Sabtu, 13 Desember 2014

TOKOH FILSAFAT: Al-Ghazali Versus Rene Descartes




A.    Biografi Al-Ghazali
                Abu hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M., beliau dipanggil al-Ghazali karena beliau dilahirkan di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran. Beliau dilahirkan dari keluarga sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunnya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan tinggi seperti terlihat pada simpatiknya terhadap ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasihat kepada umatnya. Sehingga beliau dititipkan kepada teman ayah beliau yang merupakan seorang ahli tasawwuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan.[1]
Pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur,  Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam dan kemudian menjadi murid Imam Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiyah, Nisyapur. Mata pelajaran yang di berikan oleh Madrasah ini diantaranya adalah teologi (ilmu kalam), hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.

            Kemudian melalui al-Juwaini, ia dikenalkan dengan Nizam al-Mulk, perdana mentri dari Sultan Seljuk Maliksyah. Beliau adalah pendiri Madrasah al-Nizamiyah yang kemudaian pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diangkat menjadi seorang guru di madrasah al-nizamiah Baghdad.[2]
            Pada tahun 488 H/ 1095 M, Imam al-ghazali dilanda keraguan terhadap ilmu yang ia pelajari sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu al-ghazali tidak dapat melanjutkan tugasnya di madrasah al-Nizamiah yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad dan pergi ke Damaskus. Selama dua tahun itu, al-Ghazali melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian beliau pindah ke  Bait al-Maqdis Palestina untuk menunaikan ibadah serupa. Setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarohi maqom Rasulullah SAW.[3] Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi kemudian ia kembali ke Tus di tahun 1105 M dan kemudian wafat di sana pada tahun 1111 M.[4] Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali adalah seorang Muslim yang taat sekalipun kepada gurunya.
Al-ghazali telah memberikan pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan serta pemikiran islam. Beliau adalah salah satu penganut logika Aristoteles. Namun, ia tetap memiliki pemikiran yang berbeda dari al-Farabi dan ibn-Sina.[5]
B.     Biografi Rene Descartes
            Rene Descartes (Renatus Cartesius) dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596. di La Haye, propinsi Teuraine, sejak kecil ia menampakkan keahliannya di bidang filsafat sehingga ayahnya memanggilnya dengan sebutan si filsuf kecil. Pendidikan pertamanya diperoleh dari sekolah Yesuit di Fleche dari tahun 1604-1612. Di sini ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, music dan acting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus, Fisika, Matematika, Astronomi dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Selama ia belajar di perguruan tinggi ini, ia telah merasakan ketidakpuasan dan kebingungan ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dari guru-gurunya bahkan saat ia membaca buku teks. Ketidakpuasan ini terutama dalam bidang filsafat yang penuh dengan kesimpangsiuran dan pertentangan-pertentangan antara berbagai aliran dan pemikiran.
            Pada tahun 1612, Rene Descartes pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint German untuk mengerjakan ilmu ukur. Pada tahun 1617 masuklah Descartes ke dalam tentara Belanda. Disini ia dapat melakukan renungan filsafatinya selama dua tahun dimana ia merasakan kedamaian dan ketenangan disini. Tahun 1619 Descartes bergabung dengan tentara Bavaria
            Tahun 1612 Descartes berhenti dari medan perang dan setelah berkelana ke Italia, ia lalu menetap di paris (1925). Tiga tahun kemudian, ia kembali masuk tentara, tetapi tidak lama kemudian ia keluar lagi dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup di negeri Belanda. Di sinilah ia menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim kebebasan berpikir. Di negeri inilah ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat.
Descartes adalah seorang katolik yang jujur Dalam kaitan inilah kiranya serangan-serangan terhadap ajaran Descartes bukan berasal dari katolik yang ortodok, melainkan justru dari orang-orang Protestan, mereka menganggap ajaran-ajaran Descartes membawa pada atheism sehingga hampir saja ia dihukum sekiranya bukan bantuan duta besar Prancis dan pangeran Oranje dari Belanda. Ketika penguasa Universitas Leiden dan Utrecht mengkritiknya habis-habisan dan melarang karya-karyanya digunakan di kalangan universitas tersebut, maka lagi-lagi Pangeran Oranje turun tangan membantunya.[6]
            Pada tahun 1849-1650, ia tinggal di swedia atas panggilan Ratu Christine yang ingin mempelajari filsafat Descartes yang diharuskan untuk diajarkan setiap jam lima pagi, hal ini yang menyebabkan ia sakit paru-paru dan meninggal pada 11 Februari 1650 di usia 54 tahun sebelum ia sempat menikah.[7]
C.    Pemikiran Al-Ghazali tentang asal-mula Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Keraguan ini muncul saat beliau mempelajri pelajaran teologi dari al-Juwaini. Di sana terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan dalam hati al-Ghazali “lalu aliran manakah yang benar diantara semua aliran tersebut?”
Pada mulanya al-Ghazali meyakini bahwa ilmu pengetahuan bermula dari panca indera, tetapi ternyata panca indera itu juga berdusta. Beliau menggambarkannya dalam bidang astronomi, contoh, bintang akan terlihat berukuran sangat kecil saat kita melihat dengan mata biasa. Namun, perhitungan telah menunjukkan bahwa bintang berukuran lebih besar daripada bumi.
Karena beliau merasa tertipu oleh panca indera, lalu ia meyakini kebenaran akal. Tetapi akal pun ternyata tidak dapat di yakini karena pada saat seseorang tidur kemudian ia bermimpi maka dalam akalnya, seseorang tersebut akan meyakini bahwa mimpi itu adalah nyata. Namun, saat ia tersadar maka yang ada hanya kenyataan yang tidak mungkin terjadi sesuai dengan mimpi. Hal ini menunjukkan bahwa akal pun dapat menipu.
Lelah dengan keraguannya, Al- Ghazali kemudian meninggalkan tugasnya di Al-Niazamiah seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di Damaskus ia beruzalah (bertapa) di salah satu menara Masjid Umawi, saat ia kembali ia meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang menghilangkan keraguannya adalah pengetahuan yang langsung dari Tuhan dengan Tasawwuf.[8] Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dipercayai di waktu sadar baik panca indera maupun akal, akan berhubungan dengan keadaan pada saat itu saja, namun, jika kita telah sampai pada keadaan lain yang lebih sadar lagi, maka apa yang telah dipercayai panca indera dan akal seakan-akan mimpi saja. Keadaan yang lebih tinggi inilah yang telah dicapai oleh para sufi, atau diketahui melalui wahyu para nabi. Karena itu al-Ghazali kemudian berkeyakinan bahwa logika akal merupakan tingkatan tertinggi dalam pencapaian kesimpulan dan yang paling salah adalah persepsi panca indera namun pada saat yang sama, akal akan menjadi tingakatan terendah dalam panyingkapan kesufian.[9]
Karena itu, kemudian Al-Ghazali sangat menyesalkan para filosof dan teolog yang menggunakan landasan akal dan panca indera dalam mendirikan akidah. Karena akal mempunyai keterbatasan dalam kemampuannya, sehingga akal tak dapat menjangkau persoalan-persoalan metafisika, yang merupakan lapangan nur ilahi, karena itu, Menurut al-Ghazali, kita wajib mendirikan keimanan agama kita atas dasar wahyu yang dibawa oleh nabi atau melalui penyingkapan kesufian. Atas dasar itulah, maka Al-Ghazali mengufurkan para filosof yang telah mena’wilkan dengan logika akal mereka terhadap ayat-ayat metafisika, atau terhadap pokok-pokok akidah.
Di dalam Thafut Al-Falasifah, beliau menyalahkan filsuf-filsuf dalam beberapa pendapat:
a.       Tuhan tidak mempunyai sifat.
b.       Tuhan mempunyai substansi basit (sederhana, simple) dan tidak mempunyai mahia (hakikat, quiddity).
c.       Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (terperinci, particulars).
d.      Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fasl atau diferentia.
e.       Planet-Planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan.
f.       Jiwa planet-planet mengetahui Juz’iyyat.
g.      Hukum alam tak pernah berubah.
h.      Pengembangan jasmani tidak ada.
i.        Alam tidak bermula.
j.        Alam akan kekal.[10]
Namun, beliau mengufurkan para filosof pada aspek :
a.       Alam Qadim, artinya alam tidak bermula.
b.      Pengetahuan Allah hanya bersifat universal, artinya pengetahuan Allah menyeluruh namun tidak mendalam (juz’iyat)
c.       Tidak pembangkitan jasmani setelah kematian.[11]
Uraian diatas masih merupakan uraian atas pengetahuan tentang ketuhanan (akidah). Namun, mengenai asal-mula adanya pengetahuan, beliau merupakan penganut logika Aristoteles. Bahkan beliau mewajibkan pada umat Islam untuk mempelajarinya dan mempelajarinya kini menjadi fardlu kifayah. Sebelum lebih mendalam al-Ghazali telah mendefinisikan logika itu sendiri. Menurut beliau, logika adalah sebuah alat, namun ia tetap memiliki kapasitas yang terbatas. Logika memang sebuah alat penimbang namun logika tidak dapat dipergunakan untuk menimbang segala sesuatu, terutama masalah metafisika.[12] Karena kebenaran metafisika hanya didapat melalui proses tasawwuf, dan hanya diberikan pada orang-orang tertentu yang telah mencapai tingkat kesufian. Sedangkan orang lain hanya dapat membenarkannya melalui orang-orang yang telah mencapai kesufian. Sehingga metafisika sudah pasti benar karena langsung oleh tuhan yang melalui perantara jibril seperti yang dialami oleh para nabi. Maka al-Ghazali berpikiran saat kebenaran metafisika ini diperoleh melalui proses logika, maka akan terjadi keraguan dalam dirinya dan kemudian akan menimbulkan kekeliruan dalam meyakininya. Seperti yang pernah beliau alami.
Kembali pada logika, menurut al-Ghazali, logika adalah prasyarat yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, dalm bidang apa saja selain metafisika. Logika merupakan suatu kaidah yang dapat membedakan dan dapat mendefinisikan antara analogi yang benar dan yang salah. manfaat logika tidak hanya sebatas analogi yang menghasilkan ilmu pengetahuan yang belum diketahui berdasarkan yang sudah diketahui, tetapi juga yang membedakan yang berilmu dengan yang tidak berilmu karena ilmu adalah timbangan bagi kebahagiaan yang kekal.
Menurut al-Ghazali, logika mencakup semua ilmu teoretis,baik ilmu rasional maupun ilmu ushul. Sehingga faedah dari logika sendiri adalah membebaskan kita dari cengkeraman indera dan hawa nafsu.[13] Karena logika berpegang pada hakim akal, maka ia akan mengantarkan kita pada tingkat kebahagiaan karena kita akan melakukan sesuatu yang menurut logika kita benar, dan menjauhi sesuatu yang menurut logika kita salah.
Karena itulah al-Ghazali mengelompokkan tingkatan manusia ke dalam tiga golongan :
a.       Golongan orang-orang awam : yakni golongan yang daya akalnya sangat sederhana tetang hakikat segala sesuatu sehingga mereka mudah percaya dan hanya mengikuti yang telah ada. Maka mereka harus dihadapi dengan nasihat dan petunjuk.
b.      Golongan orang-orang pilihan yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam : mereka hanya dihadapi dengan menjelaskan hikmat-hikmat. Sehingga kemampuan mereka tidak menyimpang dari disiplin ilmu yang ada.
c.       Golongan dialektis : yakni orang-orang yang terbiasa berdebat. Kelompok penengkar ini harus dihadapi dengan mematahkan argumen-argumen mereka dengan argumen-argumen yang tidak menyimpang dan bisa diterima oleh akal mereka.[14]
Kesimpulan :
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengalami keraguan (syak) pada awal kesufiannya. Kemudian beliau melakukan uzlah yang kemudian membuka hatinya dan menyembuhkan penyakit keraguannya bahwa serta membuat beliau mengerti, pada hakikatnya segala ilmu pengetahuan didapatkan dari logika hal ini mengecualikan pada pengetahuan metafisika. Karena pengetahuan metafisika tidak dapat di jangkau oleh logika. Pengetahuan metafisika hanya akan ditunjukkan kebenarannya kepada orang-orang yang telah dipilih oleh tuhan seperti nabi, para sufi.
            Logika ini pula yang membuat beberapa filosof menggunakan akal dan panca indera dalam usahanya mendirikan akidah ketuhanan. Hal inilah yang disangkal oleh al- Ghazali, sehingga pada hakikatnya filosof al-Ghazali ini lahir untuk meluruskan kesimpulan-kesimpulan yang melenceng dari akidah yang telah ada. Al-Ghazali mengelompokkan manusia atas tiga kelompok yakni :
a.       Golongan orang-orang awam, golongan ini dapat di hadapi dengan cara memberikan mereka nasihat dan serta menambah wawasan mereka.
b.      Golongan orang-orang pilihan yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Golongan ini sebaiknya dihadapi dengan cara memberikan hikmat-hikmat, sehingga pemikiran mereka lebih terarah
c.       Golongan dialektis. Golongan ini dapat dihadapi dengan cara memecahkan argumen-argumen mereka.
Adapun pengelompokkan-pengelompokkan Al-Ghazali dalam bidang keilmuan diatas, hanya membedakan manusia dalam bidang logikanya mengingat hasil logika (ilmu) tersebut adalah penentu bagi kebahagiaan yang kekal serta sudah di nashkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yang berarti
pergilah manusia kepada jalan tuhanmu dengan menjelaskan hikmat-hikmat serta memberi petunjuk baik dan patahkan argumen-argumen mereka dengan yang lebih kuat.” (An-Nahl :125)[15]
D.      Pemikiran Rene Descartes tentang asal-mula Ilmu Pengetahuan
  Setelah bergelut dengan ilmu-ilmu eksakta, Descartes merasa kecewa dan tidak puas dengan filsafat yang diterimanya. Menurutnya, filsafat selalu mengandung perselisihan dan  keraguan sedangkan ilmu eksakta sudah pasti dan tidak perlu perselisihan lagi. Kalau pun ada pastilah ada kesalahan yang terdapat pada sisi penghitungannya.
Adapun yang ia cari dalam filsafat adalah kepastian. Namun, kepastian itu hanya mungkin bila didasarkan pada evidensi (fakta) yang mau tidak mau harus diterima dan diakui. Hanya penalaran pasti yang seharusnya menjadi objek pembelajaran filsafat. Jika sesuatu yang tidak pasti dimasukkan pada sesuatu yang sudah pasti, maka yang terjadi adalah perselisihan antara yang masuk akal, dan yang tidak masuk akal. Seperti pada filsafat tradisional.[16]
Karena itu, Descartes meragukan segala sesuatu termasuk tradisi filasafat yang pernah ia terima dan sesuatu yang sudah pasti. Menurutnya, seseorang harus menemukan kebenaran sendiri sehingga ia memahami secara mendalam tentang apa yang ia cari. Ia mengatakan “ Anadaikata kita membaca setiap kata dari karya-karya Plato dan Aristoteles tanpa kepastian pendapat kita sendiri, maka kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat; pemhaman historis kita dapat bertambah, namun pemahaman kita tidak.”[17]
            Selain itu, descartes menolak tradisi diskusi dan kerjasama yang dicetuskan oleh Socrates. Baginya, keutuhan suatu ilmu harus dilakukan oleh satu orang, karena saat suatu ilmu itu didasarkan pada beberapa orang, maka akan kacau, karena setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Hal ini seperti layaknya bangunan yang dilakukan oleh beberapa arsitektur. Maka tidak akan berjalan pembangunan tersebut saat para arsitektur terus berseteru.
            Setelah menolak metode Socrates, kemudian ia meragukan segala sesuatu yang ada. Descartes diragukan oleh ketidakpastian pada masanya. Pemikiran skolastik yang diterimanya ternyata tidak tahu bagaimana harus menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan positif. Ternyata, wibawa Aristoteles dalam filsafat skolastik menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Contoh, pada pemikiran sillogisme dari Aristoteles menunjukkan bahwa kesimpulan yang ada, telah terdapat dalam premis yang sebelumnya. Dalam hal ini, Descartes menganggap pemikiran Aristoteles hanya akan membunuh kekreatifitasan pemikiran ilmu pengetahuan. Untuk mulai berfilsafat ia harus memiliki satu pangkal pemikiran yang pasti yaitu keragu-raguan.
            Namun, keragu-raguan Descartes, adalah keragu-raguan metodis yang digunakan sebagai penguji penalaran dan pemikiran untuk mendapat kepastian yang pertama yang mendasari dan menjadi titik pangkal mutlak bagi filsafat baru. Contoh mudahnya pada ilmu eksakta, jika pada ilmu sebelumnya ia memahami bahwa 1+1=2 kemudian dalam pengujiannya ia menemukan pula angka 2 sebagai hasil dari 1+1, maka ilmu itu sudah menjadi pasti dan dapat di jadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.
            Hingga suatu hari, ia pernah meragukan dirinya yang sedang duduk di dekat perapian dalam keadaan yang lengkap. Karena dalam mimpinya, ia menemui dirinya dalam keadaan telanjang di dekat perapian  sebanyak tiga kali dalam satu malam. Sehingga pada saat itu, ia menemukan sebuah hipotesis, mungkin dirinya adalah satu-satunya pribadi, sedangkan pengalamannya hanyalah khayalan-kahyalan. Suatu lapisan ilusi  yang ditanamkan oleh sebuah kekuatan yang dengan kejahatannya menipu terus-menerus. Padahal sebenarnya, tidak ada objek di luar dirinya. Maka kemudian ia sampai pada kesimpulan Cogito Ergo Sum yang artinya, aku berpikir maka aku ada. Apa yang ia pikirkan mungkin saja sebuah khayalan, namun ia berpikir adalah sebuah kenyataan.
MENUJU LOGIKA BARU
            Cogito ergo sum yang berasal dari kata Latin ini berarti, saya berpikir, di sini ialah menyadari. Dalam filsafat modern, kat cogito sering kali diartikan sebagai kesadaran. Cogito ergo sum menurutnya adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal, bagaimanapun usahaku untuk menyangkalnya.dengan menemukan kepastian pertama ini, maka dibangunlah sebuah logika baru yang sesuai dengan semangat ilmu pengetahuan eksakta. Menurutnya, ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti. Selain digunakan sebagai contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang maju, ilmu pasti juga dapat di pandang sebagai penerapan yang paling jelas dan merupakan metode yang ilmiah. Artinya, ia berpendapat bahwa semua ilmu pengetahuan, dapat di buktikan dengan cara mengumpamakannya dengan angka yang menghasilkan sesuatu yang pasti, sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan lagi.[18]
            Lebih jelas, uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang shahih (adequate) dari metode yang hendak dicanangkannya dapat dijumpai dalam Descourse, setidaknya terdapat empat aturan umum yang dapat disebut sebagai aturan-aturan logika Descartes :
PERTAMA, tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada satu keraguan pun yang dapat merobohkannya.
KEDUA, pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu, atau sebanyak mungkin bagian dari masalah tersebut, sehingga tidak ada satu keraguan apa pun yang dapat meragukannya.
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga tidak ada satu pun yang terabaikan dan tertinggal dan pencarian tersebut.
            Aturan-aturan tersebut lalu didisyarah oleh Antoine Arnould dan Pierre Nicole menjadi beberapa kaidah : 1) tidak boleh ada istilah yang tidak jelas atau tidak dikenal karena tidak ada definisinya. 2) dalam definisinya hanya menggunakan istilah yang mudah dipahami dan benar-benar dikenal. 3) hal-hal yang sungguh terbukti sebagai aksioma-aksioma. 4) menerima sebagai bukti hanya apa yang mudah dikenal sebagai betul. 5) membuktikan semua proposisi yang tidak jelas dengan cara membuat definisi dulu yang cocok  dengan aksioma-aksioma dan proposisi-proposisi yang sudah dibuktikan. 6) menghilangkan kebohongan istilah-istilah dengan definisi-definisi yang bersifat membatasi. Maksudnya, istilah-istilah tersebut hendaknya didefinisikan secara jelas. 7) sedapat mungkin bertitik-tolak dari yang paling umum dan sederhana, dari genus ke spesies. 8) membagi tiap genus ke dalam semua spesiesnya, tiap keseluruhan ke dalam bagiannya dan tiap masalah ke dalam kasus-kasusnya.[19]
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya. Pada mulanya ia meragukan panca indera. Hal ini telah di jabarkan sebelumnya saat ia meragukan dirinya sendiri yang duduk di dekat perapian. Tentang impian, Descartes menjelaskan melalui contoh seorang pelukis yang memberikan kita gambaran-gambaran benda-benda dunia yang sebelumnya belum ada. Kita bisa menggambarkan seekor kuda bersayap karena kita pernah melihat kuda dan sayap secara terpisah. Sehubungan dengan ini maka bentuk-bentuk umum benda yang menyangkut hal keluasan, ukuran, besaran dan sebagainya lebih mudah diyakini daripada hal-hal yang bersifat khusus dan individual yang lebih bersifat imajinatif daripada bentuk-bentuk yang sudah umum bagi panca indera kita.
Karena itulah, Descartes lebih memandang bentuk umum tersebut lebih mudah diyakini daripada bentuk khusus yang belum tentu kebenarannya. Namun, terkadang keraguan bisa terjadi dalam ilmu ukur dan ilmu hitung, karena bisa saja tuhan yang membuatku keliru, atau ada jin yang berusaha membuatku keliru. Jika ini benar, maka yang aku lihat bisa saja merupakan ilusi atau bayangan agar aku terperangkap didalamnya. Maksudnya, mungkin saja benda-benda yang ada di dunia ini mungkin saja hanya ilusi belaka. Kira-kira begitulah maksud dari pernyataan Descartes yang masih meragukan pertimbangan antara kenyataan dan ilusi.
Mengingat bahwa aku yang berpikir adalah sesuatu, dan mengingat kebenaran “cogito ergo sum” begitu keras dan meyakinkan, sehingga anggapan skeptis yang paling hebat pun tidak akan bisa menumbangkannya, maka sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang aku cari. Begitulah kira-kira pemikiran Descartes.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah dengan kebenaran tersebut berarti ia telah menuhankan dirinya. Lalu bagaimanakah orang mengetahui adanya ide tentang tuhan sebagai hal yang jelas adn yang telah terpilih? Inilah yang disebut ide bawaan. Ide bawaan adalah butir-butir kebenaran yang pasti yang secara alami ada, atau diajarkan oleh tuhan dalam jiwa kita. Dari ide-ide itulah metafisika dan fisika dapat dibangun.[20]
Seluruh pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berasal dan bersumber dari ide-ide bawaan itu. Menurut Descartes terdapat tiga ide bawaan dalam diri saya. ketiga ide bawaan tersebut sudah ada pada diri saya sejak lahir, yaitu : pemikiran, tuhan, dan keluasan.[21]
a.       Pemikiran : karena saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka pemikiran adalah hakikat saya.
b.      Tuhan sebagai wujud yang sempurna. Karena saya berpikir dengan sempurna. Maka pasti ada sebab yang sempurna yang membuat pemikiran ini sempurna pula.
c.       Keluasan : saya memahami materi sebagai keluasan atau eksistensi sebgaiman yang dilakukan oleh para ahli ukur.
 Oleh karena itu, Descartes berteori bahwa seluruh ilmu pengetahuan pada akhirnya adalah satu dan metode ilmiah juga satu. Inilah yang membedakannya dengan teori Aristoteles yang meyakini bahwa perbedaan persoalan itu terjadi karena perbedaan ilmu yang menuntut metode yang berbeda pula.
 Namun, berbeda dengan Descartes meyakini bahwa akal budi manusia selalu sama  maka jika digambarkan maka manusia akan bersam-sam membentuk sebuah pohon pengetahuan, dimana pengetahuan metafisik menjadi akar karena segala pengetahuan bersumber dari tuhan kemudian fisika sebagai batang dan akar dan rantingnya adalah ilmu pengetahuan umum. [22]
SUBSTANSI
            Descartes kemudian menyimpulkan selain tuhan terdapat dua substansi. Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia diluar saya, maka ia kesulitan dalam membuktikannya. Satu-stunya alasan yang dapat membuktikannya tuhan akan menipu saya jika ia memberi ide keluasan pada saya, sedangkan diluar saya tidak ada material yang serupa dengannya. Namun, tuhan yang maha sempurna tidak mungkin menipu saya, sehingga diluar saya memang terdapat dunia material.
MANUSIA
            Descartes berpendapat bahwa manusia adalah makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi : jiwa dan tubuh.baginya jiwa adalah pemikiran dan tubuh baginya adalah keluasan. Sehingga tubuh tak lain halnya sebagai mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena itu, Descartes mengalami kebingungan untuk membuktikan pengruh jiwa atas badan dan sebaliknya. Sekali ia mengatakan bahwa kontak antara jiwa dengan tubuh berlangsung dalam grandula pincalis (kelenjar yang terletak dibawah otak kecil). Tetapi pembuktian kemudian tidak memuaskan Descartes sendiri.
Kesimpulan :
            Rene  Descartes merupakan pencetus adanya filsafat modern yang menjadi peradaban dunia. Ia mulai mencetuskan kepastian pertamanya yang berpangkal dari keraguannya terhadap filsafat-filsafat yang telah ia peroleh sebelumnya. Saat ia mempelajari ilmu-ilmu eksakta, saat itulah ia merenungi seandainya ilmu filsafat dapat diperhitungkan layaknya ilmu eksakta, maka ia tidak akan menemukan pertentangan-pertentangan dalam masing-masing aliran filsafat.
            Dari keinginan itulah, kemudian Descartes mencetuskan filsafat baru yang sama sekali tidak mempercayai kemampuan inderawi dalam membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan melainkan ia mempercayai bahwa akal adalah akar dari ilmu pengetahuan yang kini berkembang. Dari kepercayaan itu, maka ia mencetuskan sebuah kepastian pertama  yang dikenal dengan “Cogito Ergo sum” yang berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti aku berpikir maka aku ada. Dari kepastian tersebut, dapat digambarkan bahwa pemikiran Descartes mengabaikan keberadaan agama dan cenderung mengabaikan keberdaan tuhan. Dengan kepastian itu pula, dapat dimengerti bahwa Descartes lebih menuhankan manusia. Manusia sebagai tuan dari alam semesta.
            Descartes berpendapat, bahwa pada logika yang digunakan dalam pemikirannya, terdapat empat aturan umum diantaranya :
PERTAMA, harus jelas dan tegas sehingga tidak ada satu pun keraguan yang dapat merobohkan kebenaran tersebut.
KEDUA, mecahkan masalah seluruhnya atau sebagian besar dari masalah tersebut, sehingga masalah tersebut tidak dapat dirobohkan kebenarannya
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga tidak ada satu pun yang terabaikan dan tertinggal dan pencarian tersebut.
Kemudian keempat aturan itulah yang digunakan Descartes untuk menggali ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan berasal dari pengetahuan metafisika yang merupakan akar dari ilmu pengetahuan dan pohonnya adalah fisika dan kemudian ranting dan dahannya adalah ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari sesuatu yang satu dan dalam memecahkan masalahnya menggunakan satu metode pula. Hal ini sangat bertentangan dengan Aristoteles yang berpendapat bahwa permasalahan dalam ilmu pengetahuan itu bermacam-macam, maka pemecahan masalahnya pun dengan cara yang bermacam-macam pula.
Lalu untuk meyakini tuhan, ia berpikir bahwa tuhan merupakan salah satu dari tiga bawaan yang didapat sejak lahir. Selain tuhan, masih terdapat dua ide bawaan yang didapatkan sejak seseorang lahir yakni pemikiran dan keluasan. Menurutnya, tuhan muncul saat ia meyakini tentang pemikiran. Saat ia mendapatkan pemikiran yang sempurna, maka terdapat material yang lebih sempurna dari itu, yakni tuhan.
E.     Perbedaan Pemikiran Al-Ghazali dengan Rene Descartes
a.       Dalam menghasilkan Pemikiran, Al-Ghazali lebih identik pada akal sehingga dalam menghasilkan ilmu pengetahuan, beliau meyakini bahwa setiap permasalahan yang berbeda, maka metode pemecahan masalahannya pun berbeda. Sedangkan, bagi Descartes, ilmu pengetahuan berasal dari satu pengetahuan sehingga metode pemecahan masalahnya pun satu meskipun terdapat berbagai permasalahan yang berbeda.
b.      Dalam pencarian kebenaran, semakin mendalam penghayatan al-Ghazali semakin beliau mencapai tingkat kesufian, sehingga beliau meletakkannya pada tingkatan teratas setelah panca indera dan akal. Namun, berbeda halnya dengan Descartes, semakin mendalam penghayatan Descartes, semakin ia merasa bahwa keberdaanya adalah tingkatan tertinggi dari ilmu pengetahuan sehingga ia lebih menuhankankan manusia.
F.      Kontribusi bagi Ilmu Pengetahuan
a.       Al-Ghazali, memberikan kontribusi ketuhanan yang berdasarkan kesufiannya. Ilmu ini biasanya disebut Tasawwuf. Yakni penyingkapan kesufiaan. Dengan ilmu ini, masyarakat bisa mendapatkan pelajaran tentang perilaku ‘ulama sebelumnya sehingga mencapai tingkat kesufian. Sehingga dengan begitu, mereka akan mendapatkan tingkat teratas dari filosofi ilmu pengetahuan.
b.      Rene Descartes, memberi kontribusi bagi masyarakat berupa ilmu Geometri. Sebgaimana yang dibahas pada materi-materi diatas, bahwa Descartes, mengharapkan Filsafat dapat di pecahkan seperti layaknya memecahakan permasalahan ilmu-ilmu eksakta, termasuk Geometri. Karena itulah ia memberikan kontribusi berupa ilmu Geometri.






REFERENCES
Bik, Hudari. Tarikh Al Islam. 1980. Semarang : Darul Ihya.
Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk, Filsafat Barat. 2007. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Imam Al-Ghazali. Pembuka Pintu Hati. 2004. Bandung : MQ Publishing.
Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika. 2006. Jakarta : PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
S. Praja, Juhaya.  Aliran-Aliran Filsafat & Etika. 2003.  Jakarta : Prenada Media Group.


[1] Imam Al-Ghazali, Pembuka Pintu Hati, (Bandung : MQ Publishing, 2004), cetakan 1, hlm. 4.
[2] Prof. Dr. Juhaya s. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika. ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003), hlm. 201.
[3] Hudari Bik, Tarikh Al Islam, (Semarang : Darul Ihya, 1980), terj. Zuhri hlm. 19.
[4] Prof. Dr. Juhaya s. Praja, op.cit. hlm. 204.
[5] Dr. Zainun Kamal, M.A., Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, ( Jakarta : PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006), hlm. 62-63.
[6] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm. 92-93.
[7] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk, Filsafat Barat ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2007) hlm.18.
[8] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm. 204.
[9] Dr. Zainun Kamal, M.A., Op.cit., hlm. 69.
[10] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm. 204.
[11] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk. Op.cit., hlm. 70.
[12] Ibid., hlm. 63.
[13] Ibid., hlm. 64-65
[14] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm. 205.
[15] Ibid., hlm. 206.
[16] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk. Op.cit., hlm. 18-19.
[17] Ibid., hlm. 20.
[18] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm. 95.
[19] ibid., hlm. 96-97.
[20] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk. Op.cit., hlm. 25.
[21] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm. 98.
[22] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk. Op.cit., hlm. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar