A. Biografi Al-Ghazali
Abu hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M., beliau
dipanggil al-Ghazali karena beliau dilahirkan di Ghazaleh, suatu kota kecil
yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran. Beliau dilahirkan dari
keluarga sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai
pedagang hasil tenunnya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan tinggi
seperti terlihat pada simpatiknya terhadap ‘ulama dan mengharapkan anaknya
menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasihat kepada umatnya. Sehingga beliau
dititipkan kepada teman ayah beliau yang merupakan seorang ahli tasawwuf untuk
mendapatkan bimbingan dan didikan.[1]
Pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur, Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah
satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam dan kemudian menjadi
murid Imam Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiyah, Nisyapur. Mata
pelajaran yang di berikan oleh
Madrasah ini diantaranya adalah teologi (ilmu kalam), hukum Islam,
filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.
Kemudian melalui al-Juwaini, ia dikenalkan dengan Nizam al-Mulk, perdana mentri dari Sultan Seljuk Maliksyah. Beliau adalah pendiri Madrasah al-Nizamiyah yang kemudaian pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diangkat menjadi seorang guru di madrasah al-nizamiah Baghdad.[2]
Pada
tahun 488 H/ 1095 M, Imam al-ghazali dilanda keraguan terhadap ilmu yang ia
pelajari sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati.
Karena itu al-ghazali tidak dapat melanjutkan tugasnya di madrasah al-Nizamiah
yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad dan pergi ke Damaskus. Selama dua
tahun itu, al-Ghazali melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian beliau
pindah ke Bait al-Maqdis Palestina untuk
menunaikan ibadah serupa. Setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah
haji dan menziarohi maqom Rasulullah SAW.[3]
Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi kemudian ia kembali ke Tus di
tahun 1105 M dan kemudian wafat di sana pada tahun 1111 M.[4]
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali adalah seorang
Muslim yang taat sekalipun kepada gurunya.
Al-ghazali telah memberikan pengaruh besar dalam ilmu
pengetahuan serta pemikiran islam. Beliau adalah salah satu penganut logika
Aristoteles. Namun, ia tetap memiliki pemikiran yang berbeda dari al-Farabi dan
ibn-Sina.[5]
B. Biografi Rene Descartes
Rene
Descartes (Renatus Cartesius) dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596. di La
Haye, propinsi Teuraine, sejak kecil ia menampakkan keahliannya di bidang
filsafat sehingga ayahnya memanggilnya dengan sebutan si filsuf kecil. Pendidikan
pertamanya diperoleh dari sekolah Yesuit di Fleche dari tahun 1604-1612. Di
sini ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani,
bahasa Perancis, music dan acting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus,
Fisika, Matematika, Astronomi dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas.
Selama ia belajar di perguruan tinggi ini, ia telah
merasakan ketidakpuasan dan kebingungan ia merasa tidak mendapatkan apa-apa
dari guru-gurunya bahkan saat ia membaca buku teks.
Ketidakpuasan ini terutama dalam bidang filsafat yang penuh dengan
kesimpangsiuran dan pertentangan-pertentangan antara berbagai aliran dan
pemikiran.
Pada tahun 1612, Rene Descartes
pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan kehidupan sosial yang
menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint German untuk
mengerjakan ilmu ukur. Pada tahun 1617 masuklah Descartes ke dalam tentara
Belanda. Disini ia dapat
melakukan renungan filsafatinya selama dua tahun dimana ia merasakan kedamaian
dan ketenangan disini. Tahun 1619 Descartes bergabung dengan
tentara Bavaria
Tahun 1612 Descartes berhenti dari medan
perang dan setelah berkelana ke Italia, ia lalu menetap di paris (1925). Tiga
tahun kemudian, ia kembali masuk tentara, tetapi tidak lama kemudian ia keluar
lagi dan akhirnya ia memutuskan untuk hidup di negeri Belanda. Di sinilah ia
menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim kebebasan berpikir. Di negeri
inilah ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat.
Descartes
adalah seorang katolik yang jujur Dalam kaitan inilah kiranya serangan-serangan
terhadap ajaran Descartes bukan berasal dari katolik yang ortodok, melainkan
justru dari orang-orang Protestan, mereka menganggap ajaran-ajaran Descartes
membawa pada atheism sehingga hampir saja ia dihukum sekiranya bukan bantuan
duta besar Prancis dan pangeran Oranje dari Belanda. Ketika penguasa
Universitas Leiden dan Utrecht mengkritiknya habis-habisan dan melarang
karya-karyanya digunakan di kalangan universitas tersebut, maka lagi-lagi
Pangeran Oranje turun tangan membantunya.[6]
Pada tahun 1849-1650, ia tinggal di swedia atas panggilan
Ratu Christine yang ingin mempelajari filsafat Descartes yang diharuskan untuk
diajarkan setiap jam lima pagi, hal ini yang menyebabkan ia sakit paru-paru dan
meninggal pada 11 Februari 1650 di usia 54 tahun sebelum ia sempat menikah.[7]
C. Pemikiran Al-Ghazali tentang asal-mula Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal sebagai
orang yang pada mulanya syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Keraguan ini
muncul saat beliau mempelajri pelajaran teologi dari al-Juwaini. Di sana terdapat
beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal inilah yang kemudian memunculkan
pertanyaan dalam hati al-Ghazali “lalu aliran manakah yang benar diantara semua
aliran tersebut?”
Pada mulanya al-Ghazali meyakini bahwa ilmu pengetahuan
bermula dari panca indera, tetapi ternyata panca indera itu juga berdusta.
Beliau menggambarkannya dalam bidang astronomi, contoh, bintang akan terlihat
berukuran sangat kecil saat kita melihat dengan mata biasa. Namun, perhitungan
telah menunjukkan bahwa bintang berukuran lebih besar daripada bumi.
Karena beliau merasa tertipu oleh panca indera, lalu ia
meyakini kebenaran akal. Tetapi akal pun ternyata tidak dapat di yakini karena
pada saat seseorang tidur kemudian ia bermimpi maka dalam akalnya, seseorang
tersebut akan meyakini bahwa mimpi itu adalah nyata. Namun, saat ia tersadar
maka yang ada hanya kenyataan yang tidak mungkin terjadi sesuai dengan mimpi.
Hal ini menunjukkan bahwa akal pun dapat menipu.
Lelah dengan keraguannya, Al- Ghazali kemudian
meninggalkan tugasnya di Al-Niazamiah seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
di Damaskus ia beruzalah (bertapa) di salah satu menara Masjid Umawi, saat ia
kembali ia meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang menghilangkan
keraguannya adalah pengetahuan yang langsung dari Tuhan dengan Tasawwuf.[8] Hal
ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dipercayai di waktu sadar baik panca indera
maupun akal, akan berhubungan dengan keadaan pada saat itu saja, namun, jika
kita telah sampai pada keadaan lain yang lebih sadar lagi, maka apa yang telah
dipercayai panca indera dan akal seakan-akan mimpi saja. Keadaan yang lebih
tinggi inilah yang telah dicapai oleh para sufi, atau diketahui melalui wahyu
para nabi. Karena itu al-Ghazali kemudian berkeyakinan bahwa logika akal
merupakan tingkatan tertinggi dalam pencapaian kesimpulan dan yang paling salah
adalah persepsi panca indera namun pada saat yang sama, akal akan menjadi
tingakatan terendah dalam panyingkapan kesufian.[9]
Karena itu, kemudian Al-Ghazali sangat menyesalkan para
filosof dan teolog yang menggunakan landasan akal dan panca indera dalam
mendirikan akidah. Karena akal mempunyai keterbatasan dalam kemampuannya,
sehingga akal tak dapat menjangkau persoalan-persoalan metafisika, yang
merupakan lapangan nur ilahi, karena itu, Menurut al-Ghazali, kita wajib
mendirikan keimanan agama kita atas dasar wahyu yang dibawa oleh nabi atau
melalui penyingkapan kesufian. Atas dasar itulah, maka Al-Ghazali mengufurkan
para filosof yang telah mena’wilkan dengan logika akal mereka terhadap
ayat-ayat metafisika, atau terhadap pokok-pokok akidah.
Di dalam Thafut Al-Falasifah, beliau menyalahkan
filsuf-filsuf dalam beberapa pendapat:
a.
Tuhan tidak mempunyai sifat.
b.
Tuhan mempunyai
substansi basit (sederhana, simple) dan tidak mempunyai mahia (hakikat, quiddity).
c.
Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (terperinci,
particulars).
d.
Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis) dan
al-fasl atau diferentia.
e.
Planet-Planet adalah bintang yang bergerak dengan
kemauan.
f.
Jiwa planet-planet mengetahui Juz’iyyat.
g.
Hukum alam tak pernah berubah.
h.
Pengembangan jasmani tidak ada.
i.
Alam tidak bermula.
j.
Alam akan kekal.[10]
Namun, beliau mengufurkan para filosof pada aspek :
a.
Alam Qadim, artinya alam tidak bermula.
b.
Pengetahuan Allah hanya bersifat universal, artinya
pengetahuan Allah menyeluruh namun tidak mendalam (juz’iyat)
c.
Tidak pembangkitan jasmani setelah kematian.[11]
Uraian diatas masih merupakan uraian atas pengetahuan
tentang ketuhanan (akidah). Namun, mengenai asal-mula adanya pengetahuan,
beliau merupakan penganut logika Aristoteles. Bahkan beliau mewajibkan pada
umat Islam untuk mempelajarinya dan mempelajarinya kini menjadi fardlu kifayah.
Sebelum lebih mendalam al-Ghazali telah mendefinisikan logika itu sendiri.
Menurut beliau, logika adalah sebuah alat, namun ia tetap memiliki kapasitas
yang terbatas. Logika memang sebuah alat penimbang namun logika tidak dapat
dipergunakan untuk menimbang segala sesuatu, terutama masalah metafisika.[12]
Karena kebenaran metafisika hanya didapat melalui proses tasawwuf, dan hanya
diberikan pada orang-orang tertentu yang telah mencapai tingkat kesufian.
Sedangkan orang lain hanya dapat membenarkannya melalui orang-orang yang telah
mencapai kesufian. Sehingga metafisika sudah pasti benar karena langsung oleh
tuhan yang melalui perantara jibril seperti yang dialami oleh para nabi. Maka
al-Ghazali berpikiran saat kebenaran metafisika ini diperoleh melalui proses
logika, maka akan terjadi keraguan dalam dirinya dan kemudian akan menimbulkan
kekeliruan dalam meyakininya. Seperti yang pernah beliau alami.
Kembali pada logika, menurut al-Ghazali, logika adalah
prasyarat yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, dalm bidang apa saja selain
metafisika. Logika merupakan suatu kaidah yang dapat membedakan dan dapat
mendefinisikan antara analogi yang benar dan yang salah. manfaat logika tidak
hanya sebatas analogi yang menghasilkan ilmu pengetahuan yang belum diketahui
berdasarkan yang sudah diketahui, tetapi juga yang membedakan yang berilmu
dengan yang tidak berilmu karena ilmu adalah timbangan bagi kebahagiaan yang
kekal.
Menurut al-Ghazali, logika mencakup semua ilmu
teoretis,baik ilmu rasional maupun ilmu ushul. Sehingga faedah dari logika
sendiri adalah membebaskan kita dari cengkeraman indera dan hawa nafsu.[13]
Karena logika berpegang pada hakim akal, maka ia akan mengantarkan kita pada
tingkat kebahagiaan karena kita akan melakukan sesuatu yang menurut logika kita
benar, dan menjauhi sesuatu yang menurut logika kita salah.
Karena itulah al-Ghazali mengelompokkan tingkatan manusia
ke dalam tiga golongan :
a.
Golongan orang-orang awam : yakni golongan yang daya
akalnya sangat sederhana tetang hakikat segala sesuatu sehingga mereka mudah
percaya dan hanya mengikuti yang telah ada. Maka mereka harus dihadapi dengan
nasihat dan petunjuk.
b.
Golongan orang-orang pilihan yang akalnya tajam dan
berpikir secara mendalam : mereka hanya dihadapi dengan menjelaskan
hikmat-hikmat. Sehingga kemampuan mereka tidak menyimpang dari disiplin ilmu
yang ada.
c.
Golongan dialektis : yakni orang-orang yang terbiasa
berdebat. Kelompok penengkar ini harus dihadapi dengan mematahkan
argumen-argumen mereka dengan argumen-argumen yang tidak menyimpang dan bisa
diterima oleh akal mereka.[14]
Kesimpulan
:
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengalami
keraguan (syak) pada awal kesufiannya. Kemudian beliau melakukan uzlah yang kemudian
membuka hatinya dan menyembuhkan penyakit keraguannya bahwa serta membuat
beliau mengerti, pada hakikatnya segala ilmu pengetahuan didapatkan dari logika
hal ini mengecualikan pada pengetahuan metafisika. Karena pengetahuan
metafisika tidak dapat di jangkau oleh logika. Pengetahuan metafisika hanya
akan ditunjukkan kebenarannya kepada orang-orang yang telah dipilih oleh tuhan seperti
nabi, para sufi.
Logika
ini pula yang membuat beberapa filosof menggunakan akal dan panca indera dalam
usahanya mendirikan akidah ketuhanan. Hal inilah yang disangkal oleh al-
Ghazali, sehingga pada hakikatnya filosof al-Ghazali ini lahir untuk meluruskan
kesimpulan-kesimpulan yang melenceng dari akidah yang telah ada. Al-Ghazali
mengelompokkan manusia atas tiga kelompok yakni :
a.
Golongan orang-orang awam, golongan ini dapat di hadapi
dengan cara memberikan mereka nasihat dan serta menambah wawasan mereka.
b.
Golongan orang-orang pilihan yang akalnya tajam dan
berpikir secara mendalam. Golongan ini sebaiknya dihadapi dengan cara
memberikan hikmat-hikmat, sehingga pemikiran mereka lebih terarah
c.
Golongan dialektis. Golongan ini dapat dihadapi dengan
cara memecahkan argumen-argumen mereka.
Adapun pengelompokkan-pengelompokkan Al-Ghazali dalam
bidang keilmuan diatas, hanya membedakan manusia dalam bidang logikanya
mengingat hasil logika (ilmu) tersebut adalah penentu bagi kebahagiaan yang
kekal serta sudah di nashkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yang
berarti
“ pergilah manusia
kepada jalan tuhanmu dengan menjelaskan hikmat-hikmat serta memberi petunjuk
baik dan patahkan argumen-argumen mereka dengan yang lebih kuat.” (An-Nahl
:125)[15]
D. Pemikiran Rene
Descartes tentang asal-mula Ilmu Pengetahuan
Setelah bergelut
dengan ilmu-ilmu eksakta, Descartes merasa kecewa dan tidak puas dengan
filsafat yang diterimanya. Menurutnya, filsafat selalu mengandung perselisihan
dan keraguan sedangkan ilmu eksakta
sudah pasti dan tidak perlu perselisihan lagi. Kalau pun ada pastilah ada kesalahan
yang terdapat pada sisi penghitungannya.
Adapun yang ia cari dalam filsafat adalah kepastian.
Namun, kepastian itu hanya mungkin bila didasarkan pada evidensi (fakta) yang
mau tidak mau harus diterima dan diakui. Hanya penalaran pasti yang seharusnya
menjadi objek pembelajaran filsafat. Jika sesuatu yang tidak pasti dimasukkan
pada sesuatu yang sudah pasti, maka yang terjadi adalah perselisihan antara
yang masuk akal, dan yang tidak masuk akal. Seperti pada filsafat tradisional.[16]
Karena itu, Descartes meragukan segala sesuatu termasuk
tradisi filasafat yang pernah ia terima dan sesuatu yang sudah pasti. Menurutnya,
seseorang harus menemukan kebenaran sendiri sehingga ia memahami secara
mendalam tentang apa yang ia cari. Ia mengatakan “ Anadaikata kita membaca setiap
kata dari karya-karya Plato dan Aristoteles tanpa kepastian pendapat kita
sendiri, maka kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat; pemhaman
historis kita dapat bertambah, namun pemahaman kita tidak.”[17]
Selain
itu, descartes menolak tradisi diskusi dan kerjasama yang dicetuskan oleh
Socrates. Baginya, keutuhan suatu ilmu harus dilakukan oleh satu orang, karena
saat suatu ilmu itu didasarkan pada beberapa orang, maka akan kacau, karena
setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Hal ini seperti layaknya
bangunan yang dilakukan oleh beberapa arsitektur. Maka tidak akan berjalan
pembangunan tersebut saat para arsitektur terus berseteru.
Setelah
menolak metode Socrates, kemudian ia meragukan segala sesuatu yang ada. Descartes
diragukan oleh ketidakpastian pada masanya. Pemikiran skolastik yang
diterimanya ternyata tidak tahu bagaimana harus menangani hasil-hasil ilmu
pengetahuan positif. Ternyata, wibawa Aristoteles dalam filsafat skolastik
menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Contoh, pada pemikiran sillogisme dari
Aristoteles menunjukkan bahwa kesimpulan yang ada, telah terdapat dalam premis
yang sebelumnya. Dalam hal ini, Descartes menganggap pemikiran Aristoteles
hanya akan membunuh kekreatifitasan pemikiran ilmu pengetahuan. Untuk mulai berfilsafat
ia harus memiliki satu pangkal pemikiran yang pasti yaitu keragu-raguan.
Namun,
keragu-raguan Descartes, adalah keragu-raguan metodis yang digunakan sebagai penguji
penalaran dan pemikiran untuk mendapat kepastian yang pertama yang mendasari dan
menjadi titik pangkal mutlak bagi filsafat baru. Contoh mudahnya pada ilmu
eksakta, jika pada ilmu sebelumnya ia memahami bahwa 1+1=2 kemudian dalam
pengujiannya ia menemukan pula angka 2 sebagai hasil dari 1+1, maka ilmu itu
sudah menjadi pasti dan dapat di jadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Hingga
suatu hari, ia pernah meragukan dirinya yang sedang duduk di dekat perapian
dalam keadaan yang lengkap. Karena dalam mimpinya, ia menemui dirinya dalam
keadaan telanjang di dekat perapian
sebanyak tiga kali dalam satu malam. Sehingga pada saat itu, ia
menemukan sebuah hipotesis, mungkin dirinya adalah satu-satunya pribadi,
sedangkan pengalamannya hanyalah khayalan-kahyalan. Suatu lapisan ilusi yang ditanamkan oleh sebuah kekuatan yang
dengan kejahatannya menipu terus-menerus. Padahal sebenarnya, tidak ada objek
di luar dirinya. Maka kemudian ia sampai pada kesimpulan Cogito Ergo Sum yang artinya, aku berpikir maka aku ada. Apa yang
ia pikirkan mungkin saja sebuah khayalan, namun ia berpikir adalah sebuah
kenyataan.
MENUJU
LOGIKA BARU
Cogito
ergo sum yang berasal dari kata Latin ini berarti, saya berpikir, di sini ialah
menyadari. Dalam filsafat modern, kat cogito sering kali diartikan sebagai
kesadaran. Cogito ergo sum menurutnya adalah kebenaran yang tidak dapat
disangkal, bagaimanapun usahaku untuk menyangkalnya.dengan menemukan kepastian
pertama ini, maka dibangunlah sebuah logika baru yang sesuai dengan semangat
ilmu pengetahuan eksakta. Menurutnya, ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak
ilmu pasti. Selain digunakan sebagai contoh bagi cara mengenal atau mengetahui
yang maju, ilmu pasti juga dapat di pandang sebagai penerapan yang paling jelas
dan merupakan metode yang ilmiah. Artinya, ia berpendapat bahwa semua ilmu
pengetahuan, dapat di buktikan dengan cara mengumpamakannya dengan angka yang
menghasilkan sesuatu yang pasti, sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan lagi.[18]
Lebih
jelas, uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang shahih
(adequate) dari metode yang hendak dicanangkannya dapat dijumpai dalam
Descourse, setidaknya terdapat empat aturan umum yang dapat disebut sebagai
aturan-aturan logika Descartes :
PERTAMA, tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran,
kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas,
sehingga tidak ada satu keraguan pun yang dapat merobohkannya.
KEDUA, pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu,
atau sebanyak mungkin bagian dari masalah tersebut, sehingga tidak ada satu
keraguan apa pun yang dapat meragukannya.
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai
dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai
pada yang paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal
sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga tidak ada satu pun yang
terabaikan dan tertinggal dan pencarian tersebut.
Aturan-aturan
tersebut lalu didisyarah oleh Antoine Arnould dan Pierre Nicole menjadi beberapa
kaidah : 1) tidak boleh ada istilah yang tidak jelas atau tidak dikenal karena
tidak ada definisinya. 2) dalam definisinya hanya menggunakan istilah yang
mudah dipahami dan benar-benar dikenal. 3) hal-hal yang sungguh terbukti
sebagai aksioma-aksioma. 4) menerima sebagai bukti hanya apa yang mudah dikenal
sebagai betul. 5) membuktikan semua proposisi yang tidak jelas dengan cara
membuat definisi dulu yang cocok dengan
aksioma-aksioma dan proposisi-proposisi yang sudah dibuktikan. 6) menghilangkan
kebohongan istilah-istilah dengan definisi-definisi yang bersifat membatasi.
Maksudnya, istilah-istilah tersebut hendaknya didefinisikan secara jelas. 7)
sedapat mungkin bertitik-tolak dari yang paling umum dan sederhana, dari genus
ke spesies. 8) membagi tiap genus ke dalam semua spesiesnya, tiap keseluruhan
ke dalam bagiannya dan tiap masalah ke dalam kasus-kasusnya.[19]
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan
pikiran filosofisnya. Pada mulanya ia meragukan panca indera. Hal ini telah di
jabarkan sebelumnya saat ia meragukan dirinya sendiri yang duduk di dekat
perapian. Tentang impian, Descartes menjelaskan melalui contoh seorang pelukis
yang memberikan kita gambaran-gambaran benda-benda dunia yang sebelumnya belum
ada. Kita bisa menggambarkan seekor kuda bersayap karena kita pernah melihat
kuda dan sayap secara terpisah. Sehubungan dengan ini maka bentuk-bentuk umum
benda yang menyangkut hal keluasan, ukuran, besaran dan sebagainya lebih mudah
diyakini daripada hal-hal yang bersifat khusus dan individual yang lebih
bersifat imajinatif daripada bentuk-bentuk yang sudah umum bagi panca indera
kita.
Karena itulah, Descartes lebih memandang bentuk umum
tersebut lebih mudah diyakini daripada bentuk khusus yang belum tentu
kebenarannya. Namun, terkadang keraguan bisa terjadi dalam ilmu ukur dan ilmu
hitung, karena bisa saja tuhan yang membuatku keliru, atau ada jin yang
berusaha membuatku keliru. Jika ini benar, maka yang aku lihat bisa saja merupakan
ilusi atau bayangan agar aku terperangkap didalamnya. Maksudnya, mungkin saja
benda-benda yang ada di dunia ini mungkin saja hanya ilusi belaka. Kira-kira
begitulah maksud dari pernyataan Descartes yang masih meragukan pertimbangan
antara kenyataan dan ilusi.
Mengingat bahwa aku yang berpikir adalah sesuatu, dan
mengingat kebenaran “cogito ergo sum” begitu keras dan meyakinkan, sehingga
anggapan skeptis yang paling hebat pun tidak akan bisa menumbangkannya, maka
sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip
pertama dari filsafat yang aku cari. Begitulah kira-kira pemikiran Descartes.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah dengan kebenaran
tersebut berarti ia telah menuhankan dirinya. Lalu bagaimanakah orang
mengetahui adanya ide tentang tuhan sebagai hal yang jelas adn yang telah
terpilih? Inilah yang disebut ide bawaan. Ide bawaan adalah butir-butir
kebenaran yang pasti yang secara alami ada, atau diajarkan oleh tuhan dalam
jiwa kita. Dari ide-ide itulah metafisika dan fisika dapat dibangun.[20]
Seluruh pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang
berasal dan bersumber dari ide-ide bawaan itu. Menurut Descartes terdapat tiga
ide bawaan dalam diri saya. ketiga ide bawaan tersebut sudah ada pada diri saya
sejak lahir, yaitu : pemikiran, tuhan, dan keluasan.[21]
a.
Pemikiran : karena saya memahami diri saya sebagai
makhluk yang berpikir, maka pemikiran adalah hakikat saya.
b.
Tuhan sebagai wujud yang sempurna. Karena saya berpikir
dengan sempurna. Maka pasti ada sebab yang sempurna yang membuat pemikiran ini
sempurna pula.
c.
Keluasan : saya memahami materi sebagai keluasan atau
eksistensi sebgaiman yang dilakukan oleh para ahli ukur.
Oleh karena itu,
Descartes berteori bahwa seluruh ilmu pengetahuan pada akhirnya adalah satu dan
metode ilmiah juga satu. Inilah yang membedakannya dengan teori Aristoteles
yang meyakini bahwa perbedaan persoalan itu terjadi karena perbedaan ilmu yang
menuntut metode yang berbeda pula.
Namun, berbeda
dengan Descartes meyakini bahwa akal budi manusia selalu sama maka jika digambarkan maka manusia akan
bersam-sam membentuk sebuah pohon pengetahuan, dimana pengetahuan metafisik
menjadi akar karena segala pengetahuan bersumber dari tuhan kemudian fisika
sebagai batang dan akar dan rantingnya adalah ilmu pengetahuan umum. [22]
SUBSTANSI
Descartes
kemudian menyimpulkan selain tuhan terdapat dua substansi. Pertama, jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi,
karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia diluar saya, maka ia kesulitan
dalam membuktikannya. Satu-stunya alasan yang dapat membuktikannya tuhan akan
menipu saya jika ia memberi ide keluasan pada saya, sedangkan diluar saya tidak
ada material yang serupa dengannya. Namun, tuhan yang maha sempurna tidak
mungkin menipu saya, sehingga diluar saya memang terdapat dunia material.
MANUSIA
Descartes
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua
substansi : jiwa dan tubuh.baginya jiwa adalah pemikiran dan tubuh baginya
adalah keluasan. Sehingga tubuh tak lain halnya sebagai mesin yang dijalankan
oleh jiwa. Karena itu, Descartes mengalami kebingungan untuk membuktikan
pengruh jiwa atas badan dan sebaliknya. Sekali ia mengatakan bahwa kontak
antara jiwa dengan tubuh berlangsung dalam grandula pincalis (kelenjar yang
terletak dibawah otak kecil). Tetapi pembuktian kemudian tidak memuaskan
Descartes sendiri.
Kesimpulan
:
Rene Descartes merupakan pencetus adanya filsafat
modern yang menjadi peradaban dunia. Ia mulai mencetuskan kepastian pertamanya
yang berpangkal dari keraguannya terhadap filsafat-filsafat yang telah ia
peroleh sebelumnya. Saat ia mempelajari ilmu-ilmu eksakta, saat itulah ia
merenungi seandainya ilmu filsafat dapat diperhitungkan layaknya ilmu eksakta,
maka ia tidak akan menemukan pertentangan-pertentangan dalam masing-masing
aliran filsafat.
Dari keinginan
itulah, kemudian Descartes mencetuskan filsafat baru yang sama sekali tidak
mempercayai kemampuan inderawi dalam membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan
melainkan ia mempercayai bahwa akal adalah akar dari ilmu pengetahuan yang kini
berkembang. Dari kepercayaan itu, maka ia mencetuskan sebuah kepastian
pertama yang dikenal dengan “Cogito Ergo
sum” yang berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti aku berpikir maka aku
ada. Dari kepastian tersebut, dapat digambarkan bahwa pemikiran Descartes mengabaikan
keberadaan agama dan cenderung mengabaikan keberdaan tuhan. Dengan kepastian
itu pula, dapat dimengerti bahwa Descartes lebih menuhankan manusia. Manusia
sebagai tuan dari alam semesta.
Descartes
berpendapat, bahwa pada logika yang digunakan dalam pemikirannya, terdapat
empat aturan umum diantaranya :
PERTAMA, harus jelas dan tegas sehingga tidak ada satu
pun keraguan yang dapat merobohkan kebenaran tersebut.
KEDUA, mecahkan masalah seluruhnya atau sebagian besar
dari masalah tersebut, sehingga masalah tersebut tidak dapat dirobohkan
kebenarannya
KETIGA, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai
dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai
pada yang paling sulit dan kompleks.
KEEMPAT, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal
sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga tidak ada satu pun yang
terabaikan dan tertinggal dan pencarian tersebut.
Kemudian keempat aturan itulah yang digunakan Descartes
untuk menggali ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan berasal dari
pengetahuan metafisika yang merupakan akar dari ilmu pengetahuan dan pohonnya
adalah fisika dan kemudian ranting dan dahannya adalah ilmu pengetahuan. Hal ini
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari sesuatu yang satu dan dalam
memecahkan masalahnya menggunakan satu metode pula. Hal ini sangat bertentangan
dengan Aristoteles yang berpendapat bahwa permasalahan dalam ilmu pengetahuan
itu bermacam-macam, maka pemecahan masalahnya pun dengan cara yang
bermacam-macam pula.
Lalu untuk meyakini tuhan, ia berpikir bahwa tuhan
merupakan salah satu dari tiga bawaan yang didapat sejak lahir. Selain tuhan,
masih terdapat dua ide bawaan yang didapatkan sejak seseorang lahir yakni
pemikiran dan keluasan. Menurutnya, tuhan muncul saat ia meyakini tentang
pemikiran. Saat ia mendapatkan pemikiran yang sempurna, maka terdapat material
yang lebih sempurna dari itu, yakni tuhan.
E.
Perbedaan Pemikiran Al-Ghazali
dengan Rene Descartes
a.
Dalam menghasilkan Pemikiran, Al-Ghazali lebih identik
pada akal sehingga dalam menghasilkan ilmu pengetahuan, beliau meyakini bahwa setiap
permasalahan yang berbeda, maka metode pemecahan masalahannya pun berbeda.
Sedangkan, bagi Descartes, ilmu pengetahuan berasal dari satu pengetahuan
sehingga metode pemecahan masalahnya pun satu meskipun terdapat berbagai
permasalahan yang berbeda.
b.
Dalam pencarian kebenaran, semakin mendalam penghayatan
al-Ghazali semakin beliau mencapai tingkat kesufian, sehingga beliau
meletakkannya pada tingkatan teratas setelah panca indera dan akal. Namun,
berbeda halnya dengan Descartes, semakin mendalam penghayatan Descartes,
semakin ia merasa bahwa keberdaanya adalah tingkatan tertinggi dari ilmu
pengetahuan sehingga ia lebih menuhankankan manusia.
F.
Kontribusi bagi Ilmu
Pengetahuan
a.
Al-Ghazali, memberikan kontribusi ketuhanan yang
berdasarkan kesufiannya. Ilmu ini biasanya disebut Tasawwuf. Yakni penyingkapan
kesufiaan. Dengan ilmu ini, masyarakat bisa mendapatkan pelajaran tentang
perilaku ‘ulama sebelumnya sehingga mencapai tingkat kesufian. Sehingga dengan
begitu, mereka akan mendapatkan tingkat teratas dari filosofi ilmu pengetahuan.
b.
Rene Descartes, memberi kontribusi bagi masyarakat berupa
ilmu Geometri. Sebgaimana yang dibahas pada materi-materi diatas, bahwa
Descartes, mengharapkan Filsafat dapat di pecahkan seperti layaknya memecahakan
permasalahan ilmu-ilmu eksakta, termasuk Geometri. Karena itulah ia memberikan
kontribusi berupa ilmu Geometri.
REFERENCES
Bik, Hudari. Tarikh
Al Islam. 1980. Semarang : Darul Ihya.
Dr. Zubaedi,
M. Ag., M. Pd., dkk, Filsafat Barat.
2007. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Imam Al-Ghazali. Pembuka
Pintu Hati. 2004. Bandung : MQ Publishing.
Kamal, Zainun.
Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik
Logika. 2006. Jakarta : PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
S. Praja,
Juhaya. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. 2003. Jakarta : Prenada Media Group.
[1] Imam Al-Ghazali, Pembuka Pintu Hati, (Bandung : MQ Publishing, 2004), cetakan 1,
hlm. 4.
[2] Prof.
Dr. Juhaya s. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika. ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003), hlm. 201.
[3] Hudari Bik, Tarikh Al Islam, (Semarang : Darul Ihya, 1980), terj. Zuhri hlm.
19.
[4] Prof.
Dr. Juhaya s. Praja, op.cit. hlm. 204.
[5] Dr. Zainun Kamal, M.A., Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, ( Jakarta : PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006), hlm. 62-63.
[6] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm.
92-93.
[7] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk, Filsafat
Barat ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2007) hlm.18.
[8] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm.
204.
[9] Dr. Zainun Kamal, M.A., Op.cit., hlm. 69.
[10] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm.
204.
[11] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk.
Op.cit., hlm. 70.
[12] Ibid., hlm. 63.
[13] Ibid., hlm. 64-65
[14] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm.
205.
[15] Ibid., hlm. 206.
[16] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk. Op.cit.,
hlm. 18-19.
[17] Ibid., hlm. 20.
[18] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm.
95.
[19] ibid., hlm. 96-97.
[20] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk. Op.cit.,
hlm. 25.
[21] Prof. Dr. Juhaya S. Praja. Op.cit., hlm.
98.
[22] Dr. Zubaedi, M. Ag., M. Pd., dkk.
Op.cit., hlm. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar