Hari-Hari besar, bukan hanya sebagai warna dalam
kalender masehi, atau bukan hanya hari bahagia karena mungkin rata-rata sekolah
diliburkan. Namun, dibalik hari besar tersebut, pastilah tersimpan sebuah
sejarah yang berharga bagi setiap umat penganutnya sehingga dengan meliburkan
setiap sekolah pada hari besar tersebut diharapkan masyarakat lebih bisa
menghayati hakikat sejarah yang ada di balik hari besar tersebut. selain itu
hari besar juga menjadi identitas dan budaya agama tertentu.
Kita
mencoba menyorot terhadap Indonesia yang lebih mudah dikaji. Indonesia didominasi
oleh umat muslim meskipun bukan negara yang menganut hukum Islam. Meski
demikian, tidak menutup kemungkinan adanya penganut agama-agama lain yang turut
memberikan kontribusi bagi Indonesia. hal ini tidak menutup kemungkinan
banyaknya budaya-budaya barat yang turut masuk di Indonesia mengingat Indonesia
pun pernah dijajah oleh bangsa barat. Hal tersebut mungkin bagus untuk kemajuan
Indonesia dalam bidang teknologi ataupun sains. Namun buruknya, moral barat
yang cenderung bebas itulah yang mengikis perlahan budaya Indonesia.
Jika
kita bercermin pada Indonesia jaman tradisional yang lebih memegang budaya,
mereka menghormati perbedaan agama selama tidak mengubah budaya. Namun, adanya
modernisasi yang menjadi awal perubahan budaya asli masyarakat Indonesia,
menjadi tonggak keberhasilan hancurnya moral masyarakat Indonesia yang masih
awam dengan budaya barat. Bodohnya, Indonesia secara buta menerima
teknologi-teknologi dari masa modernisasi tanpa disaring terlebih dahulu.
Ibarat makan daging yang kita tak tau beracun atau tidak. Banyaknya akses yang
dijanjikan teknologi dari masa modernisasi justru membuat masyarakat Indonesia terlena
dengan perkembangannya. Moral mulai terkikis seiring semakin banyaknya para
sesepuh yang mulai hilang diterjang umur.
Agama
Islam yang menjadi agama dominasi di Indonesia pun mulai berubah sebagai
pengaruh dari teknologi yang tidak tersaring dengan baik. Sebagai contoh pada
awal tahun 2014 kemarin, tetangga-tetangga saya rela tidak tidur hingga
keesokan harinya, rela membuang-buang hasil keringatnya dengan membeli kembang
api, masak-masak dan sebagainya. Lalu fenomena ini saya bandingkan dengan suasana
dalam menyambut tahun baru Muharram 1435 H kemarin, yang saya rasakan sebagai
umat Islam sama sekali tidak dapat menghayati datangnya hari penting tersebut.
tak ada yang istimewa. Masyarakat Islam sekitar pun tak mendukung. Hal ini
menunjukkan hilangnya identitas pribadi suatu umat beragama. Bukan menghormati
perbedaan agama, namun cenderung lebih menyerupai agama yang lain.
Belakangan
saya temukan jawabannya saat melihat sebuah tayangan ceramah pagi hari di
Televisi. Seorang penceramah mengatakan bahwa kebobrokan moral para penganut
agama tertentu disebabkan oleh ketidakpahamannya akan kaidah-kaidah agama yang
berlaku dalam agamanya sendiri. Jawaban ini cukup memuaskan hati saya. Saat
itulah saya baru tersadar bahwa semua kebobrokan moral di Indonesia tak lain disebabkan
oleh generasi seperti kita yang lebih memahami agama, lebih memilih diam dan
cenderung tak ingin mengambil resiko. Ternyata saat kita memikirkan hal
disekitar kita secara detail, kita akan menemukan diri kita tak pernah
sempurna. Tak semuanya salah orang lain. Dan seringkali kita yang justru
menjadi tersangka. Jadi selayaknya kita sebagai generasi umat yang beragama
meluruskan kembali bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan untuk
menghormatinya bukan menyerupainya.
Nabi
Muhammad pernah bersabda “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia sebagian
dari mereka”. Karena itu, kita sebagai generasi yang senantiasa menimba ilmu
hendaknya dapat memisahkan antara budaya agama satu dengan yang lain, menjadi
contoh bagi masyarakat lain dalam bertingkah-laku sehingga tujuan Allah untuk
menciptakan manusia terwujud yakni sebagai Khalifah di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar