Satu realitas lagi yang mampu membuat saya yakin
bahwa Allah selalu adil. Kemarin, saat saya facebook-an, iseng-iseng saya komen
di status tetangga RT sekaligus saudara yang lagi galau sama gebetannya.
Sebelumnya biar gak bingung saya kasi kode si A itu saudara saya. Nah yang
ingin saya ceritakan disini bukan si A tapi si B. si B ini tetangganya si A
yang saya sendiri baru tau kalo dia tetangga saya, nama facebooknya pun saya
baru tau kemarin saat dia ikut nimbrung dalam obrolan saya dan si A di status si
A. Entah ada setan apa tiba-tiba si B nge-add saya. Kontan saya mengkonfrimnya.
Seketika itu juga dia nge-chat saya. Saat itulah saya mengerti kalau dia
tetangga si A. Si B mengatakan pada saya bahwa ia pernah bertemu saya di
Kampus. Sudah pasti dia anak kuliahan, saya pikir.
Maklum
saja, daerah kami memang area industrialisasi yang lebih memilih kerja daripada
pendidikan. Ya meskipun gajinya di bawah rata-rata pendapatan pegawai negri,
mereka lebih memilih menjadi pegawai pabrik-an tanpa berusaha memapankan diri
untuk mendapatkan pendapatan lebih. Saya sebagai mahasiswa yang kini mengetahui
pentingnya pendidikan merasa simpati dengan keadaan ini. Jadi tak heran jika
saya cukup kagum jika di daerah saya ada yang memilih kuliah sebagai pilihan setelah jenjang sekolah SMA.
Saya
kembali mengingat lokasi daerah RT terakhir tersebut yang merupakan perbatasan
antara desa saya dengan desa baru yang didominasi oleh korban Lapindo. Di RT
itu jarang sekali rumah, otomatis saya pun mudah mengingat siapa yang berada
disana. Dan anehnya, yang saya tangkap dalam pikiran saya adalah sepasang
suami-istri yang hanya berpenghasilan dari berjualan mainan anak-anak. Yah, itu
adalah bapak dan ibunya. Untuk meyakinkan itu, saya bertanya pada ibu saya dan
memang benar. Adek si B sekarang masih nyantren di Gontor yang biayanya pun
pasti di atas rata-rata pesantren lainnya. Mengingat Gontor adalah pesantren
yang modern dan terkenal bagus. Si B pun kini sudah lulus kuliah.
Saya
sangat kagum dengan realitas ini. Coba renungkan. Dengan penghasilan yang minim,
beliau berdua mampu menyekolahkan putra-putrinya ke sekolahan yang layak. Saya
yakin, hanya orang tua yang hebat, yang bisa melakukan hal itu. Mungkin biasa
bagi kalian, namun luar biasa bagi saya mengingat sedikit sekali orang yang
mementingkan pendidikan di tengah jaman
Kapitalis ini. Semua berpikir hartalah yang terpenting. Apalagi untuk kalangan
seperti mereka yang berpenghasilan minim. Namun, orangtua ini luar biasa.
Saya jadi teringat
perkataan ustad saya saat saya masih di pesantren “saat seorang anak sudah
mengetahui mana yang salah dan mana yang benar (Baligh) saat itulah tanggung
jawab orang tua sudah mencapai garis finish. Namun saat orang tua rela
memberikan tetesan keringatnya untuk sang anak, itu bukan kewajiban, tapi
shodaqoh.” Dari perkataan ini kemudian saya kombinasikan dengan keterangan-keterangan
ustad saya yang lain bahwa “barang siapa yang bershodaqoh, maka akan dibalas
sepuluh kali lipat oleh Allah.” Dan saya kini yakin bahwa Allah tak pernah
luput dari janjinya dan Allah selalu adil pada hambanya yang berusaha. Allah
selalu melihat proses, bukan hasil. Hasil yang banyak, tak selalu menjamin
keberkahan suatu harta. Proses yang baik selalu memberikan keberkahan bagi
hamba-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar