Senin, 20 Januari 2014

Belajar dari Tetangga

Satu realitas lagi yang mampu membuat saya yakin bahwa Allah selalu adil. Kemarin, saat saya facebook-an, iseng-iseng saya komen di status tetangga RT sekaligus saudara yang lagi galau sama gebetannya. Sebelumnya biar gak bingung saya kasi kode si A itu saudara saya. Nah yang ingin saya ceritakan disini bukan si A tapi si B. si B ini tetangganya si A yang saya sendiri baru tau kalo dia tetangga saya, nama facebooknya pun saya baru tau kemarin saat dia ikut nimbrung dalam obrolan saya dan si A di status si A. Entah ada setan apa tiba-tiba si B nge-add saya. Kontan saya mengkonfrimnya. Seketika itu juga dia nge-chat saya. Saat itulah saya mengerti kalau dia tetangga si A. Si B mengatakan pada saya bahwa ia pernah bertemu saya di Kampus. Sudah pasti dia anak kuliahan, saya pikir.
            Maklum saja, daerah kami memang area industrialisasi yang lebih memilih kerja daripada pendidikan. Ya meskipun gajinya di bawah rata-rata pendapatan pegawai negri, mereka lebih memilih menjadi pegawai pabrik-an tanpa berusaha memapankan diri untuk mendapatkan pendapatan lebih. Saya sebagai mahasiswa yang kini mengetahui pentingnya pendidikan merasa simpati dengan keadaan ini. Jadi tak heran jika saya cukup kagum jika di daerah saya ada yang memilih kuliah sebagai  pilihan setelah jenjang sekolah SMA.
            Saya kembali mengingat lokasi daerah RT terakhir tersebut yang merupakan perbatasan antara desa saya dengan desa baru yang didominasi oleh korban Lapindo. Di RT itu jarang sekali rumah, otomatis saya pun mudah mengingat siapa yang berada disana. Dan anehnya, yang saya tangkap dalam pikiran saya adalah sepasang suami-istri yang hanya berpenghasilan dari berjualan mainan anak-anak. Yah, itu adalah bapak dan ibunya. Untuk meyakinkan itu, saya bertanya pada ibu saya dan memang benar. Adek si B sekarang masih nyantren di Gontor yang biayanya pun pasti di atas rata-rata pesantren lainnya. Mengingat Gontor adalah pesantren yang modern dan terkenal bagus. Si B pun kini sudah lulus kuliah.
            Saya sangat kagum dengan realitas ini. Coba renungkan. Dengan penghasilan yang minim, beliau berdua mampu menyekolahkan putra-putrinya ke sekolahan yang layak. Saya yakin, hanya orang tua yang hebat, yang bisa melakukan hal itu. Mungkin biasa bagi kalian, namun luar biasa bagi saya mengingat sedikit sekali orang yang mementingkan pendidikan di  tengah jaman Kapitalis ini. Semua berpikir hartalah yang terpenting. Apalagi untuk kalangan seperti mereka yang berpenghasilan minim. Namun, orangtua ini luar biasa.  

Saya jadi teringat perkataan ustad saya saat saya masih di pesantren “saat seorang anak sudah mengetahui mana yang salah dan mana yang benar (Baligh) saat itulah tanggung jawab orang tua sudah mencapai garis finish. Namun saat orang tua rela memberikan tetesan keringatnya untuk sang anak, itu bukan kewajiban, tapi shodaqoh.” Dari perkataan ini kemudian saya kombinasikan dengan keterangan-keterangan ustad saya yang lain bahwa “barang siapa yang bershodaqoh, maka akan dibalas sepuluh kali lipat oleh Allah.” Dan saya kini yakin bahwa Allah tak pernah luput dari janjinya dan Allah selalu adil pada hambanya yang berusaha. Allah selalu melihat proses, bukan hasil. Hasil yang banyak, tak selalu menjamin keberkahan suatu harta. Proses yang baik selalu memberikan keberkahan bagi hamba-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar