau akan terlebih dahulu mengecek tempatnya. Sudah layakkah untuk tempat beribadah guna memberikan rasa nyaman kepada para jama’ah istighosah yang tidak hanya terdiri dari santrinya, namun darimana pun.
Setelah rangkaian kegiatan pagi kami usai, kami bersiap-siap menuju pesantren dua untuk melaksanakan istighosah. Saya yang tinggal di kamar dekat perkampungan yang hanya dibatasi dinding dan gerbang mendengar suara orang-orang mengucapkan lafadz tahlil ala penggotongan mayit. Saya hanya menyangka, mungkin ada seseorang yang meninggal di kampung itu. Saya menuruni tangga dengan beberapa teman sebaya saya untuk menuju pesantren dua.
Di tengah jalan, kami bertemu seorang alumni yang bekerja sebagai penjaga wartel pesantren kami. Dengan wajah gugup, dan entahlah saya tak bisa mendefinisikan ekspresi itu. Ia menghampiri kami dan berkata “Kembalilah! Kyai sudah tak ada”. Kami yang tidak percaya, bukannya kembali malah tetap menuju TKP. Dan benar Kyai telah tiada. Kami menangis sejadi-jadinya. Hari itu pesantren kami menangis.
*****
Acara maulid nabi tetap kami laksanakan di tengah masa berkabung itu. Tentunya setelah acara tujuh harinya kyai. Tanpa diduga para ustadzah menunjuk tamatan kami sebagai delegasi diba’iyyah. Benar-benar tanpa persiapan yang matang. Hanya bermodal keahlian masing-masing kami mempersiapkannya. Kami cukup mensyukuri karena hadrah tamatan kami adalah hadrah terbaik setiap periodenya, meskipun sempat fakum satu tahun. Karena yah memang begitu hukumnya di pesantren kami. Saat santri sudah menginjak kelas 3 SMA, santri akan difakumkan dari kegiatan apapun termasuk organisasi. Kyai kami yang memberikan peraturan itu. Tujuannya simple, agar kami bisa focus untuk UAN.
Bisa menjadi delegasi Maulid Nabi pada masa tamatan adalah suatu penghormatan luar biasa bagi kami. Karena bagaimana pun kami tak akan menemukan kelangkaan ini di periode-periode sebelumnya. Kami tentunya mempersiapkan suatu strategi untuk menguasai lokasi Maulid Nabi yaitu masjid kebanggaan kami dengan mendadak. Dengan membagi beberapa teman kami lainnya untuk menjaga di belakang setiap posisi kelas yang sudah ditentukan di dalam masjid.
Setelah sholat isya’ acara di mulai. Seluruh santri pun berkumpul di Masjid sesuai denah kelas yang ditentukan. Berharap semua berhasil tentunya. Para pembaca rowi memasuki masjid setelah MC mempersilahkan. Grup Hadrah kami pun mengikuti di belakang pembaca rowi. Kami memulainya. Dan sempurna. Seluruh santri diam, khusyuk. Selama enam tahun saya berulang kali mengikuti acara diba’iyah, namun kali ini benar-benar amazing. Mungkin karena terbawa suasana berkabung, atau mengantuk, saya pun tak mengerti. Kami benar-benar menghayati suasana maulid nabi malam itu. Yang lebih mengesankan kami adalah saat diba’iyah berlangsung, tercium bau sangat wangi. Entah dari mana sumbernya. Kami mempercayai bahwa Nabi datang dalam majelis kami malam itu. Bukankah Nabi akan mendatangi suatu majelis saat jama’ahnya benar-benar menghayati maknanya. Dan kebenaran itu kini terjadi.
*****

            Lamunan saya buyar seketika saat Ibu terbangun dari tidurnya dan melihat saya masih terjaga. Indah saat saya kembali mengenang moment itu. Bahkan untuk mengenangnya saja, saya merasakan kebahagiaan teramat sangat. Ingin rasanya mengulang kembali sesuatu yang kini tak pernah saya dapatkan di luar. Di kehidupan bebas. Juga dalam suasana Maulid Nabi tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar