A.
Arti Otonomi Daerah
Istilah Otonomi
Daerah berasal dari Yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti
undang-undang atau aturan. Dengan
demikian otonomi daerah dapat di arttikan kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat ;1985).
Beberapa pendapat
para ahli yang dikutip oleh abdulrahman (1997),mengemukakan bahwa:
1.
F.Sugeng Istianto mengartikan tonomi daerah sebagai hak dan
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.
2.
Ateng Syarifuddin mengemukakan bahwa otonomi daerah mempunyai makna
kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemedekaan.Kebebesan yang terbatas atau
kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dpertanggung jawabkan.
3.
Syarif Sholeh berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur
dan memerintah daerah itu sendiri.hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.
Dengan Otonomi Daerah tersebut menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri,mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud
kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, hak dan kewajiban
serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusanya sepanjang
sanggup untuk melakukanya dan penekananya lebeih bersifat otonomi yang luas. Pendapat
tentang otonomi di atas ,sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa
otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun
administrasi, dengan tetap
menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun
dalam otonomi daerah ada kebebasan utuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan
daerah, tetapi dalam
kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang lebaih tinggi.
Terlepas dari hal itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan
di atas, dalam
undang-undang nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari
rumusan di atas, dapat disimpulkan
bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai 3 aspek, yaitu:
1.
Aspek Hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
2.
Aspek kewajiban untuk menetap mengikuti peraturan dan ketentuan
dari pemerintahan di atasnya, serta
tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3.
Aspek kemandirian dalam pengelolahan keungan baik dari biaya
sebagai perlimbahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama
kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi daerah dalah
adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam
bidang kebijaksanaan, pembiayaan serta perangkat pelaksanaanya. Sedangkan
kewajiban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya
wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijakan sendiri, perencanaan
sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian,bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang
Nomer 23 Tahun 2004, maka otonomi
daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu:
1.
Berisiniatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan
kebijakan sendiri.
2.
Membuat peraturan sendiri(PERDA)beserta peraturan pelaksanaanya.
3.
Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4.
Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarana.
B.
Sejarah Otoda di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU nomor 1 tahun 1945.
Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah
pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan
kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan
rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam
undang-undang ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan,
kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas.
Sehingga dalam kurun waktu 3 tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini
berumur lebih kurang 3 tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun
1948.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini
ditetapkan 2 jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom
istimewa, serta 3 tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besar
dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948,
penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian
pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang
pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan
pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada
daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai
dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk
sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi
pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini
dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam
menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22
tahun 1948 diisi dengan minculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu
UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam
untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi
yang seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang
dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan
seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya,
pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan
pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud
dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsi yang
digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas.
Undang-undang ini berumur paling panjang 25 tahun, dan baru diganti dengan
undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.
Kehadiran undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari
perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde
baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu,
sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan
mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan
tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal
demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam
UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 secara teoritis akan menghasilkan
suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam undang-undang nomor 5 tahun 1974
lebih cenderung pada corak dekosentrasi,
sedangkan desentralisasi dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebh cenderung
pada corak devolusi. Hal ini akan
lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan
undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah
yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai
kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekosentrasi lebih dominan
dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan
kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di daerah yang memilihnya.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya
setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua
yang secara dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip
otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Asas –Asas Otonomi Daerah
1.
Asas Sentralisasi
Negara kesatuan yang segala
sesuatunya langsung diatur dan di urus oleh pemerintah pusat sendiri termasuk
menyangkut kekuasaan pemerintah daerah/tidak melakukan pembagian tugas, Keuntungan
asas ini adalah 1)dapat menghemat biaya 2)adanya peraturan, kesatuan kemajuan
yang merata,tetapi kelemahanya adalah demokrasi terhambat dan daerah tidak
diberi tanggung jawab mengurus rumah tangganya sendiri
2.
Asas Desentralisasi
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonomi dalam ramgka NKRI di tingkat kabupaten/kota.dengan demikian
,wawasan dan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah baik mengenai prasarana dan sarananya
sumber daya manusia serta pembiyaanya.Menurut UU No,22 Taun 1999.
Pertimbangan asas desentralisasikarena pemerintah pusat lebih
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi ,peran serta masyarakatnya ,pemertaan
dan keadilan memperhatikan potensi dan keaneragaman daerah.
3.
Asas Dekonsentrasi
Asas yang menyatakan pelimbahan wewenang dari pemerintah pusat atau
kepala wilayah/kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabatnyadi
daerahnya di tingkat provinsi
4.
Asas tugas pembantuan
Asas yang menyatakantugas turut serta dalampelaksanaan urusan
pemerintah yang ditugaskan kepada daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkanya
kepada yang memberi tugas. Contoh pembayaran pajak di desa dan daerah.
Perangkat Otonomi daerah
·
Pemerintah Daerah
·
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD)
·
Lembaga teknis daerah
·
Dinas Daerah
·
Wakil kepala daerah
·
Sekretariat Daerah
C.
Konsep dan Prinsip-Prinsip Otoda
Konsep otoda
1. Penyerahan sebanyak
mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2. Penguatan peran DPRD
sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3. Pembangunan tradisi
politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat
akseptabilitas yang tinggi pula;
4. Peningkatan
efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5. Peningkatan efisiensi
administrasi keungan daerah;
6. Pengaturan pembagian
sumber-sumber pendapatan daerah;
7. Pemberian keleluasaan
kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
Prinsip-prinsip otoda
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keaneragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi
daerah didasarkan pada otonomi luas,nyata,dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi
daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang
pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi
daerah harus sesuai dengan konstituasi negara sehingga tetap terjamin hubungan
yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Pelaksaan otonomi
daerah harus lebih meningkat kan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam
daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi .Demikian pula
dikawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain,seperti
badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri kawasan
perkebunan dll.
6. Pelaksanaan otonomi
daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik
fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan asa
dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dan kedudukanya sebagai wilayah
administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan
pada gurbenur sebagai wakil pemerintah.
8. Pelaksaan asas tugas
pembantuan dimungkinkan ,tidak hanya dari pemerintah kepada daerah , tetapi
juga dari pemerintah dan daerah kepala desa yang disertai dengan pembiyaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar