Sabtu, 13 Desember 2014

Otonomi Daerah



A.    Arti Otonomi Daerah
            Istilah Otonomi Daerah berasal dari Yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi daerah dapat di arttikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat ;1985).
            Beberapa pendapat para ahli yang dikutip oleh abdulrahman (1997),mengemukakan bahwa:
1.      F.Sugeng Istianto mengartikan tonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.
2.      Ateng Syarifuddin mengemukakan bahwa otonomi daerah mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemedekaan.Kebebesan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dpertanggung jawabkan.
3.      Syarif Sholeh berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah itu sendiri.hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.

Dengan Otonomi Daerah tersebut menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri,mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusanya sepanjang sanggup untuk melakukanya dan penekananya lebeih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas ,sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan utuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebaih tinggi.
Terlepas dari hal itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai 3 aspek, yaitu:
1.      Aspek Hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.      Aspek kewajiban untuk menetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3.      Aspek kemandirian dalam pengelolahan keungan baik dari biaya sebagai perlimbahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi daerah dalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiayaan serta perangkat pelaksanaanya. Sedangkan kewajiban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijakan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian,bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomer 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu:
1.      Berisiniatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijakan sendiri.
2.      Membuat peraturan sendiri(PERDA)beserta peraturan pelaksanaanya.
3.      Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4.      Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarana.
B.     Sejarah Otoda di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang 3 tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 2 jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan minculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsi yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang 25 tahun, dan baru diganti dengan undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.
Kehadiran undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam undang-undang nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekosentrasi, sedangkan desentralisasi dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebh cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekosentrasi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di daerah yang memilihnya.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Asas –Asas  Otonomi Daerah
1.      Asas Sentralisasi
Negara kesatuan  yang segala sesuatunya langsung diatur dan di urus oleh pemerintah pusat sendiri termasuk menyangkut kekuasaan pemerintah daerah/tidak melakukan pembagian tugas, Keuntungan asas ini adalah 1)dapat menghemat biaya 2)adanya peraturan, kesatuan kemajuan yang merata,tetapi kelemahanya adalah demokrasi terhambat dan daerah tidak diberi tanggung jawab mengurus rumah tangganya sendiri
2.      Asas Desentralisasi
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi dalam ramgka NKRI di tingkat kabupaten/kota.dengan demikian ,wawasan dan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab  daerah baik mengenai prasarana dan sarananya sumber daya manusia serta pembiyaanya.Menurut UU No,22 Taun 1999.
Pertimbangan asas desentralisasikarena pemerintah pusat lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi ,peran serta masyarakatnya ,pemertaan dan keadilan memperhatikan potensi dan keaneragaman daerah.
3.      Asas Dekonsentrasi
Asas yang menyatakan pelimbahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah/kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabatnyadi daerahnya di tingkat provinsi
4.      Asas tugas pembantuan
Asas yang menyatakantugas turut serta dalampelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkanya kepada yang memberi tugas. Contoh pembayaran pajak di desa dan daerah.
Perangkat Otonomi daerah
·         Pemerintah Daerah
·         Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD)
·         Lembaga teknis daerah
·         Dinas Daerah
·         Wakil kepala daerah
·         Sekretariat Daerah
C.    Konsep dan Prinsip-Prinsip Otoda
Konsep otoda
1.      Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2.      Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3.      Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4.      Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5.      Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
6.      Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7.      Pemberian keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
Prinsip-prinsip otoda
1.       Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keaneragaman daerah.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas,nyata,dan bertanggung jawab.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstituasi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.      Pelaksaan otonomi daerah harus lebih meningkat kan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi .Demikian pula dikawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain,seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri kawasan perkebunan dll.
6.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7.      Pelaksanaan asa dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dan kedudukanya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan pada gurbenur sebagai wakil pemerintah.
8.      Pelaksaan asas tugas pembantuan dimungkinkan ,tidak hanya dari pemerintah kepada daerah , tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepala desa yang disertai dengan pembiyaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar