Sabtu, 18 Januari 2014

Budaya Agama Vs Keberagaman Agama dan Teknologi

Hari-Hari besar, bukan hanya sebagai warna dalam kalender masehi, atau bukan hanya hari bahagia karena mungkin rata-rata sekolah diliburkan. Namun, dibalik hari besar tersebut, pastilah tersimpan sebuah sejarah yang berharga bagi setiap umat penganutnya sehingga dengan meliburkan setiap sekolah pada hari besar tersebut diharapkan masyarakat lebih bisa menghayati hakikat sejarah yang ada di balik hari besar tersebut. selain itu hari besar juga menjadi identitas dan budaya agama tertentu.
            Kita mencoba menyorot terhadap Indonesia yang lebih mudah dikaji. Indonesia didominasi oleh umat muslim meskipun bukan negara yang menganut hukum Islam. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan adanya penganut agama-agama lain yang turut memberikan kontribusi bagi Indonesia. hal ini tidak menutup kemungkinan banyaknya budaya-budaya barat yang turut masuk di Indonesia mengingat Indonesia pun pernah dijajah oleh bangsa barat. Hal tersebut mungkin bagus untuk kemajuan Indonesia dalam bidang teknologi ataupun sains. Namun buruknya, moral barat yang cenderung bebas itulah yang mengikis perlahan budaya Indonesia.
            Jika kita bercermin pada Indonesia jaman tradisional yang lebih memegang budaya, mereka menghormati perbedaan agama selama tidak mengubah budaya. Namun, adanya modernisasi yang menjadi awal perubahan budaya asli masyarakat Indonesia, menjadi tonggak keberhasilan hancurnya moral masyarakat Indonesia yang masih awam dengan budaya barat. Bodohnya, Indonesia secara buta menerima teknologi-teknologi dari masa modernisasi tanpa disaring terlebih dahulu. Ibarat makan daging yang kita tak tau beracun atau tidak. Banyaknya akses yang dijanjikan teknologi dari masa modernisasi justru membuat masyarakat Indonesia terlena dengan perkembangannya. Moral mulai terkikis seiring semakin banyaknya para sesepuh yang mulai hilang diterjang umur.
            Agama Islam yang menjadi agama dominasi di Indonesia pun mulai berubah sebagai pengaruh dari teknologi yang tidak tersaring dengan baik. Sebagai contoh pada awal tahun 2014 kemarin, tetangga-tetangga saya rela tidak tidur hingga keesokan harinya, rela membuang-buang hasil keringatnya dengan membeli kembang api, masak-masak dan sebagainya. Lalu fenomena ini saya bandingkan dengan suasana dalam menyambut tahun baru Muharram 1435 H kemarin, yang saya rasakan sebagai umat Islam sama sekali tidak dapat menghayati datangnya hari penting tersebut. tak ada yang istimewa. Masyarakat Islam sekitar pun tak mendukung. Hal ini menunjukkan hilangnya identitas pribadi suatu umat beragama. Bukan menghormati perbedaan agama, namun cenderung lebih menyerupai agama yang lain.
            Belakangan saya temukan jawabannya saat melihat sebuah tayangan ceramah pagi hari di Televisi. Seorang penceramah mengatakan bahwa kebobrokan moral para penganut agama tertentu disebabkan oleh ketidakpahamannya akan kaidah-kaidah agama yang berlaku dalam agamanya sendiri. Jawaban ini cukup memuaskan hati saya. Saat itulah saya baru tersadar bahwa semua kebobrokan moral di Indonesia tak lain disebabkan oleh generasi seperti kita yang lebih memahami agama, lebih memilih diam dan cenderung tak ingin mengambil resiko. Ternyata saat kita memikirkan hal disekitar kita secara detail, kita akan menemukan diri kita tak pernah sempurna. Tak semuanya salah orang lain. Dan seringkali kita yang justru menjadi tersangka. Jadi selayaknya kita sebagai generasi umat yang beragama meluruskan kembali bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan untuk menghormatinya bukan menyerupainya.

            Nabi Muhammad pernah bersabda “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia sebagian dari mereka”. Karena itu, kita sebagai generasi yang senantiasa menimba ilmu hendaknya dapat memisahkan antara budaya agama satu dengan yang lain, menjadi contoh bagi masyarakat lain dalam bertingkah-laku sehingga tujuan Allah untuk menciptakan manusia terwujud yakni sebagai Khalifah di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar